MAKALAH
TAFSIR MUAMALAH
“QS.Ali
Imran :130”
Oleh : Ampe Daryanti
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
AKUNTANSI 7,8
2013/2014
A. Ayat QS.Ali Imran :130
يآأَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَوا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Qs. Ali Imron : 130)
Kosa
Kata
Hai orang-orang yang beriman: يآأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Janganlah kamu memakan riba: لَا تَأْكُلُوا الرِّبَوا
Dengan berlipat ganda : أَضْعَافًا
Bertakwalah kamu kepada Allah : مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ
Supaya kamu mendapat keberuntungan : لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
B. ASBABUN NUZUL
Tentang sebab turunnya ayat di atas, Mujahid
mengatakan, “Orang-orang Arab sering mengadakan transaksi jual beli tidak
tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan pihak yang berhutang belum mampu
melunasi maka nanti ada penundaan waktu pembayaran dengan kompensasi jumlah
uang yang harus dibayarkan juga menjadi bertambah.
Buktinya jika bank memberi hutang kepada orang lain
sebanyak seribu real maka seketika itu pula bank menetapkan bahwa kewajiban
orang tersebut adalah seribu seratus real. Jika orang tersebut tidak bisa
membayar tepat pada waktunya maka jumlah total yang harus dibayarkan menjadi
bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari jumlah hutang sebenarnya.
Bandingkan dengan riba jahiliah. Pada masa jahiliah nominal
hutang tidak akan bertambah sedikit pun jika pihak yang berhutang bisa melunasi
hutangnya pada saat jatuh tempo. Dalam riba jahiliah hutang
akan berbunga atau beranak jika pihak yang berhutang tidak bisa melunasi
hutangnya tepat pada saat jatuh tempo lalu mendapatkan penangguhan waktu
pembayaran.
Boleh jadi ada orang yang berpandangan bahwa riba
yang tidak berlipat ganda itu diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang
menyatakan ‘janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan
pernah terpikir demikian karena hal itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas
cuma menceritakan praktek para rentenir pada masa jahiliah lalu Allah cela
mereka karena ulah tersebut.
Sedangkan setelah Allah mengharamkan riba maka semua
bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali, tidak ada beda antara riba dalam
jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit. Perhatikan sabda Rasulullah
yang menegaskan hal ini,
C. MUNASABAH
Pembahasan pokok tentang riba disebutkan dalam
beberapa tempat secara berkelompok, yaitu surat Ar-rum:39, surat
An-Nisa’:160-161, surat ali Imran :130, dan surat Al-baqarah 275-280.
Sedangkan mengenai pengertian riba ,para ulama’ menjadikan surat ali Imran
;130dan surat Al-baqarah :278-279 sebagai pijakan .
Ayat-ayat tentang Riba
Ayat-ayat tentang Riba
QS.Ar-Rum:39
وما اتيتم من ربا ليربوافي أموال الناس فلا
يربوا عند الله وما اتيتم من زكوة تريدون وجه الله فأولئك هم المضعفون (39)
QS.An-Nisa’:160-161
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا
عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَوا وَقَدْنُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ
أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا
أَلِيمًا (161)
QS.Ali
Imran :130
يآأَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَوا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)]
QS.Al-baqarah:275-280
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَوالَا يَقُومُونَ
إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي
الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276) إِنَّ الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ
لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ
يَحْزَنُونَ (277) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا
بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا
فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ
أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279) وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ
فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ (280)
D. TAFSIR ALI IMRAN AYAT 130
Ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan itu akan
didapatkan oleh orang yang bertakwa dan salah satu bukti takwa adalah
menghindari riba. Hal ini menunjukkan bahwa jika kadar takwa seseorang itu
berkurang maka kadar keberuntungan yang akan di dapatkan juga akan turut
berkurang.
Ada juga pakar tafsir yang menjelaskan bahwa maksud
ayat, waspadailah amal-amal yang bisa mencabut iman kalian sehingga kalian
wajib masuk neraka. Di antara amal tersebut adalah durhaka kepada orang tua,
memutus hubungan kekerabatan, memakan harta riba dan khianat terhadap amanat.
