Makalah Hadis
Kaidah Keshahihan Hadis
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam
Jurusan Akuntansi
Tahun Periodik 2013/2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Tidak perlu
diragukan lagi bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam di samping al-Qur’an.
Mengingat begitu pentingnya hadis, maka studi atau kajian terhadap hadis akan
terus dilakukan, bukan saja oleh umat Islam, tetapi oleh siapapun yang berkepentingan terhadapnya. Berbeda
dengan ayat-ayat al-Qur’an yang semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya
dapat dijadikan sebagai acuan atau hujjah. Hadis ada yang dapat dipakai ada
yang tidak. Di sinilah letak perlunya meneliti hadis. Agar dapat meneliti hadis
secara baik diperlukan antara lain pengetahuan tentang kaidah dan atau
metodenya. Atas dasar
itulah, para ulama khususnya yang menekuni hadis telah berusaha merumuskan
kaidah dan atau metode dalam studi hadis. Buah dari pengabdian dan kerja keras
mereka telah menghasilkan kaidah dan berbagai metode yang sangat bagus dalam
studi hadis, terutama untuk meneliti para periwayat yang menjadi mata rantai
dalam periwayatan hadis (sanad). Bahkan dapat dikatakan bahwa untuk studi sanad
ini, secara metodologis sudah relatif mapan yang ditunjang dengan perangkat
pendukungnya. Apalagi pada zaman sekarang, dengan memanfaatkan teknologi
komputer, studi sanad hadis dapat dilakukan secara sangat efisien dan lebih
akurat dengan kemampuan mengakses referensi yang jauh lebih banyak. Sementara itu, untuk studi matan atau teks hadis yang di dalamnya memuat
informasi-informasi dari atau tentang Nabi Muhammad SAW, secara metodologis
masih cukup tertinggal. Karena itulah masih diperlukan upaya untuk
mengembangkan atau merumuskan kaidah dan metode untuk studi matan hadis.
Dalam
makalah ini, penulis akan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan kaidah
kesahihan hadis, baik dari aspek sanad maupun matannya juga klasifikasi
kaidah-kaidah tersebut.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latarbelakang permasalahan di atas,dapatditarik rumusan masalah,sebagaiberikut
:
1.
Pengertian Kesahihan Hadist
2.
Kaidah Kesahihan Sanad
3.
Kaidah Kesahihan Matan
C.
TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah dapat ditarik tujuan penulisan yaitu sebagaiberikut
:
1.
Dapat mengetahui pengertian
Kesahihan Hadist
2.
Dapat mengetahui kaidah Kesahihan
Sanad
3.
Dapat mengetahui kaidah Kesahihan
Matan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kaidah Keshahihan Hadis
Sebelum
diuraikan unsur-unsur kaidah Kesahihan Hadis, perlu dijelaskan arti dari kaidah
itu sendiri. Secara etimologis, kata “kaidah” berasal dari bahasa arab قاعدة yang artinya alas bangunan,
aturan atau undang-undang. Kaidah juga diartikan sebagai norm (norma), rule
(aturan), atau principle (prinsip). Lebih
tegasnya lagi bahwa pengertian Kaidah Kesahihan Hadis adalah segala syarat,
kriteria, atau unsur yang harus terpenuhi oleh suatu hadis yang berkualitas
sahih. Kaidah kesahihan hadis meliputi sanad dan matan hadis. Untuk menjelaskan
rentetan kemunculan kaidah kesahihan hadis sampai terangkum dan menjadi sebuah
teori yang disepakati ulama saat ini.
1.
Kaidah
Keshahihan Sanad
a.
Pengertian
Sanad
Sanad secara
bahasa berarti al-mu’tamad, yaitu “yang di perpegangi (yang kuat) yang bias di jadikan pegangan”. Atau dapat juga di artikan: “ sesuatu yang
terangkat (tinggi) dari tanah”.
Sedangkan
secara terminologi, sanad berarti: sanad adalah jalannya matan yaitu
silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang
pertama.
