Jurusan
Akuntansi
UIN
Alauddin Makassar
Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis Islam
Kata Pengantar
Assalamualaium Wrm.Wbr.
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Atas berkah dan rahmat-Nyalah
sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “QIYAS” dalam mata
kuliah Fiqih ini dengan baik dan lancar.
Adapun dalam makalah ini kami akan memaparkan perihal hal-hal apa
saja yang berhungan dengan Qiyas itu sendiri.
Maka,untuk lebih jelasnya kami sajikan dalam makalah ini.
Demikianlah Kurang lebih nya mohon dimaafkan.Kami mengharapkan kritik dan
sarannya .
Terima Kasih.
Wassalam.
Samata,22 Juni 2014
PENULIS
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Syari’ah merupakan penjelmaan kongkrit kehendak Allah (al-Syari’) ditengah
masyarakat. Meskipun demikian, syari’ah sebagai essensi ajaran Islam tumbuh
dalam berbagai situasi, kondisi serta aspek ruang waktu. Realitas ontologis
syari’ah ini kemudian melahirkan epistemologi hukum Islam (fiqh) yang pada
dasarnya merupakan resultante dan interkasi para ulama dengan fakta sosial yang
melingkupinya. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa hukum Islam (fiqh)
menjsutifikasi pluralotas formulasi epistemologi hukum disebabkan adanya peran
“langage games” yang berbeda.
Mengingat adanya
problematika hukum berkembang terus, sedang ketentuan– ketentuan textual
bersifat terbatas, maka konsekuensi logisnya ialah ijtihad tidak dapat
dibendung lagi dalam rangka untuk menjawab permasalahan tersebut.
Formulasi umum yang
dipakai oleh jumhur dalam beristinbath (cara – cara mengeluarkan hukum dari
dalail) dalam menetapkan hukum biasanya beranjak dari : a) al-Qur’an , b).
al-Sunah dan C). al-Ra’yu berdasarkan firman Allah swt.
Berkaitan erat dengan ra’yu ini jumhur ulama, Abu Hanifah (81 – 150 H. / 700 –
767 M), Malik Ibn Anas (94 – 179 H. / 714 – 812 M), Ahmad Ibn Hanbal (164 – 241
H) biasanya mengekspresikan dengan apa yang disebut qiyas ( al-qiyas atau
lengkapnya, al-qiyas al-tamtsili, analogi reasoning), pemikiran analogis
terhadap suatu kejadian yang tidak ada ketentuan teksnya kepada kejadian lain
yang ada ketentuan teksnya lantaran antara keduanya ada persamaan illlat
hukumnya, serta persoalan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum dalam
usaha menangkap makna dan semangat berbagai ketentuan keagamaan yang dituangkan
dalam konsep – konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari
kemaslahatan) dalam hal ini kebaikan kemaslahatan umum (al-maslaha al-amah,
al-maslahah al-mursalah).
Dari paparan latar
belakang diatas, serta mengingat banyak dikalangan Mahasiswa yang masih belum
memahami sumber hukum islam Qiyas. maka penulis tertarik untuk membuat makalah
tentang Qiyas sekaligus memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih. Berikut akan
Kami sampaikan secara garis besarnya saja.
B. Rumusan Masalah
1.
Pengertian Qiyas
2.
Unsur-unsur Qiyas
3.
Qiyas Sebagai Dalil Hukum Syara
4.
Syarat-Syarat Qiyas
5.
Pembagian Qiyas
6.
Tempat Berlakunya Qiyas
7.
Perbedaan Antara Ijtihad Dengan Qiyas
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Qiyas
Secara etimologis kata “qiyas” berarti “qadar” artinya mengukur, membandingkan
sesuatu dengan semisalnya.Hasby ash Sidieqy mengartikan qiyas secara bahasa
yakni mengukur dan memberi batas. Menurut istilah ahli ushul ialah:
“menghubungkan hukum sesuatu pekerjaan kepada yang lain, karena kedua
pekerjaaan itu sebabnya sama yang menyebaban hukumnya juga sama”.Redaksi yang
berbeda di jelaskan oleh Sulaiman Abdullah mengenai istilah yang disampaikan
oleh ahli ushul yakni:”qiyas adalah mempersamakan satu peristiwa hukum yang
tidak ditentukan hukumnya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang ditentukan
oleh nash bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang ditentukan nash.