Ayat di mulai dengan panggilan kepada
orang-orang yang beriman disusul dengan larangan riba. Dimulainya
demikian memberi isyarat bahwa bukanlah sifat dan kelakuan orang yang beriman
memakan yakni mencari dan menggunakan uang yang diperolehnya dari praktek riba.
Riba atau kelebihan yang terlarang oleh ayat
tersebut adalah yang sifatnya adh’afam mudlo’afah,yakni berlipat ganda,
sebagaimana kebiasaan masyarakat jahiliyyah . Jika seseorang tidak mapu
membayar hutang , dia ditawari atau menawarkan penangguhan pembayaran , dan sebagai
imbalan penangguhan itu-ketika membayar
utangnya-dia membayar nya dengan ganda atau berlipat ganda.
Kata
kunci Al-qur’an yang dikembangkan untuk menerangkan riba oleh para ulama’
adalah lakum ru’us amwalikum( hukum adalah menerima sejumlah modal yang
kamu pinjamkan), dari situ kemudian difahami bahwa pemberian pinjaman hanya
berhak menerima pelunasan sejumlah pinjaman, dan kelebihan atas jumlah pinjaman
itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu tanpa iwad( imbalan ) adalah
riba.
Dalam
tafsir Al-Kasyf disebutkan bahwa imam abu hanifah, apabila membaca ayat 130 di
atas , beliau berkata :” Inilah ayat-ayat yang paling menakutkan dalam
Al-qur’an karena Allah mengancam orang-orang yang beriman terjerumus dalam
neraka yang disediakan Allah untuk orang-orang kafir. Memang riba adalah
kejahatan ekonomi yang terbesar .Ia adalah penindasan terhadap orang yang
butuh. Penindasan dalam bidang ekonomi dapat lebih besar daripada penindasan dalam bidang fisik.
Tidak
heran jika sebagian ulama’-seperti Muhammad Abduh – yang menilai kafir ,
orang-orang yang melakukan praktik riba- walaupun mengakui keharamannya dan
walau dia mengcapkan kalimat syahadat dan secara formal melakukan sholat-adalah serupa orang-oranng kafir yang terancam kekal di neraka. Kemudian Allah ta’ala berfirman, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah’
yaitu terkait dengan harta riba dengan cara tidak memakannya.
Al Falah/ keberuntungan dalam bahasa Arab adalah
bermakna mendapatkan yang di inginkan dan terhindar dari yang dikhawatirkan.
Oleh karena itu keberuntungan dalam pandangan seorang muslim adalah masuk surga
dan terhindar dari neraka. Surga adalah keinginan setiap muslim dan neraka
adalah hal yang sangat dia takuti.
Di antara bukti bahwa meninggalkan riba itu
menyebabkan mendapatkan keberuntungan adalah kisah seorang sahabat yang bernama
‘Amr bin Uqois sebagaimana dalam hadits berikut ini.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنْ عَمْرَو بْنَ أُقَيْشٍ كَانَ لَهُ رِبًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكَرِهَ أَنْ يُسْلِمَ حَتَّى يَأْخُذَهُ فَجَاءَ يَوْمُ أُحُدٍ فَقَالَ أَيْنَ بَنُو عَمِّي قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ أَيْنَ فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ فَأَيْنَ فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ فَلَبِسَ لَأْمَتَهُ وَرَكِبَ فَرَسَهُ ثُمَّ تَوَجَّهَ قِبَلَهُمْ فَلَمَّا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ قَالُوا إِلَيْكَ عَنَّا يَا عَمْرُو قَالَ إِنِّي قَدْ آمَنْتُ فَقَاتَلَ حَتَّى جُرِحَ فَحُمِلَ إِلَى أَهْلِهِ جَرِيحًا فَجَاءَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَقَالَ لِأُخْتِهِ سَلِيهِ حَمِيَّةً لِقَوْمِكَ أَوْ غَضَبًا لَهُمْ أَمْ غَضَبًا لِلَّهِ فَقَالَ بَلْ غَضَبًا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ فَمَاتَ فَدَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَا صَلَّى لِلَّهِ صَلَاةً
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya ‘Amr bin ‘Uqoisy
sering melakukan transaksi riba di masa jahiliah. Dia tidak ingin masuk Islam
sehingga mengambil semua harta ribanya. Ketika perang Uhud dia bertanya-tanya,
“Di manakah anak-anak pamanku?” “Di Uhud”, jawab banyak orang. “Di manakah
fulan?”, tanyanya lagi. “Dia juga berada di Uhud”, banyak orang menjawab.” Di
mana juga fulan berada?”, tanyanya untuk ketiga kalinya. “Dia juga di Uhud”,
jawab banyak orang-orang. Akhirnya dia memakai baju besinya dan menunggang
kudanya menuju arah pasukan kaum muslimin yang bergerak ke arah Uhud. Setelah
dilihat kaum muslimin, mereka berkata, “Menjauhlah kamu wahai Amr!” Abu Amr
mengatakan, “Sungguh aku sudah beriman.”
Akhirnya beliau berperang hingga terluka lalu
digotong ke tempat keluarganya dalam kondisi terluka. Saat itu datanglah Sa’ad
bin Muadz, menemui saudara perempuannya lalu memintanya agar menanyai Abu Amr
tentang motivasinya mengikuti perang Uhud apakah karena fanatisme kesukuan
ataukah karena membela Allah dan rasul-Nya. Abu Amr mengatakan, “Bahkan karena
membela Allah dan Rasul-Nya.” Beliau lantas meninggal dan masuk surga padahal
beliau belum pernah melaksanakan shalat satu kali pun. (HR. Abu Daud, Hakim dan
Baihaqi serta dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud
no. 2212).
Ad Dainuri bercerita bahwa Abu Hurairah pernah
bertanya kepada banyak orang yang ada di dekat beliau, “Siapakah seorang yang
masuk surga padahal sama sekali belum pernah shalat?” Orang-orang pun hanya
terdiam seribu bahasa. Beliau lantas mengatakan, “Saudara bani Abdul Asyhal.”
Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan ada orang yang
menanyakan perihal Abu ‘Amr kepada Rasulullah, beliau lantas bersabda, “Sungguh
dia termasuk penghuni surga.” (Tafsir al Qosimi, 2/460)
Catatan Penting: Hadits di atas
tidaklah tepat jika dijadikan dalil bahwa orang yang tidak shalat itu tidak
kafir karena sahabat tadi bukannya tidak ingin mengerjakan shalat namun dia
tidak berkesempatan untuk menjumpai waktu shalat sesudah dia masuk Islam karena
kematian merenggutnya terlebih dahulu.
Pada ayat selanjutnya Allah menakuti-nakuti kita
sekalian dengan neraka. Banyak pakar tafsir yang menjelaskan bahwa ayat ini
merupakan ancaman keras untuk orang-orang yang membolehkan transaksi riba.
Siapa saja yang menganggap transaksi riba itu halal/boleh maka dia adalah orang
yang kafir dan divonis kafir meski masih mengaku sebagai seorang muslim.
Abu Bakar al Warraq mengatakan, “Kami renungkan
dosa-dosa yang bisa mencabut iman maka tidak kami dapatkan dosa yang lebih
cepat mencabut iman dibandingkan dosa menzalimi sesama.”
Ayat di atas juga merupakan dalil yang menunjukkan
bahwa saat ini neraka sudah tercipta karena sesuatu yang belum ada tentu tidak
bisa dikatakan ‘sudah disiapkan’. (Lihat Jami’ li Ahkamil Qur’an,
4/199)
Akan tetapi dalam perkembangan ekonomi ,
banyak muncul berbagai fenomena. Misalnya di Indonesia, dari tahun ke tahun
nilai tukar rupiah mengalami perubahan . Uang satu juta rupiah pada tahun 1995
tidaklah sama dengan tahun berikutnya, Jika pada awal tahun1995 dipinjam uang
sebesar satu juta dan kemudian dikermbalikan pada tahun 2000 –secara ekonomi-
dirugikan.Dalam kondisi seperti ini, agar tidak ada pihak yang dirugikan,
pengembalian hutang harus disertai tambahan untuk kompensasi perubahan nilai
tukar rupiah. Akan tetapi langkah ini pasti akan dikatakan riba jika
berdasarkan kategori di atas. Fenomena ini menggambarkan pengembalian ‘ru’us
amwalikum ini tidak relevan dengan
tidak adanya dzulm sebagaiman terdapat dalam surat Al-baqarah:279.
Sementara perkembangan ekonomi dari masa ke
masa mengalami perkembangan , yang dulu tidak dikenal,sekarang ada. Dulu
lembaga permodalan seperti bunga bank tidak dikenal ,sekarang ada. Di satu
sisi,bunga bank terperangkap dalam praktek riba, tetapi di sisi lain bank punya
fungsi sosisl yang besar. Mengenai hal ini ada 2 pendapat. Pendapat pertama,
mengatakan bahwa bunga bank sama dengan riba ,sehingga harus dihindari oleh
umat islam. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank belum tentu
disebut riba apabila tidak ada unsur dzulm
di dalamnya. Sekalipun demikian sebenarnya kita belum menawarkan rumusan yang
baku tentang kriteria dzulm
Bagaimanpun di masa lampau riba dengan segala
sifat dampaknya sudah difahami, kendati pengertiannya sederhana., artinya
berbagai kegiatan ekonomi sudah dapat dikategorikan sebagai riba atau tidak .
Sementara perkembangan ekonomi terus melaju sehingga membentuk perspektif
tertentu dalam masyarakat menyangkut penilaian terhadap tentang kegiatan
ekonomi ,sehingga kegiatan ekonomi tertentu dewasa ini justru dipandang baik,
bahkan dibutuhkan .Oleh karena itu
perlunya ada pengkajian ulang tentang karakter riba yang terkandung
dalam Al-qur’an .
KESIMPULAN
Dari uraian dia atas ,kiranya dapat
disimpulkan sebagai berikut:
· Dari uraian para mufassir tentang riba ,baik
yang dituangkan dalam definisi maupun dalam gambaran praktis di masa
jahiliyyah,riba yang mereka maksud dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1) Terjadi
karena transaksi pinjam meminjam/utang-piutang.
2) Ada
tambahan dari jumlah pinjaman ketika pelunasan.
3) Tambahan
tersebut dijanjikan terlebih dahulu,setidaknya beberapa waktu sebelum
pelunasan.
4) Tambahan
itu diperhitungkan sesuai dengan panjang pendek-nya tenggang waktu peminjaman.
Tahapan pelarangannya yaitu
surat yang pertama yaitu:QS.Ar Rum:39,kemudian (QS.an-Nisa’ (4);161).
Selanjutnya , pada tahap ketiga ,secara tegas dinyatakan keharaman salah atu
bentuknya,yaitu yang berlipat ganda(QS.Ali Imran [3]: 130. Dan terakhir
pengharaman secara total dan dalam berbagai bentuknya yaitu pada QS.al-Baqarah[2]:278).
Sementara perkembangan ekonomi dari masa ke
masa mengalami perkembangan Munculnya perbankan menimbulkan kontroversi
mengenai hukum bunga bank.Ada banyak mendapat mengenai masalah ini,namun
penulis makalah cenderung setuju dengan tokoh
modern yang lebih menekankan perhatiannya pada aspek moral sebagai
bentuk pelarangan riba dan mengesampingkan dari larangan riba sebagaimana yang
dijelaskan dalam hukum islam.Argumentasi mereka adalah sebab dilarangnya riba
karena menimbulkan ketidakadilan,sebagaiman diungkapkan dalam Al-qur’an.:”laa
tadzlimuuna walaa tudzlamuun,Bahwa tidak seluruh bunga bank itu dilarang. Sebab
pada prinsipnya aktivitas perbankan dengan ciri bunga itu bertujuan pembinaan
ekonomi
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan
Dari Allah – Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Gema Insani, 1999
/alquranonline/Alquran_Tafsir.asp,
line 390
Rasyid Ridla, Az
zamakhsyari,al-alusi,almaraghi,Sayyid quthub
Abdullah Saeed,Bank Islam dan
Bunga(yogjakarta:Pustaka Pelajar,2003)
Muh.Zuhri,Riba dalam Alqur’an:Sebuah
Tilikan Antisipatif,Masalah perbankan(Jakarta:Raja Grafindo Jakarta,1996)
Di antara mufassir dalam kelompok
ini adalah Al-razi,Rasyid Ridla dan Thaba’thaba’i.
Di antara ulama’ dalam kelompok ini
adalah abu Zahrah,Abul a’la al-maududi,Mustafa ahmad az Zarqa’