Al-Tahanawi
megemukakan definisi yang hampir senada; Dan sanad
adalah jalan yang menyampaikan kepada matan Hadis, yaitu nama-nama para perawi
secara berurutan.
b.
Kaidah Kesahihan Sanad
1.
Kaidah Mayor
Pada awalnya ulama hadis sampai abad ke-3 masih
belum jelas memaparkan hadis sahih dengan defenisi, hanya Imam
Al-Syafi’I yang menjelaskan bahwa hadis yang dapat di jadikan hujjah (dalil),
hadis ahad tidak akan di terima menjadi hujjah terkecuali memenuhi dua syarat.
Pertama, hadis tersebut di riwayatkan oleh orang yang tsiqah (adil dan dhabit)
kedua, rangkaian sanad-nya bersambung dengan Nabi Muhammaad Saw, atau
dapat juga tidak sampai.
Penelitian sanad yang dilakukan ulama
terdahulu dengan berbagai kaedah bertujuan untuk mengetahui kualitas suatu
hadis apakah hadis tersebut diterima (maqbul)
atau ditolak (mardud).Hadis yang kualitasnya tidak memenuhi syarat-syatrat tertentu, yang dalam hal
ini adalah syarat-syarat yang diterima (maqbul)
nya suatu hadis, maka hadis tersebut tidak dapat digunakan sebagai hujah.
Pemenuhan
syarat itu diperlukan, karena hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Penggunaan hadis yang tidak memenuhi
syarat akan mengakibatkan ajaran Islam tidak
sesuai dengan apa yang seharusnya. Dengan dilakukannya penelitian sanad, maka akan dapat diketahui apa yang
dinyatakan sebagai Hadis Nabi itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan ke-sahih-annya
berasal dari beliau ataukah tidak
Adapun
Indikasi Mayor atau tanda-tanda yang paling utama bahwa sanad dari hadis
tersebut di ketahui sahih atau (maqbul) adalah sebagai berikut:
·
Sanad bersambung
·
Seluruh periwayat dalam sanad bersifat ‘adil
·
Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dabit
·
Sanad hadis itu
terhindar dari syuzzuz
2.
Kaidah Minor
Indikasi minor adalah lawan dari indikasi mayor yang
telah pemakalah sebutkan di atas, bararti indikasi minor adalah tanda-tanda
secara garis kecil, atau bisa juga dikatakan sebagai penjelasan indikasi minor
tersebut, sehingga akan lebih jelas apa yang di maksud dengan bersambung sanad-nya,
bagaimana seharusnya sifat atau tingkah laku rawi supaya bisa
dikatagorikan rawi yang adil, bagimana ukuran kekuatan
intelelaktual pe-rawi atau ke-dhabit-annya
sehingga hadis yang diriwayatkanya biasa dikatagorikan dengan hadis yang sahih
dan bukan hadis hasan, dan bagaimana yang di maksudkan bahwa sanad
hadis tersebut terhindar dari syadz dan illat.
Maka untuk menjelaskan itu kita tidak terlepas dari
standar ke-sahih-an sanad yang telah di tetapkan di atas walaupun
hanya secara garis besar, syarat-syarat di atas telah disepakati para ulama
hadis walaupun redaksi berbeda, adapun indikasi minornya sebagai berikut:
·
Aspek kebersambungan sanad
Tidak
selalu terdapat keseragaman pendapat mengenai konsep kebersambungan sanad
ini. Untuk menunjuk polemik tersebut, misalnya dapat di majukan dengan konsep
yang di gulirkan oleh al-Bukhori. Ia berpendapat bahwa sanad di
anggap bersambung apabila memenuhi
kriteria berikut:
·
Al-liqa’
Yakni
adanya interaksi atau pertemuan langsung antara satu perawi dengan perawi
berikutnya, dengan adanya suatu interaksi langsung antara murid dengan gurunya,
artinya mendengaratau menyimak langsung suatu hadis dari gurunya
·
Al-mu’asharah
Yakni
bahwa sanad di anggap bersambung apabila kehidupan guru dan muridnya
terjadi dalam waktu atau kurun yang sama.
Muslim
juga berpendapat dengan hal yang demikian, hanya saja perbedaan antara
al-Bukhori dengan Muslim hanya pada titik pertemuan langsung antara guru dengan
muridnya, al-Bukhori menetapkan harus adanya pertemuan antara guru dengan murid
walaupun hanya sekali saja. Sedangkan Bagi muslim sebuah sanad di
katakan telah bersambung apabila antara satu dengan perawi
berikutnya memungkinankan mereka bertemu
karena keduanya hidup dalam kurun waktu yang sama sementara letak giografis
mereka tinggal memungkinkan mereka bertemu jika di bandingkan kondisi saat itu. Dengan demikian, berarti
Muslim hanya menekankan kebersambungan sanad itu pada aspek al-mu’asharah
semata.
Jika
dilihat perbedaan yang dipatok oleh Bukhari dan Muslim sebagai mana di atas,
dapat di katakan bahwa kriteria al-Bukhari
yang layak menduduki peringkat pertama. Dengan mengacu kepada kebersambungan sanad yang demikian inilah posisi al-Bukhori
menduduki peringkat pertama di bandingkan dengan kitab hadist karya Muslim
maupun kitab-kitab hadist lainnya, bahkan jumhur ulama juga sepakat menjadikan sahih
al-Bukhari sebagai hadis kitab pertama.
Dalam
periwayatan hadis terdapat dua kegiatan yakni kegiatan menerima hadis dan
kegiatan menyampaikan hadis, dalam kegiatan menerima hadis menurut al-Qadhi `Iyadh
dan Ibn al-Shalah keduanya berpendapat bahwa seseorang dapat dipandang layak
menerima hadis setelah umurnya mencapai lima tahun
Akan
tetapi Umi Sumbulah lebih memperluas bahwa seorang yang dapat menerima hadis
tidak hanya mengacu kepada batas bawah umurnya, namun juga mengacu keakuratan
kesetiaan hafalannya, artinya walaupun seseorang itu sudah memenuhi kriteria
umur yakni umur lima tahun belum sepenuhnya dapat diterima tanpa memperhatikan
keakuratan dan kesetiaan hafalannya. Disamping menyangkut aspek biologis (umur)
ternyata para ulama juga tidak mensyaratkan bahwa seseorang layak menerima
hadis harus beragama Islam, akan tatapi ketika mentransformasikan hadis
tersebut atau mu’addi dia harus
berstatus sebagai muslim.
Argumentasi
yang di formulasikan para ulama di atas terkesan mempermudah periwayatan hadis
akan tetepi semua yang mereka lakukan dengan penuh pertimbangan antara lain:
Para
ulama mempertimbangkan adanya kekhawatiran akan hilang dan tidak terkumpulkan
sejumlah hadis Rasulullah, karena hadis itu tidak semua di dengar oleh sahabat
yang memeluk agama islam atau mereka yang telah mencapai usia baligh.
Meskipun
transformasi hadis tidak mensyaratkan harus baligh dan muslim, akan tetapi
ketika proses al-ada kedua syarat tersebut harus terpenuhi sehingga
kekhawatiran manipulasi dan kesalahan periwayatan akan di tepis dengan
persyaratan baligh dan muslim.
·
Periwayat bersifat adil
Istilah
`adalah (adil) secara
etiomologi adalah pertengahan, lurus, condong kepada kebenaran. Dan adapun
secara terminologi ulama hadis mempunyai rumusan yang berbeda-beda di antaranya
adalah rumusan al-Hakim dan al-Naisaburi bahwa perawi yang adil
itu adalah perawi yang tidak berbuat bid’ah dan maksiyat yang
menghancurkan moralitasnya. Berbeda dengan Ibn Shalah yang menambahkan pendapat
di atas, yakni muslim, baligh, berakal, dan tidak berbuat fasiq. M. Syakir
menambahkan satu unsur lagi yaitu dapat dipercaya.
Ke-adil-an
seorang rawi, menurut Syuhudi Ismail, harus memenuhi syarat :
Beragama Islam
dimana
seorang periwayat hadis ketika ia mengajarkan hadis tersebut sudah dalam
keadaan Islam, karena kedudukan kedudukan periwayat hadis sangat mulia, akan
tetapi berbeda dengan yang menerima hadis tidak disyaratkan beragama islam.
Mukallaf
Seoarang
pe-rawi juga harus mukallaf, karena persyaratan ini sudah jelas tertera
didalam hadis Nabi bahwa orang gila, orang lupa, dan anak-anak terlepas dari
tanggung jawab.
Melaksanakan
ketentuan Agama, yakni teguh dalam melaksanakan adab-adab syara’
Memelihara
muru’ah.
Muru’ah
merupakan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.Fathur Rahman mengutip
pendapat yang dikemukakan oleh al-Radi, ‘menjaga muru’ahadalah: tenaga
jiwa yang mendorong untuk selalu bertaqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi
kebiasaan-kebiasaan melakukan dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan
mubah yang menodai muru’ah.
Ada beberapa cara menetapkan ke-adil-an
periwayat hadis yang disebutka para
ulama, yaitu:
Popularitas
Kenapa
popularitas menjadi pilihan utama dan menempati posisi pertama dalam menetapkan
keadilan para perawi hadis di sebabkan karena popularitas di kalangan ulama
hadis, itu membuat citra dia sangat tidak di ragukan lagi dan ia tidak mungkin
berbohong dengan popularitasnya.
Penilaian
terhadap kritikus hadis
Periwayat bersifat dabit
kata
dhabith berasal dari kata dhabatha,
yadhbithu, dhabthan, secara bahasa berarti yang kuat, yang kokoh, yang
tepat dan sempurna hafalannya, maka dapat disimpulkan bahwa ungkapan rawi
yang dhabit berarti rawi yang cermat dan rawi yang kuat
hafalannya
Periwayat
yang bersifat dhabit adalah periwayat
yang hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya, dan mampu menyampaikan
riwayat yang telah dihafalnya itu tanpa penambahan dan pengurangan
Terdapat
beberapa metode yang digunakan oleh para ulama untuk mengetahui ke-dhabit-an
seorang pe-rawi, Ibn al-Shalah mengatakan bahwa ke-dhabit-an
seorang pe-rawi hadis dapat diketahui dengan cara mengkomparasikannya
dengan riwayat hadis dari sejumlah pe-rawi yang tsiqah yang telah
terkenal dengan ke-dhabit-annya,
jika riwayat seorang pe-rawi memiliki kesesuaian dengan riwayat
sejumlah pe-rawi lain meski secara makna, maka riwayatnya dapat
dijadikan sebagai dalil keagamaan, namun bila menyalahi , maka hal itu dapat
dijadikan indikasi bahwa seorang pe-rawi tersebut tidak dhabit
Mengenai
hal ini, Shuhudi Ismail mengajukan pendapatnya bahwa ke-dhabit-an
seorang pe-rawi dapat diketahui melalui beberapa jalan antara lain:
Kesaksian
para ulama dan popularitasnya di mata para muhadditsun
Kesesuaian
riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh pe-rawi lain yang telah
dikenal dengan ke-dhabit-annya, kesesuian tersebut boleh jadi hanya
secara maknawi, atau mungkin secara redaksional
Apabila
seorang pe-rawi sesekali mengalami kekeliruan, maka status dhabit
masih layak dipakaikan padanya, namun apabila kekeliruan tersebut sering
terjadi, maka status dhabit yang di sandangnya akan hilang atau tanggal
dengan sendirinya.
Para ulama hadis membagi periwayat
yang bersifat dhabit ini kepada dua
macam, yaitu:
Pertama,
dhabit sadri, yakni terpeliharanya
hadis yang diterimanya dalam hafalan,
sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya
itu sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja diperlukan dan dikehendaki, dan
mampu meriwayatkannya dengan sempurna.
Kedua,
dhabit kitab yaitu terpeliharanya
periwayatan melalui tulisan yang dimilikinya dengan mengingat betul hadis yang
ditulis, menjaga dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan
benar.
Terhindar dari
Syadz
Bahwa
penelitan syadz danillatbaik dari aspek sanad dan matan
hadis kebanyakan atau mayoritas ulama berpendapat lebih sulit bila
didibandingkan dengan penelitian terhadap ke-adil-an dan ke-dhabit
-an pe-rawi, serta kebersambungan sanad.
Akan
tetapi, para ulama muhadditsin juga
mengakui bahwa penelitian illat lebih sulit bila di bandingkan
penelitian terhadap aspek syadz. Hal ini disebabkan ketiadaan buku yang
di siapkan oleh para ulama khusus membahas aspek tersebut dalam bentuk sebuah
kitab. Begitu juga denganillat. Dengan berbagai alasan tersebut,
akhirnya mereka membuat kesesepakatan bahwa untuk mengetahui aspek syadz
dan juga aspek illat dalam hadist, sangat dibutuhkan pengetahuan yang
luas, mendalam dan telah sering dan terbiasa
melakukan penelitian hadist
M.Syuhudi
Ismail, mengatakan ke-syazz-an sanad hadis baru dapat
diketahui setelah diadakan penelitian sebagai berikut: Pertama, semua sanad yang mengandung matan hadis yang
pokok masalahnya sama dihimpun dan diperbandingkan. Kedua, para periwayat diseluruh sanad diteliti kualitasnya. Ketiga, apabila seluruh periwayat bersifat tsiqah dan ternyata ada seorang periwayat
yang sanad-nya menyalahi sanad-sanad lainnya, maka sanad
yang menyalahi itu disebut yang syazz
sedang yang lainnya disebut dengan sanadmahfuz.[26]
Terhindar Dari illat.
Secara
etiomologi ata secara bahasa illat berarti sakit. Selain itu ada juga yang mengartikan dengan “sebab dan
kesibukan”. Dan Illat menurut istilah ilmu hadis
ialah sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis, sehingga bisa
mengakibatkan tidak-sahih-nya suatu hadis.Ibn
Shalah mendefenisikan illat sebagai sebab tersembunyi yang merusak
kualitas hadis, karena keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya
berkualitas sahih menjadi tidak sahih lagi.
Ulama
hadis umumnya mengatakan, illat hadis kebanyakan berbentuk: Pertama, sanadyang tampak muttasil dan marfu’, ternyata muttasil dan
mauquf. Kedua, terjadi percampuran
hadis dengan bagian hadis lain. Ketiga,
terjadi kesalahan penyebutan riwayat, karena ada lebih dari seorang periwayat
memiliki kemiripan nama sedang kualitasnya sama-sama siqat.
Untuk
menjelaskan permasalahan illat al-Suyuthi membuat klasifikasi sebagai mana yang di kutip Umi Sumbulah
antara lain:
Sanad
tersebut secara lahir tampak sahih, namun ternyata didalamnya terdapat
seorang pe-rawi yang tidak mendengar sendiri dari gurunya akan hadis
yang diriwayatkannya tadi,
Sanad
hadis tersebut mursal dari seorang rawi
yang thiqah dan hafidz, padahal secara lahir tampak sahih.
Hadis
tersebut mahfudh dari sahabat, dimana
sahabat ini meriwayatkan dari pe-rawi
yang berlainan negeri, seperti hadis yang diriwayatkan ulama Madinah dari ulama
kufah berikut
B. Kaidah
Kesahihan Matan
1. Pengertian
Matan
Matan dalam
bahasa arab berarti “punggung jalan” atau “bagian tanah yang keras dan menonjol
ke atas. Secara
terminoligi berarti: Sesuatu yang berakhir padanya (terletak sesudah) Sanad,
yaitu berupa perkataan. Atau dapat
di artikan sebagai: Yaitu lafadz Hadis yang memuat berbagai pengertian. Dalam hal ini, kaidah kesahihan matan hadis dipahami sebagai aturan-aturan
atau prinsip-prinsip yang telah dirumuskan oleh para ulama hadis untuk meneliti
tingkat kesahihan matan hadis.
Matan hadis
bermuatan konsep ajaran islam mengambil beragam bentuk, antara lain:
Sabda
penuturan Nabi (hadist qouly) termasuk kejadian yang mengulas kejadian atau
peristiwa sebelum nubuwwah, penghikayatan tokoh Rasul / Nabi maupun Syariat
yang diberlakukan (Syar’u man qoblana)
Surat-surat
yang dibuat atas printah Nabi dan selanjutnya dikirim ke petugas di daerah atau
kepada pihak-pihak di luar islam, termasuk juga fakta perjanjian yang
melibatkan nabi.
Firman Allah
Swt selain Al qur’an yang disampaikan kepada umat dengan bahasa tutur nabi
(hadist Qudsi).
Pemberitaan
yang berkait erat dengan al Qur’an, seperti interpretasi Nabi atas ayat-ayat
tertentu, (tafsir nabawy) dan asbab nuzul.
Perbuatan
atau tindakan yang dilakukan Nabi dan diriwayatkan oleh sahabat (hadist fi’ly/
amaly)
Sifat dan
Hal ihwal pribadi nabi (Hadist Khalqy)
Perilaku dan
kebiasaan Nabi dalam tata kehidupan sehari-hari (hadis khuluqiy) serta
pengalaman dalam dinamika perjalanan kepemimpinan atau kemanusiaan Nabi (Sirah
Nabawiyah)
Sesuatu yang
direncanakan dan ancaman yang ditujukan kepada orang lain atau kelompok
sekalipuntidak terlaksanakan (hadist hammy).
Perbuatan
atau sikap terbuka sahabat dimana Nabi mengetahuinya dan Nabi bersikap
membiarkan tanpa menegur dan melarangnya (hadist taqriry)
Riwayat
Hidup Sahabat karena ada data hubungan khusus dengan Nabi (Hadist manaqiby)
Prediksi
keadaan yang kelak terjadi, seperti hadist tentang prediksi fitnah dan gejala
datangnya hari kiamat
Kejadian dan
kebijakan sahabat sepeninggal Nabi yang berpotensi sebagai penjabaran ajaran
Islam dan pelestarian sunnah nabawiyyah..misalnya suksesi kepemimpinan
khulafaur rasyidin, proses pembukuan mushaf Al qur’an dan proses kodifikasi
hadis.
2.
Kaidah Kesahihan Matan
a. Kaidah Mayor
Untuk mengetahui Kaidah mayor dan Kaidah minor ke-sahih-an matan
hadis, para ulama telah melakukan penelitian dan kritik secara seksama terhadap
matan-matan hadis. Sehingga dengan penelitian tersebut dapat
menjadi tolak ukur bagi sebuah matan hadis.[31]
Namun
kriteria ke-sahih-an matan hadis berbeda dalam kalangan muhadditsin, akan tetapi perbedaan itu
muncul dengan berbagai alasan dan pertimbangan masing-masing muhadditsin. Perbedaan itu muncul di
sebabkan oleh perbedaan latar belakang, keahlian alat bantu, dan persoalan,
serta perbedaan masyarakat yang di hadapinya.[32]
Walaupun
para ulama tidak mengungkapkan secara eksplisit bagaimana sebenarnya penerapan
secara praktis kritik matan, namun mereka memiliki beberapa garis batas
yang diperpegangi sebagai tolak ukur dan standarisasi. Adapun Kaidah mayor ke-sahih-an
matan hadis sebagai mana yang telah di rumuskan oleh ulama hadis adalah
sebagai berikut:
Terhindar dari Syadz
Terhindar dari Illat.[33]
Syadz yang ada pada sanad berbeda dengan syadz yang ada pada matan. Allabi menyatakan
bahwa sebuah matan hadis di katakan sahih antara lain:
Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an Karim yang telah
muhkam.
Tidak bertentangan dengan hadis Rasulullah yang
memeiliki bobot akurasi yang tinggi.
Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir.
Tidak bertentangan dengan amalan yang telah
disepakati ulama masa lalu.
Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti.
Tidak bertentangan dengan akal sehat.
b. Kaidah
Minor
Dari beberapa indikasi mayor yang telah di sebutkan diatas, masih dapat di
interpretasikan maupun penjelasan secara spesifik atau yang disebut dengan
indikasi minor adalah:
Terhindar dari syadz
Syadzdi samping terdapat pada sanad juga terdapat
pada matan, adapun kerancuan dan syadzpada matan adalah
adanya pertentangan dan ketidaksejalanan riwayat seorang perawi yang
menyendiri dengan perawi yang lebih kuat hafalannya dan ingatannya.
Adapun pertentangannya adalah dalam menukil matan hadis, sehingga
terjadi penambahan, pengurangan, perubahan tempat (maqlub) dan bentuk dan kelemahan dan cacat lainnya.[34]
Berikut ini penjelasan tentang kerancuan dan syadz
dalam matan:
Sisipan teks hadis (al-idraj fi al-matn)
Al-idraj fi al-matn (mudraj matn) adalah perkataan
sebagian perawi dari kalangan atau masa
sahabat atau penerus sesudahnya, yang mana qaul
atau ucapan tersebut kemudian bersambung dengan matan hadis yang asli.
Dimana ucapan atau qaul itu bisa bersambung di awal, ditengah dan di akhir
Pembalikan teks hadis (al-qalb fi al-matn)
Maqlub (fi al-matn) adalah terjadinya pembalikan teks sebuah
hadis, hadis ini dapat di fahami secara definitif sebagai hadis yang perawinya
menggantikan suatu bagian darinya dengan orang lain, dalam sebuah matan
hadis secara sengaja maupun terlupa
Memiliki kualitas sama dan tidak bisa di
unggulkan salah satunya (idhtirab fi al-matn)
Mudhtaribhadis adalah hadis yang diriwayatkan dari
seorang perawi atau lebih dengan beberapa teks yang sama kualitasnya,
sehingga di antaranya tidak dapat di unggulkan dan di kompromikan, walaupun
hali ini jarang terjadi pada matan
dan sering terjadi pada sanad
Kesalahan ejaan (al-tashhif
wa al-tahrif fi al-matn)
Adapun yang dimaksu dengan tashhif adalah kesalahan
yang terletak pada syakal atau baris. Sedangkan yang dimaksud dengan tahrif adalah kesalahan yang terletak pada huruf. Walaupun keduanya tidak
terdapat perbedaan yang mencolok.
Terhindar dari Illat
Illatsama halnya dengan syadzartinya
keduanya terjadi pada sanad dan juga pada matan. Adapun yang di
maksud illat yang terjadi pada matan adalahadanya sesuatu yang
tersembunyi yang terdapat pada matan yang secara lahir tampak berkualitas sahih,
yang tersembunyi di sini adalah kalimat yang merupakan teks hadis lain pada
hadis tertentu, yang mana kalimat atau redaksi tersebut bukanlah teks yang di
ucapkan oleh rasulullah, dan matan hadis tersebut sering menyalahi dari
hadis-hadis yang lebih kuat bobot akurasinya.[35]
Untuk mengungkap dan
mengetahui illat pada matan ada beberapa kriteria dan beberapa
cara yang telah di formulasikan oleh al-Salafi yang di kutip umi sumbulah
antara lain:[36]
Mengumpulakan hadis yang
semakna dan mengkomparasikan sanad dan matannya sehingga
diketahui illat yang terdapat didalamnya. Dan sejalan dengan pendapat
Abdullah ibn al-Mubarak ia berpendapat
jika engkau berkehendak untuk mengetahui kesahihan hadis yang ada
padamu, maka perbandingkan dengan yang lain.
Jika seorang perawi
bertentangan dengan riwayatnya dengan seorang perawi yang lebih thqah darinya, maka riwayat perawi tersebut di nilai ma’lul, artinya, matan hadis tersebut tidak sahih dan terkena illat.
Jika hadis yang
diriwayatkan seorang perawi bertentangan dengan hadis yang terdapat
dalam tulisannya (kitabnya), atau bahkan hadis yang di riwayatkannya itu
terynyata tidak terdapat dalam kitabnya, maka dengan pertentangan tersebut yang
menjadikan matan hadis menjadi ma’lul dan tidak sahih
lagi
Melalui penyeleksian
seorang syaikh bahwa ia tidak pernah menerima hadis yang telah diriwayatkannya
itu, artinya hadis yang diriwayatkannya itu sebenarnya tidak sampai kepadanya
Seorang perawi
tidak mendengar hadis langsung dari gurunya
Hadis yang telah umum
dikenal oleh sekelompok orang (kaum), namun kemudian dating seorang perawi
yang hadisnya menyalahi hadis yang telah mareka kenal itu, maka hadis yang
mereka kemukakan itu di anggap memiliki cacat. Adanya keraguan bahwa
tema inti hadis tersebut berasal dari Rasulullah
BAB III
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas
dapat disimpulkan :
Hadis adalah sumber ajaran islam yang kedua setelah
Al-qur’an, namun untuk menjadikannya sebagai sumber, atau dasar pengamalan,
perlu di klarifikasi terlebih dahulu mana hadis yang bisa kita amalkan dan mana
yang tidak bisa kita jadikan sebagai hujjah.
Hadis yang dapat kita perpegangi, yang menjadi dasar
pengamalan, atau sumber dan hujjah yang memang di terima adalah hadis sahih.
Mengukur ke-sahih-an hadis hanya terletek pada dua aspek yang pertama,
aspek sanad dan yang kedua aspek matan.
Kaidah Kesahihan Sanad terbagi atas Kaidah Mayor dan
Kaidah Minor, begitupula dengan Kaidah Kesahihan Matan yang juga terdiri atas
Mayor dan Minor
Saran
Dalam
penelitian hadis, supaya akurat sangat diperlukan kecermatan dan konsistensi
dalam menerapkan kaidah. Sepanjang semua unsur diterapkan secara benar dan
cermat, maka penelitian akan menghasilkan kualitas sanad dengan tingkat akurasi
yang tinggi. Diperlukan upaya untuk mengembangkan atau merumuskan kaidah dan metode, khususnya untuk studi
matan hadis.
DAFTAR
PUSTAKA
Usman
sya’roni. 2002. Otentsitas Hadis Menurut
Ahli Hadis Dan Sufi. Jakarta:
Pustaka
Firdaus
M.Syuhudi
Ismail. 1988. Kaedah Kesahihan sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang
UmiSumbulah. 2010.KajianKritisIlmuHadis.Malang: UIN Press
NURUDDIN’itr. 2012. ‘Ulumul
Hadis. Bandung: Remaja RosdaKarya
Sulaiman Noor. 2009. Antologi
Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada
Bustamin,
Salam, A, H, Isa, M,. 2004. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Prof,
Dr, Ismail, Syuhudi. 1995.Kaedah Kasahihan Sanad Hadis.Jakarta: PT.
Bulan Bintang
Rahman,
Fatchur. 1974.Ikhtisar Mushthalahul Hadis.
Bandung: Al Ma’arif.
bang catatan kakinya mana
BalasHapus