Tentang arti qiyas
menurut terminology (istilah hukum) terdapat beberapa definisi berbeda yang
saling berdekatan artinya. Diantara definisi-definisi tersebut yakni :
1.
Al-Gazali dalam al-Mustashfa memberi definisi qiyas:
“menanggungkan sesuatu
yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada
keduanya atau meniadakan hukum dan keduanya disebabkan ada hal yang sama antara
keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum’.
2.
Qadhi Abu Bakar memberikan definisi yang mirip dengan definisi di atas dan disetujui
oleh kebanyakan ulama, yaitu
“menanggungkan sesuatu
yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada
keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya”.
3.
Abu Hasan al-Bashri memberikan definisi:
“Menghasilkan
(menetapkan)hokum ashal pada “furu” karena keduanya sama dalam illat hokum
menurut mujtahid”. Dan masih banyak lagi pendapat ulama lainnya.
Beberapa definisi qiyâs
(analogi)
- Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
- Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
- Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
- menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yg belum di terangkan oleh al-qur'an dan hadist
B. Unsur-unsur
Qiyas
Mengenai hakikat qiyas
terdapat empat unsur (rukun) pada setiap qiyas, yaitu:
1. Suatu wadah atau hal
yang telah ditetapkan sendiri hukumnya oleh pembuat hukum. Ini disebut“maqis
alaihi” atau “ashal” atau “musyabah bihi”.
2. Suatu wadah atau hal
yang belum ditemukan hukumnya secara jelas dalam nash syara. Ini
disebut“maqis”atau”furu”atau”musyabbah”.
3. Hukum yang disebutkan
sendiri pembuat hukum (syari) pada Ashal. Berdasarkan kesamaan ashal itu dengan
furu,dalam illatnya para mujtahid dapat menetapkan hukum pada furu . ini
disebut hukum ashal.
4. Illat hukum yang
terdapat pada ashal dan terlihat pula oleh mujtahid pada furu.
C. Qiyas Sebagai
Dalil Hukum Syara
Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara, Muhammad
Abu Zahrah membagi tiga kelompok, yaitu:
1) Kelompok jumhur ulama
yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara. Mereka menggunakan qiyas dalam
hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Quran atau Sunnahdan dalam ijma
ulama. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampui
batas kewajaran.
2) Kelompok ulama
Zahiriyah dan Syiah Imamiyah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak.
Zhahiriyah juga menolak penemuan illat atas suatu hukum Dan tidak
menganggap perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara.
3) Kelompok yang
menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Merekapun berusaha menggabungkan dua
hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduanya, kadang-kadang memberi
kekuatan yang lebih tinggi kepada qiyas, sehingga qiyas itu dapat membatasi
keumuman sebagian ayat Al-quran atau Sunnah.
Dalil yang dikemukakan
jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil syara adalah:
·
Dalil Al-Quran
v Allah SWT memberi
petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana
terdapat dalam surat yasin ayat 78-79
v Artinya:”Dan ia membuat
perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata:
"Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang Telah hancur
luluh?"Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya
kali yang pertama. dan dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.”
v Allah menyuruh
menggunakan qiyas sebagaiman dipahami dari beberapa ayat al-Quran seperti dalam
surat al-Hasr ayat 2
v Firman Allah dalam
surat an-Nisa ayat ayat 59
·
Dalil Sunnah
v Hadis mengenai
percakapan Nabi dengan uadz Ibn Jabal saat ia diutus ke Yaman untuk menjadi
penguasa disana.
v Nabi member petunjuk
kepada sahabatnya tentang penggunaan qiyas dengan membandingkan antara dua hal,
kemudian mengambil keputusan atas perbandingan tersebut.
·
Atsar Sahabat
Adapun argumentasi
jumhur ulama berdasarkan atsar sahabat dalam penggunaan qiyas adalah;
v Surat Umar ibn Khatab
kepada Abu Musa al-Asyari sewaktu diutus menjadi qadhi di yaman.
v Para sahabat Nabi
banyak menetapkan pedapatnya berdasarkan qiyas. Misalnya contoh yang populer
adalah kesepakatan sahabat menggangkat Abu Bakar menjadi khalifah pengganti
Nabi.
D. Syarat-Syarat Qiyas
1.
Maqis alaihi (tempat menqiyaskan sesuatu kepadanya). Syarat-syaratnya :
a. Harus ada dalil atau
petunjuk yang membolehkan mengqiyaskan sesuatu kepadanya, baik secara nau’I
atau syakhsi (lingkungan yang sempit atau terbatas).
b. Harus ada kesepakatn
ulama tentang adanya illat pada ashal maqis alaih itu.
2. Maqis (sesuatu yang
akan dipersamakan hukumnya dengan ashal)
a. illat yang terdapat
pada furu memiliki kesamaan dengan illat yang terdapat pada ashal.
b. harus ada kesamaan antara
furu itu dengan ashal dalam hal ilat maupun hukuum baik yang menyangkut ain
atau jenis dalam arti sama dalam ain illat atau sejenis illat dan sama dalam
ain hokum atau jenis hukum.
c. Ketetapan pada hukum
tidak menyalahi dalil qat’i.
d. Tidak terdapat penentang
hukum lain yang lebih kuat terhadap hukum pada furu dan hukum dalam penentang
itu berlawan dengan illat qiyas itu.
e. Furu itu tidak pernah
diatur hukumnya dalam nash tertentu.
f. Furu itu tidak
mendahului ashal dalam keberadaannya.
3. Hukum Ashal adalah
hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis alaihi yang ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan diberlakukan pada furu. Adapu
yang menjadi syarat-syaratnya :
a. Hukum ashal itu adalah
hukum syara, karena tujuan qias syari adalah untuk mengetahui hukum syara pada
furu.
b. Hukum ashal itu
ditetapkan dengan nash bukan dengan qiyas.
c. Hukum ashal itu adalah
hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang telah di nasakh.
d. Hukum ashal itu tidak
menyimpang dari ketentuan qiyas.
e. Hukumashal itu harus
disepakati oleh ulama.
f. Dalil yang menetapkan
hukum ashal secara langsung tidak menjangkau kepada furu.
4.
Illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum.
a.
Bentuk-bentuk illat
·
Sifat hakiki, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya tanpa
bergantung kepada urf atau lainnya.
·
Sifat hissy, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati oleh alat indra.
·
Sifat urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur namun dapat dirasakan
bersama.
·
Sifat lughawi, yaitu sifat yang dapat diketahui dari penamaannya dalam
artian bahasa.
·
Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai bentuk hukum syar’i
dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu hukum.
·
Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan
adanya suatu hukum.
b. Fungsi illat
o
Penyebab/penetap yaitu illat yang dalam hubungannya dengan hukum merupakan
penyebab atau penetap adanya hukum, baik dengan nama mu’arif ,muassir, atau
baits.
o
Penolak yaitu illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi,
tetapi tuidak mencabut hukum itu seandainya ilat tersebut terdapat pada saat
hukum tengah beraku.
o
Pencabut, yaitu illat yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila illat itu
terjadi dalam masa tersebut.
o
Penolak atau pencegah, yakni illat yang hubungannya dengan hukum dapat
mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu
telah berlangsung.
c.
Syarat-syarat illat
o
Illat itu harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksanaan suatu hukum
dan dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.
o
Illat itu adalah suatu sifat yang jelas dan dapat disaksikan.
o
Illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur, keadaannya jelas dan
terbatas, sehingga tidak tercampur dengan yang lainnya.
o
Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan
menjadi illat.
o
Illat itu harus mempunyai daya rentang.
o
Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang untuk
menjadi illat.
E. Pembagian
Qiyas
Pembagian qiyas dapat
dilihat dari berbagai segi sebagai berikut:
1. Pembagian qiyas dari segi
kekuatan illat yang terdapat pada furu, dibandingkan pada ilat yang terdapat
pada ashal.
a. Qiyas awlawi, yaitu
qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada
ashal karena kekuatan illat pada furu.
b. Qiyas musawi, yaitu
qiyas yang berlakunya hukum pada furu sama keadannya dengan berlakunya hukum
pada ashal karena kekuatan illatnya sama.
c. Qiyas adwan, yaitu yang
yang berlakunya hukum pada furu lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya
hukum pada ashal meskipu qiuas tersebut memenuhi persyaratan.
2.
Pembagian qiyas dari segi kejelasan illatnya
a. Qiyas jali, yaitu qiyas
yang illlatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal
atau tidak ditetapkan illat itu dalam nash, namun titik pembedaan antara ashal
dengan furu dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
b. Qiyas khafi, yaitu
qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya diistinbatkan dari
hukum ashal yang memungkinkan kedudukan illatnya bersifat zhanni.
3. Pembagian qiyas dari segi keserasian illatnya dengan
hukum;
a) Qiyas muatsir, yang
diibaratkan dengan dua definisi Pertama, qiyas yang illat penghubung antara
ashal dan furu ditetapkan dengan nash yang syarih atau ijma.Kedua,qiyas yang
ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghuubungkan ashaldengan furu itu
berpengaruh terhadap ain hukum.
b) Qiyas mulaim, yaitu
qiyas yang illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam
bentuk munasib mulaim.
4.
Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas itu
a. Qiyas ma’na atau qiyas
dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun illatnya tidak dijelaskan dalam
qiyas namun antar ashal dengan furu tidak dapat dibedakan, sehingga furu itu
seolah-olah ashal itu sendiri.
b. Qiyas illat, yaitu
qiyas yang illatnya dijelaskan dan illat tersebut merupakan pendorong bagi
berlakunya hukum dalam ashal.
c. Qiyas dilalah, yaitu
qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penerapan hukum itu sendiri namun ia
merupakan keharusan (kelaziman) bagi illat yang memberi petunjuk akan adanya
illat.
5. Pembagian qiyas dari
segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan
dalam furu.
a. Qiyas ikhalah, yaitu
qiyas yang illat hukumnya ditetapkan melalui metode munasabah dan ikhalah.
b. Qiyas syabah, yaitu
qiyas yang hukum ashalnya ditetapkan melalui metode syabah.
c. Qiyas sabru, yaitu
qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode sabru wa taqsim.
d. Qiyas thard, yaitu
qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan melalui thard.
F. Tempat
Berlakunya Qiyas
Sebagian ulama diantara Imam Syafi’I berpendapat bahwa qiyas berlaku pada semua
hukum syariah, meskipun dalam perkara hudud, kafarat, taqditar (hukum-hukum
yang telah ditetapkan) dan hukum-hukum rukhsah, yakni hukum-hukum perkecualian,
apabila syarat-syaratnya sudah terpenuhi. Sebab dalil yang mendukung atas
kehujjahannya tidak membeda-bedakan antara satu macam hukum dengan hukum-hukum
lainnya.
Ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat bahwa qiyas tidak berlaku pada
masalah hudud (pidana yang telah ditetapkan nash). Sebab ia termasuk batas yang
telah ditetapkan Allah yang tidak bisa diketahui illatnya oleh akal. Seperti
seratus cambukan bagi pezina. Disamping itu ialah karena dapat ditolak atau
dihilangkan dengan kesyubhatan (ketidak jelasan terjadinya). Sedangkan qiyas
juga subhat, sebab ia menunjukan pada hukum dengan cara dzanny bukan qat’i.
Maka uqubat yang telah diwajibkan tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil
yang qat’i. Adapun soal uqubat yang tidak ditentukan bentuk pidananya, yang
disebut dengan “Ta’zir” maka qiyas dalam soal ini dapat berlaku. Demikian
menurut kesepakatan para ulama Fiqh.
Qiyas juga tidak berlaku dalam soal kafarat. Sebab, kafarat juga berarti
uqubat, maka hukumnyapun sama dengan uqubat. Demikian pula qiyas tidak berlaku
pada soal rukhsah, sebab ia merupakan hadiah ari Allah SWT, maka tidak berlaku
qiyas padanya.
Begitu juga qiyas tidak berlaku dalam masalah ibadah. Maka qiyas tidak berlaku
pada pokok-pokok ibadah. Dan tidak sah menciptakan ibadah dengan cara
mengqiyaskan pada ibadah yang sudah ada ketetapannya. Qiyas juga tidak berlaku
pada sesuatu yang akal tidak mengetahui maksud dan tujuannya baik dari segi
hukum maupun bagian-bagiannya, sehingga tidak boleh mensyariatkan sesuatu
ibadah yang tidak diizinkan Allah SWT.
G. Perbedaan Antara
Ijtihad Dengan Qiyas
Ijtihad mengenai kejadia-kejadian baik yang ada nash, tetapi dzanni wurudnya
dan dalalahnya dan yang tak ada nash. Ijtihad yang ada nash dzanni, adalah
untuk menentukan apa yang harus kita pahami dan untuk mengetahui apakah itu ‘am
atau khas. Dan kalau dia ‘am apakah dia masih tetap ‘am atau mutlaq atau
mukayyad. Ijtihad terhadap yang tidak ada nash ialah menetapkan hukumnya dengan
jalan qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, ataupun dengan dalil yang lain yang
dibenarkan syara.
Bidang qiyas ialah kejadian-kejadian yang tidak ada nash tetapi terdapat dalam
syara, sesuatu pokok untuk diqiyaskan kepadanya. Maka qiyas adalah sesuatu
sumber ijtihad, sedang ijtihad itu lebih umum dari pada qiyas. Dan kadang pula
ijtihad dengan qiyas dipandang sama. Diantara perbedaan-perbedaan ijtihad
dengan qiyas ialah qiyas yidak dapat berlaku dalam bidang ibadah, hudud dan
kafarat, sementara ijtihad dapat dilakukan disegala bidang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Qiyas adalah suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara dalam
hal yang nash Al-Quran dan Sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas.
Ada dua macam cara penggunaan ra’yu yakni penggunaan ra’yu yang masih merujuk
kapada nash dan penggunaan ra’yu secara bebas tanpa mengaitkannya kepada nash.
Bentuk pertama secara sederhana disebut qiyas. Dasar qiyas adalah adanya kaitan
yang erat antara hukum dan sebab.
Hal-hal atau kasus yang ditetapkan Allah hukumnya sering mempunyai kesamaan dengan
kasus lain yang tidak ditetapkan hukumnya. Meskipun asus lain itu tidak
dijelaskan hukumnya oleh Allah, namun karena adanya kesamaan dalam hal sifatnya
dengan kasus yang ditetapkan hukumnya, maka hukum yang sudah ditetapkan dapat
diberlakukan kepada kasus lain tersebut.
Atas dasar keyakinan bahwa tidak ada yang luput dari hukum Allah,maka setiap
muslim meyakini bahwa setiap peristiwa yang terjadi pasti ada hukumnya.
Sebagian hukum dapat dilihat secara jelas dalam nash syara namun sebagian lain
tidak jelas. Dengan konsep mumatsalahperistiwa yang tidak jelas hukumnya itu
dapat disamakan hukumnya dengan yang ada hukumnya dalam nash. Usaha
meng-istinbath dan penetapan hukum yang menggunakan metode penyamaan ini
disebut ulama ushul dengan qiyas (analogi)
B. Saran
Semoga dengan adanya
pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan sumberpengetahuan bagi semua
orang dan semoga bermanfaat. Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami hanyalah
manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat harapkan
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak terutama dari dosen yang
bersangkutan, agar kedepannya dapat membuat yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.ilmu+qiyash&ie=utf-8&oe=utf-8&rls=com.yahoo:id
http://zhamexsa.blogspot.com/2010/04/qiyas-analogi.htm
http://zhamexsa.blogspot.com/2010/04/qiyas-analogi.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar