Makalah Ilmu Hadis
(Inkar al-sunnah)
JURUSAN AKUNTANSI (7.8)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2013
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada
Allah SWT karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nya maka kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul
“Inkar Al-Sunnah” yang insya Allah dapat memberikan manfaat yang besar bagi
kita dalam mempelajari agama islam.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat.
Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Makassar, Juli 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
1.1 Pendahuluan
1.2 Rumusan
Masalah
1.3 Tujuan
Bab II Materi
2.1
Pengertian Inkar al-sunnah
2.2
Sejarah, argumen, dan bantahan ulama
2.3
Inkar al-sunnah di Indonesia
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Oleh beberapa komunitas dalam
peradaban, terutama umat Islam, Hadis adalah segala perkataan Nabi, segala perbuatan beliau, segala
taqrir (pengakuan) beliau dan segala keadaan beliau. Sebagai sebuah teks, Hadis merupakan penuntun umat Islam. Segala perkataan Nabi,
segala perbuatan beliau, pengakuan dan segala keadaan beliau dicatatkan di
dalamnya.
Walaupun begitu, disamping berbahasa arab tidak dipungkiri kualitas Hadits ada
tiga, yakni Hadits shahih, Hadis Hasan, dan Hadits Dha’if. Sehingga kita tidak bisa sembarangan dalam mengeluarkan Hadits, untuk
itu bagi orang awam untuk memahaminya perlu memperhatikan terlebih dahulu apa Hadits tersebut Hadis Shahih atau malah Hadits
Dha’if.
Dalam makalah ini kami akan memaparkan beberapa
hal yang erat kaitannya untuk memahami Inkar Al-Sunnah. Yaitu
kami akan memaparkan mengenai inkar Al-Sunnah,
sejarahnya, argumen, dan bantahan ulama.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah tentang Inkar Al-Sunnah ini mencakup beberapa
masalah yaitu :
1. Apakah yang dimaksud dengan Inkar
Al-Sunnah?
2. Bagaimana
Sejarah perkembangan Inkar
Al-Sunnah ?
3. Bagaimana
argumen dan bantahan para ulama tentang Inkar Al-Sunnah?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar pembaca mengetahui dan
memahami Inkar
Al-Sunnah serta sejarah, argumen, dan bantahan ulama yang terdapat didalamnya.
BAB II
Pembahasan
2.1 Pengertian Inkar Al-Sunnah
Inkar sunnah terdiri dari dua kata yaitu Inkar
dan Sunnah. Inkar, menurut bahasa, artinya “menolak atau mengingkari”, berasal
darikata kerja, ankara-yunkiru. Sedangkan Sunnah, menurut bahasa mempunyai
beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang dijalani, terpuji atau tidak,”
suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik. Secara
definitif Ingkar al-Sunnah dapat ddiartikan sebagai suatu nama atau aliran atau
suatu paham keagamaan dalam masyarakat Islam yang menolak atau mengingkari
Sunnah untuk dijadikan sebagai sumber san dasar syari’at Islam.
Secara
bahasa pengertian hadits dan sunnah sendiri terjadi perbedaan dikalangan para
uama, ada yang menyamakan keduanya dan ada yang membedakan. Pengertian keduanya
akan disamakan seperti pendapat para muhaditsin, yaitu suatu perkataan,
perbuatan, takrir dan sifat Rauslullah saw. Sementara Nurcholis Majid berpendapat
bahwa yang terjadi dalam sejarah Islam hanyalah pengingkaran terhadap hadits
Nabi saw, bukan pengingkaran terhadap sunnahnya. Norcholis Majid membedakan
pengertian hadits dengan Sunnah. Sunnah menurut beliau adalah pemahaman
terhadap pesan atau wahyu Allah dan teladan yang diberikan Rasulullah dalam
pelaksanaannya yang membentuk tradisi atau sunnah. Sedangkan hadits merupakan
peraturan tentang apa yang disabdakan Nabi saw. atau yang dilakukan dalam
praktek atau tindakan orang lain yang di diamkan beliau (yang diartikan sebagai
pembenaran).
Kata “Ingkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan atau paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber kedua hukum Islam.
Kata “Ingkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan atau paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber kedua hukum Islam.
Menurut
Imam Syafi’I, Sunnah Nabi saw ada tiga macam:
1.
Sunnah Rasul yang menjelaskan seperti apa yang din ask-an oleh Alqur’an.
2. Sunnah Rasul yang menjelaskan makna yang
dikehendaki oleh Alqur’an. Mengenai kategori kedua ini tidak ada perbedaan
pendapat dikalangan ulama.
3. Sunnah
Rasul yang berdiri sendiri yang tidak ada kaitannya dengan Alqur’an
2.2 Sejarah, Argumen, dan Bantahan Ulama Inkar Al-Sunnah
2.2.1 Sejarah Inkar
Al-Sunnah
1)
Ingkar Sunnah Pada Masa Periode Klasik
Pertanda
munculnya “Ingkar Sunnah” sudah ada sejak masa sahabat, ketika Imran bin
Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadits, seseorang menyela untuk tidak
perlu mengajarkannya, tetapi cukup dengan mengerjakan al-Qur’an saja.
Menanggapi pernyataan tersebut Imran menjelaskan bahwa “kita tidak bisa
membicarakan ibadah (shalat dan zakat misalnya) dengan segala syarat-syaratnya
kecuali dengan petunjuk Rasulullah saw. Mendengar penjelasan tersebut, orang
itu menyadari kekeliruannya dan berterima kasih kepada Imran.
Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap
sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru muncul pada
penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah.
Di Indonesia, pada dasawarsa tujuh puluhan
muncul isu adanya sekelompok muslim yang berpandangan tidak percaya terhadap
Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dan tidak menggunakannya sebagai sumber atau dasar
agama Islam. Pada akhir tujuh puluhan, kelompok tersebut tampil secara
terang-terangan menyebarkan pahamnya dengan nama, misalnya, Jama’ah al-Islamiah
al-Huda, dan Jama’ah al-Qur’an dan Ingkar Sunnah, sama-sama hanya menggunakan
al-Qur’an sebagai petunjuk dalam melaksanakan agama Islam, baik dalam masalah
akidah maupun hal-hal lainnya. Mereka menolak dan mengingkari sunnah sebagai
landasan agama.
Imam Syafi’i membagi mereka kedalam tiga kelompok,
yaitu :
1. Golongan yang menolak seluruh Sunnah Nabi
SAW.
2. Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila
sunnah memiliki kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an.
3. Mereka yang menolak Sunnah yang berstatus
Ahad dan hanya menerima Sunnah yang berstatus Mutawatir.
Dilihat dari penolakan
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok pertama dan kedua pada
hakekatnya memiliki kesamaan pandangan bahwa mereka tidak menjadikan Sunnah
sebagai hujjah. Para ahli hadits menyebut kelompok ini sebagai
kelompok Inkar Sunnah.
Argumen kelompok yang menolak Sunnah secara
totalitas. Banyak
alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk mendukung pendiriannya, baik
dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an ataupun alasan-alasan yang berdasarkan
rasio. Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan mereka sebagai alasan
menolak sunnah secara total adalah surat an-Nahl ayat 89 :
ﻮﻨﺰﻠﻨﺎ ﻋﻠﻳﻚ ﺍﻠﮑﺘﺎﺏ ﺘﺑﻴﺎﻨﺎ ﻠﮑﻞ ﺸﺊ
“Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab
(al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu….”
Kemudian surat al-An’am ayat 38 yang berbunyi:
...ﻤﺎﻓﺮﻄﻨﺎ ﻔﻰ ﺍﻠﺘﺎﺐ ﻤﻦ ﺷﺊ...
“…Tidaklah kami alpakan
sesuatu pun dalam al-Kitab…Menurut mereka kepada ayat tersebut menunjukkan
bahwa al-Qur’an telah mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan ketentuan
agama, tanpa perlu penjelasan dari al-Sunnah. Bagi mereka perintah shalat lima waktu telah
tertera dalam al-Qur’an, misalnya surat al-Baqarah ayat 238, surat Hud ayat
114, al-Isyra’ ayat 78 dan lain-lain.
Adapun alasan lain adalah bahwa al-Qur’an
diturunkan dengan berbahasa Arab yang baik dan tentunya al-Qur’an tersebut akan
dapat dipahami dengan baik pula.
Argumen kelompok yang menolak hadits Ahad dan hanya menerima hadits Mutawatir.
Untuk menguatkan pendapatnya, mereka menggunakan beberapa ayat al-Qur’an sebagai dallil yaitu, surat Yunus ayat 36:
Argumen kelompok yang menolak hadits Ahad dan hanya menerima hadits Mutawatir.
Untuk menguatkan pendapatnya, mereka menggunakan beberapa ayat al-Qur’an sebagai dallil yaitu, surat Yunus ayat 36:
ﻮﺍﻦ ﺍﻠﻈﻦ ﻻﻴﻐﻨﻰ ﻤﻦ ﺍﻠﺤﻖ ﺸﻴﺌﺎ
“…Sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah
sedikitpun terhadap kebenaran”.
Berdasarkan ayat di atas, mereka berpendapat
bahwa hadits Ahad tidak dapat dijadikan hujjah atau pegangan dalam urusan
agama. Menurut kelompok ini, urusan agama harus didasarkan pada dalil yang
qath’I yang diyakini dan disepakati bersama kebenarannya. Oleh karena itu hanya
al-Qur’an dan hadits mutawatir saja yang dapat dijadikan sebagi hujjah atau
sumber ajaran Islam.
2)
Ingkar Sunnah pada Periode Modern (salah)
Pemikiran mengenai
penolakan sunnah muncul kembali pada abad ke epat belas Hijriyah setelah pada
abad ke tiga pemikiran seperti itu lenyap ditelan zaman. Mereka muncul dengan
bentuk dan penampilan yang jauh berbeda dari inkar sunnah priode klasik, yang
mana kemunculan mereka lebih terpengaruh pada pemikiran kolonialisme yang ingin
menghancurkan dunia Islam. Inkar al-sunnah masa ini muncul dalam bentuk golongan
yang terorganisi yang mempunyai pemimpin atau tokoh-tokoh dalam ajaran mereka,
yang mana tokoh-tokoh mereka menyebut dirinya sebagai Mujtahid atau pembaharu.
Bahkan saat mereka mengetahui bahwa ajaran mereka salah mereka tidak lantas
sadar seperti inkar al-sunnah periode klasik, tetapi terus mempertahankan dan
menyebarkan walaupun pemerintah setempat telah mengeluarkan larangan resmi atas
ajaran mereka.
Menurut Mustafa Zami dalam
buku yang ditulis Agus Solahudin menuturkan bahwa Inkar As-Sunnah modern lahir
di Kairo, Mesir pada masa Syeikh Muhammad Abduh (1266-1323H). Dengan kata lain
Dialah yang pertama kali melontarkan gagasan Inkar As-Sunnah pada masa modern.
Salah satu yang menarik dari Syeikh Muhammad Abduh bahwa ia mengingkari
eksistensi hadits ahad sebagai dalil ketauhidan. Namun masih menjadi perdebatan
para ulama tentang apakah orang yang mengingkari hadits ahad sebagai dalil
tauhid dapat dikatakan sebagai pengingkar sunnah (inkar as-sunnah) atau bukan.
Majalah Almanar nomor 7
dan 12 tahun IX memuat tulisan Thaufiq Shidqi yang berjudul “Islam adalah
Al-Qur’an itu sendiri”, ia menjelaskan bahwa Al-Qur’an tidak membutuhkan sunnah. Begitulah golongan
Inkar As-Sunnah terus menyebar ke berbagai belahan dunia dimana Islam
berkembang sebagai wujud adanya kekuatan internal yang hendak melemahkan
panji-panji kebesaran Islam, tak luputnya tanah air tercinta ini.
2.2.1 Argumen Inkar
Al-Sunnah
Memang cukup banyak argumen yang telah dikemukakan oleh
mereka yang berpaham inkar as-sunnah, baik oleh mereka yang hidup pada zaman
al-Syafi’i maupun yang hidup pada zaman sesudahnya. Dari berbagai argumen yang
banyak jumlahnya itu, ada yang berupa argumen-argumen naqli (ayat Al-Qur’an dan
hadis) dan ada yang berupa argumen-argumen non-naqli. Dalam uraian ini, pengelompokan
kepada dua macam argumen tersebut digunakan.
1.
Argumen- argumen Naqli
Yang dimaksud dengan argumen-argumen naqli tidak hanya
berupa ayat-ayat Al-Qur’an saja, tetapi juga berupa sunnah atau hadis Nabi.
Memang agak ironis juga bahwa mereka yang berpaham inkar as-sunnah ternyata
telah mengajukan sunnah sebagai argumen membela paham mereka.
2.
Argumen-argumen Non-Naqli
Yang dimaksud dengan argumen-argumen non-naqli adalah
argumen-argumen yang tidak berupa ayat Al-Qur’an dan atau hadis-hadis. Walaupun
sebagian dari argumen-argumen itu ada yang menyinggung sisi tertentu dari ayat
Al-Qur’an ataupun hadis Nabi, namun karena yang dibahasnya bukanlah ayat
ataupun matan hadisnya secara khusus, maka argumen-argumen tersebut dimasukkan
dalam argumen-argumen non-naqli juga.
Ternyata argumen yang dijadikan sebagai dasar
pijakan bagi para pengingkar sunnah memiliki banyak kelemahan, misalnya :
1) Pada
umumnya pemahaman ayat tersebut diselewengkan maksudnya sesuai dengan
kepentingan mereka. Surat an-Nahl ayat 89 yang merupakan salah satu landasan
bagi kelompok ingkar sunnah untuk maenolak sunnah secara keseluruhan. Menurut
al-Syafi’I ayat tersebut menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya
global, seperti dalam kewajiban shalat, dalam hal ini fungsi hadits adalah
menerangkan secara tehnis tata cara pelaksanaannya. Dengan demikian surat
an-Nahl sama sekali tidak menolak hadits sebagai salah satu sumber ajaran.
Bahkan ayat tersebut menekankan pentingnya hadits.
2) Surat
Yunus ayat 36 yang dijadikan sebagai dalil mereka menolak hadits ahad sebagai
hujjan dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah zhanni adalah tentang
keyakinan yang menyekutukan Tuhan. Keyakinan itu berdasarkan khayalan belaka
dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Keyakinan yang
dinyatakan sebagai zhanni pada ayat tersebut sama sekali tidak ada hubungannya
dan tidak da kesamaannya dengan tingkat kebenaran hasil penelitian kualitas
hadits. Keshahihan hadits ahad bukan didasarkan pada khayalan melainkan
didasarkan pada metodologi yang dapat dipertanggung jawabkan.
2.2.1 Bantahan Ulama Inkar
Al-Sunnah
Alasan pengingkar
As-Sunnah mendapat bantahan karena meskipun kebenaran Al-Qur’an sudah diyakini
sebagai kalamullah, namun masih ada ayat Al-Qur’an yang membutuhkan penjelasan
karena belum pastinya hukum yang terkandung. Untuk membantah argumen dari
kelompok Inkar As-Sunnah maka Abu Al Husain mengatakan, “Dalam menerima hadis-hadis ahad, sebenarnya
kita memakai dalil-dalil pasti yang mengharukan untuk menerima hadis-hadis
itu”, jadi sebenarnya kita tidak memakai shann (dugaan kuat).
Dalam ayat Al-Qur’an surah
An-Nahl (16): ayat 44. Dari ayat tersebut jelas bahwa Allah membebankan kepada
Nabinya untuk menerangkan isi dari Al-Qur’an. Maka suatu kekeliruan besar bagi
golongan Inkar As-Sunnah saat mereka menolak penjelasan Nabi (sunnah Nabi).
Mereka juga keliru dalam melakukan penafsiran atas ayat 38 Surat Al-An’am,
sebab Allah menyuruh kita untuk menggunakan apa-apa yang dijelaskan Nabi SAW.
2.3 Inkar As-Sunnah di Indonesia
Tokoh-tokoh “ Ingkar Sunnah “ yang tercatat di
Indonesia antara lain adalah Lukman Sa’ad (Dirut PT. Galia Indonesia) Dadang
Setio Groho (karyawan Inilever), Safran Batu Bara (guru SMP Yayasan Wakaf
Muslim Tanah Tinggi) dan Dalimi Lubis (karyawan kantor Departemen Agama Padang
Panjang).
Sebagaimana kelompok ingkar sunnah klasik yang
menggunakan argumen baik dalil naqli maupun aqli untuk menguatkan pendapat
mereka, begitu juga kelompok ingkar sunnah Indonesia. Diantara ayat-ayat yang
dijadikan sebagai rujukan adalah surat an-Nisa’ ayat 87 :
ﻮَﻤﻦ ﺍﺼﺪﻖ ﻤﻦ ﺍﷲ ﺤﺪﻴﺜﺎ
Menurut mereka arti ayat
tersebut adalah “Siapakah yang benar haditsnya dari pada Allah”.
Kemudian surat al-Jatsiayh
ayat 6:
ﻓﺒﺄﻱ ﺤﺪﻴﺚ ﺒﻌﺪ ﺍﷲ ﻮﺍﻴﺎﺗﻪ ﻴﺆﻤﻨﻮﻦ
Menurut mereka arti ayat tersebut adalah “Maka
kepada hadits yang manakah selain firman Allah dan ayat-ayatnya mereka mau
percaya”.
Selain kedua ayat diatas,
mereka juga beralasan bahwa yang disampaikan Rasul kepada umat manusia hanyalah
al-Qur’an dan jika Rasul berani membuat hadits selain dari ayat-ayat al-Qur’an
akan dicabut oleh Allah urat lehernya sampai putus dan ditarik jamulnya, jamul
pendusta dan yang durhaka. Bagi mereka Nabi Muhammad tidak berhak untuk
menerangkan ayat-ayat al-Qur’an, Nabi Hanya bertugas menyampaikan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Inkar sunnah terdiri dari dua kata yaitu Inkar dan Sunnah. Inkar,
menurut bahasa, artinya “menolak atau mengingkari”, berasal dari kata kerja,
ankara-yunkiru. Sedangkan Sunnah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti
diantaranya adalah, “jalan yang dijalani, terpuji atau tidak,” suatu tradisi
yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik.
Secara definitif Ingkar al-Sunnah dapat ddiartikan sebagai suatu
nama atau aliran atau suatu paham keagamaan dalam masyarakat Islam yang menolak
atau mengingkari Sunnah untuk dijadikan sebagai sumber san dasar syari’at
Islam. Kata “Inkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan atau
paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah
sebagai sumber kedua hukum Islam.
Daftar Pustaka
Djamaluddin,
Amin, Bahaya Ingkar Sunnah, Jakarta: Ma’had ad-Dirasati al-Islamiyah, 1986.
Ismail, Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1991.
Ismail, Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press.
Siba’I, Mustafa, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, diterjemahkan oleh Nurcholis Majid, Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1993.
Sulaiman, Noor, Antologi Ilmu Hadits, Cet. I, Pnerbit. Gaung Persada Press, Jakarta, 2008.
Suyitno, Studi Ilmu-Ilmu Hadits, Cet. I, IAIN Raden Fatah Press, Palembang, 2006.
Ismail, Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1991.
Ismail, Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press.
Siba’I, Mustafa, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, diterjemahkan oleh Nurcholis Majid, Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1993.
Sulaiman, Noor, Antologi Ilmu Hadits, Cet. I, Pnerbit. Gaung Persada Press, Jakarta, 2008.
Suyitno, Studi Ilmu-Ilmu Hadits, Cet. I, IAIN Raden Fatah Press, Palembang, 2006.
Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu HadisAngkasa
Bandung, Bandung, 1987.
Rasyid, Daud, “Sunnah di bawah ancaman: dari Snouck
Hugronje Hingga Harun Nasution “. Syamil, Bandung, 2006.Solahuddin, Agus,
Suryadi, “Ulumul Hadi”, Pustaka Setia, Bandung, 2009.
Ismail, Syuhudi, “Kaidah Kesahian Hadits”, Bulan Bintang,
Bandung, 1995.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan
terjemahannya. Mahkota Surabaya. 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar