BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Pesatnya pertumbuhan bisnis syariah dalam berbagai bidang di Indonesia maupun di dunia mendorong adanya kebutuhan yang tinggi akan akuntansi syariah. Yang mana akuntansi syariah merupakan salah satu bentuk penerapan dari syariah Islam.
Berkembang pesatnya kegiatan ekonomi dan keuangan syariah telah menarik banyak pihak untuk mengetahui lebih dalam tentangnya. Bukan hanya kajian dari sisi landasan konseptual dan penerapan fikihnya, namun juga berkaitan langsung dari sisi menejemen operasional, khususnya dalam hal pendokumentasian transaksi syariah.
Akuntansi syariah merupakan ilmu yang masih tergolong baru di kalangan masyarakat sekarang ini. Karena akuntansi yang sering dikenal oleh kebanyakan orang adalah akuntansi konvensional. Pada dasarnya sistem akuntansi itu sama, yaitu pencatatan dan pembukuan.
Akuntansi syariah diperlukan untuk mendukung kegiatan yang harus dilakukan sesuai dengan syariah , karena tidak mungkin dapat menerapkan akuntansi yang sesuai dengan syariah jika transaksi yang akan dicatat oleh proses akuntansi tersebut tidak sesuai dengan syariah.
Ternyata kalau kita lihat dari sejarah peradaban Islam disitu akan terdapat sejarah perkembangan ilmu. Ilmu ini telah dipraktikkan oleh Rasulullah sendiri. Setiap melakukan transaksi, Rasulullah selalu mencatatnya. Tentang landasan hukum dalam bermuamalat telah dijelaskan oleh Allah dalam surat al-baqarah: 282, ayat ini menerangkan tentang transaksi dan pencatatan.
Akuntnsi syariah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari iman, ilmu dan amal. Artinya, wujud keberanian seseorang harus diekspresikan dalam bentuk perbuatan (amal).
BAB
II
KONSEP DASAR AKUNTANSI PADA BANK SYARIAH
KONSEP DASAR AKUNTANSI PADA BANK SYARIAH
A. Pengertian
Akuntansi merupakan seni dalam mencatat,menggolongkan dan mengikhtisarkan semua transaksi-transaksi yang terkait dengan keuangan yang telah terjadi dengan suatu cara yang bermakna dan dalam satuan uang.
Akuntansi sebagai bagian dari informasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu gugusan (rangkaian, kumpulan atau kelompok) tugas menejemen dalam mencapai tujuannya.
Definisi bebas dari akuntansi adalah identifikasi transaksi yang kemudian diikuti dengan kegiatan pencatatan, penggolongan, serta pengikhtisaran transaksi tersebut sehingga menghasilkan laporan keuangan yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan.
B. Konsep Dasar Akuntansi Syariah
Akuntansi syariah merupakan domain dari “muamalah” dalam kajian Islam, dimana dalam pengaplikasiannya diserahkan kepada kemampuan akal pikiran manusia untuk mengembangkannya. Namun karena pentingnya permasalahan ini maka Allah SWT bahkan memberikannya tempat dalam kitab suci Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya”
Ayat ini sebagai lambang komoditi ekonomi yang mempunyai sifat akuntansi yang dapat dianalogkan dengan “double entry”, dan menggambarkan angka keseimbangan atau neraca.
Karena akuntansi ini sifatnya muamalah maka pengembangannya diserahkan pada kebijaksanaan manusia. Sedangkan Al-Qur’an dan Sunnah hanya membekalinya dengan beberapa sistem nilai seperti landasan etika, moral, kebenaran, dan sebgainya. Dalam surat Al-Baqarah Islam mewajibkan untuk melakukan pencatatan:
1. Menjadi bukti dilakukannya transaksi.
2. Menjaga agar tidak terjadi manipulasi.
Perintah Al-Qur’an yang telah disebutkan di atas perlu dioperasinalkan dalam bentuk aksi atau praktik. Sehingga perintah A-Qur’an dapat membumi dalam masyarakat. Karena selama ini masyarakat Muslim sebagian besar hanya memahami agama saja namun tidak pernah mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari.
C. Pendekatan dan Fungsi
1. Pendekatan yang digunakan
a. Mengidentifikasi konsep akuntansi yang telah dikembangkan sebelumnya dengan prinsip Islam tentang keadilan.
b. Mengidentifikasi konsep yang digunakan dalam akuntansi keuangan konvensional, tetapi tidak sesuai dengan syariat Islam. Konsep yang seperti itu ditolak atau dimodifikasi secukupnya untuk mematuhi syariat supaya membuatnya bermanfaat. Contohnya dari konsep ini adalah nilai waktu dari uang (time value of money) sebagai sifat pengukuran.
c. Mengembangkan konsep-konsep yang mengidentifikasikan aspek-aspek tertentu dari akuntansi untuk bank Islam yang unik kepada cara bertransaksi bisnis yang Islami. Contohnya, konsep yang dikembangkan berdasarkan hukum-hukum yang mendefinikan resiko dan balasan yang dikaitkan dengan transaksi bisnis, serta terjadinya biaya dan perolehan keuntungan. [1]
2. Fungsi Bank-Bank Islam
Pada dasarnya bank-bank Islam dikembangkan berdasarkan prinsip yang tidak membolehkan pemisahan antara hal-hal yang bersifat duniawi dengan keagamaan. Prinsip ini mengharuskan kepatuhan kepada syariat sebagai dasar dari semua aspek kehidupan. Kepatuhan ini tidak hanya dalam hal ibadah ritual, tetapi transaksi bisnis pun harus sesuai dengan syariat. Sebagai contoh dalam hal ini adalah aspek yang paling terkemuka dari ajaran Islam mengenai muamalah, yaitu pelarangan riba dan perspsi uang sebagai alat tukar dan alat melepaskan kewajiban. Uang bukanlah komoditas. Dengan demikian, uang tidak memiliki nilai waktu kecuali nilai barang yang ditukar melalui penggunaan uang sesuai dengan syariah.
Sebagai konsekuensi dari prinsip ini, bank Islam dioperasikan atas dasar konsep bagi untung dan bagi resiko yang sesuai dengan salah satu kaedah Islam, yaitu “keuntungan adalah bagi pihak yang menanggung risiko”. Bank Islam menolak bunga sebagai biaya untuk penggunaan uang dan pinjaman sebagai alat investasi.
Bank Islam menerima dan berdasarkan kontrak mudharabah, yaitu salah satu bentuk kesepakatan antara shahibul mal dan penyedia usaha. Dalam melaksanakan usaha berdasarkan akad mudharabah, bank menyatakan kemauannya menerima dana untuk diinvestasikan atas nama pemiliknya, serta memberitahukan bahwa kerugian akan ditanggung sepenuhnya oleh penyedia dana selama kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kelalaian atau pelanggaran kontrak.
D. Definisi Unsur-Unsur Dasar Pernyataan Keuangan
1. Pernyataan posisi keuangan
a. Aset
Aset adalah sesuatu (benda) baik yang berwujud maupun yang semu yang dimiliki oleh perusahaan. Aset yang tidak berwujud ini disebut juga dengan ekuitas yang dapat mendatangkan manfaat di masa depan.
b. Liabilitas
Liabilitas adalah kewajiban yang berjalan untuk memindahkan aset, meneruskan penggunaannya sebagai hasil dari transaksi yang terjadi.
2. Pernyataan pendapatan
a. Pendapatan
Pendapatan adalah kenaikan kotor dalam aset atau penurunan dalam liabilitas selama priode yang dipilih oleh pernyataan pendapatan yang berakibat dari investasi yang halal, perdagangan, memberikan jasa, atau aktivitas lain yang bertujuan untuk meraih keuntungan.
b. Biaya
Biaya adalah penurunan kotor dalam aset atau kenaikan dalam liabilitas selama priode yang dipilih oleh pernyataan pendapatan yang berakibat dari investasi yang halal, perdagangan, atau aktivitas termasuk pemberian jasa.
c. Keuntungan
Keuntungan adalah kenaikan bersih dari aset bersih sebagai akibat dari memegang aset yang mengalami peningkatan nilai selama priode yang dipilih oleh pernyataan pendapatan.
d. Kerugian
Kerugian adalah penurunan bersih dari aset bersih sebagai akibat dari memegang aset yang mengalami penurunan nilai selama priode yang dipilih oleh pernyataan pendapatan. [2]
E. Sistem Keuangan Syariah
1. Konsep pemeliharaan harta kekayaan
Memelihara harta, bertujuan agar harta yang dimiliki oleh manusia diperoleh dan dipergunakan sesuai dengan syariat sehingga harta yang dimiliki halal dan sesuai dengan keinginan pemilik mutlak dari harta kekayaan tersebut yaitu Allah SWT.
a. Anjuran bekerja atau berniaga[3]
Islam menganjurkan manusia untuk berniaga atau berusaha, dan menghindarkan kegiatan meminta-minta dalam mencari harta kekayaan. Manusia memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan termasuk untuk memenuhi sebagian perintah Allah seperti zakat, infaq, sedekah, ibadah haji, dan sebagainya.
“Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS.
Al-Jum’ah:10)
Sedangkan harta yang baik menurut Rasulullah adalah harta yang diperoleh dari hasil keringat sendiri, sebagaimana Beliau mengungkapkannya dalam sabdanya, diantaranya:
Ketika Rasulullah ditanya oleh Rafi bin Khudaij: Dari Malik bin Anas r.a “Wahai Rasulullah, pekerjaan apakah yang paling baik ?” Rasulullah menjawab “Pekerjaan orang dengan tangannya sendiri dan jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad dan Al-Bazzar At-Thabrani dari Ibnu Umar)
“Sesungguhnya Allah suka kalau Dia melihat hamba-Nya berusaha mencari barang dengan cara yang halal”. (HR. Ath-Thabrani dan Ad-Dailami)
b. Konsep kepemilikan
Harta yang baik harus memiliki dua kriteria, yaitu diperoleh dengan cara yang sah dan benar, serta dipergunakan dengan dan untuk hal yang baik-baik dijalan Allah SWT.
Allah adalh pemilik mutlak segala sesuatu yang ada di dunia ini, sedangkan manusia hanya sebagai wakil Allah di muka bumi ini yang diberi kekuasaan untuk mengelolanya.
Sudah seharusnya, sebagai pihak yang diberi amanah (titipan), pengelolaan harta titipan tersebut disesuaikan dengan keinginan pemilik mutlak atas harta kekayaan yaitu Allah SWT.
Jadi, menurut Islam, kepemilikan harta kekayaan pada manusia terbatas pada kepemilikan kemanfaatan selama masih hidup di dunia, dan bukan kepemilikan secara mutlak. Saat dia meninggal, kepemilikan tersebut berakhir dan harus didistribusikan kepada ahli warisnya, sesuai ketentuan syariah.
2. Penggunaan dan pendistribusian harta
Islam dalam mengatur aspek kehidupan ekonomi penuh dengan pertimbangan moral sebagai mana firman Allah berikut ini.
“Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-Qashash: 77)
Dari ayat di atas kita dapat menyimpulkan bahwa dalam penggunaan harta manusia tidak boleh mengabaikan kebutuhannya di dunia, namun di sisi lain harus cerdas dalam menggunakan hartanya untuk mencari pahala akhirat.
Ketentuan yang berkaitan dengan penggunaan harta antara lain:
a. Tidak boros dan tidak kikir
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (Al-A’raaf: 31)
Di sini kita dapat melihat bahwa Allah sebagai sang pencipta mengajarkan kepada kita suatu konsep hidup “pertengahan” yang luar biasa, untuk hidup dalam batas-batas kewajaran, tidak boros/berlebih-lebihan dan tidak kikir.
b. Memberikan infaq dan shadaqah
Membelanjakan harta dengan tujuan mencari rida Allah dengan berbuat kebajikan. Misalnya, mendirikan tempat peribadatan, rumah anak yatim, menolong kaum kerabat, member pinjaman tanpa mengharapkan imbalan, atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun yang diperlukan oleh mereka yang membutuhkan.
Sedangkan harta yang baik menurut Rasulullah adalah harta yang diperoleh dari hasil keringat sendiri, sebagaimana Beliau mengungkapkannya dalam sabdanya, diantaranya:
Ketika Rasulullah ditanya oleh Rafi bin Khudaij: Dari Malik bin Anas r.a “Wahai Rasulullah, pekerjaan apakah yang paling baik ?” Rasulullah menjawab “Pekerjaan orang dengan tangannya sendiri dan jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad dan Al-Bazzar At-Thabrani dari Ibnu Umar)
“Sesungguhnya Allah suka kalau Dia melihat hamba-Nya berusaha mencari barang dengan cara yang halal”. (HR. Ath-Thabrani dan Ad-Dailami)
b. Konsep kepemilikan
Harta yang baik harus memiliki dua kriteria, yaitu diperoleh dengan cara yang sah dan benar, serta dipergunakan dengan dan untuk hal yang baik-baik dijalan Allah SWT.
Allah adalh pemilik mutlak segala sesuatu yang ada di dunia ini, sedangkan manusia hanya sebagai wakil Allah di muka bumi ini yang diberi kekuasaan untuk mengelolanya.
Sudah seharusnya, sebagai pihak yang diberi amanah (titipan), pengelolaan harta titipan tersebut disesuaikan dengan keinginan pemilik mutlak atas harta kekayaan yaitu Allah SWT.
Jadi, menurut Islam, kepemilikan harta kekayaan pada manusia terbatas pada kepemilikan kemanfaatan selama masih hidup di dunia, dan bukan kepemilikan secara mutlak. Saat dia meninggal, kepemilikan tersebut berakhir dan harus didistribusikan kepada ahli warisnya, sesuai ketentuan syariah.
2. Penggunaan dan pendistribusian harta
Islam dalam mengatur aspek kehidupan ekonomi penuh dengan pertimbangan moral sebagai mana firman Allah berikut ini.
“Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-Qashash: 77)
Dari ayat di atas kita dapat menyimpulkan bahwa dalam penggunaan harta manusia tidak boleh mengabaikan kebutuhannya di dunia, namun di sisi lain harus cerdas dalam menggunakan hartanya untuk mencari pahala akhirat.
Ketentuan yang berkaitan dengan penggunaan harta antara lain:
a. Tidak boros dan tidak kikir
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (Al-A’raaf: 31)
Di sini kita dapat melihat bahwa Allah sebagai sang pencipta mengajarkan kepada kita suatu konsep hidup “pertengahan” yang luar biasa, untuk hidup dalam batas-batas kewajaran, tidak boros/berlebih-lebihan dan tidak kikir.
b. Memberikan infaq dan shadaqah
Membelanjakan harta dengan tujuan mencari rida Allah dengan berbuat kebajikan. Misalnya, mendirikan tempat peribadatan, rumah anak yatim, menolong kaum kerabat, member pinjaman tanpa mengharapkan imbalan, atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun yang diperlukan oleh mereka yang membutuhkan.
c. Membayar zakat sesuai ketentuan
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”(QS. At-Taubah: 103)
Setiap manusia yang beriman yang memiliki harta melampaui ukuran tertentu, diwajibkan untuk mengeluarkan sebagian hartanya (zakat) untuk orang yang tidak mampu, sehingga dapat tercipta keadilan social, rasa kasih saying dan rasa tolong-menolong.
d. Memberikan pinjaman tanpa bunga (qardhul hasan)
Memberikan pinjaman ke sesama muslim yang membutuhkan, dengan tidak menambah jumlah yang harus dikembalikan (bunga/riba). Pinjaman yang seperti ini bertujuan untuk mempermudah pihak yang meminjam, tidak memberatkan sehingga dapat mempergunakan modal pinjaman tersebut untuk hal-hal yang produktif dan halal.
3. Aktivitas bisnis yang terkait dengan barang dan jasa yang diharamkan Allah
a. Riba
Yaitu tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adannya padanan (‘iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut. Yang dimaksud dengan penyeimbang atau pengganti di sini adalah transaksi bisnis yang melegitimasi adanya penambahan secara adil, seperti jual beli, sewa menyewa, atau bagi hasil proyek, dimana dalam transaksi tersebut ada faktor penyeimbangnya berupa ikhtiar/usaha, resiko dan biaya.[4]
b. Penipuan
Penipuan terjadi apabila salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui orang lain dan dapat terjadi dalam empat hal, yakni penipuan dari segi kualitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan.
Penipuan dari segi kuantitas, misalnya dengan mencampurkan barang yang baik dengan barang yang buruk atau barang yang dijual memiliki cacat tapi disembunyikan. Penipuan dari segi kuantitas, misalnya mengurangi timbangan pada saat terjadinya transaksi. Penipuan dari segi harga, misalnya menjual barang dengan harga yang terlalu tinggi kepada orang yang tidak mengetahui harga yang wajar tentang barang tersebut.
Dan adapun penipuan dari segi waktu, misalnya seorang penyedia jasa menyanggupi penyelesaian pesanan pada waktu tertentu, sementara di sangat sadar bahwa dengan sumber daya dan kendala yang dimilikinya tidak mungkin dapat menyelesaikannya tepat pada waktu yang telah dijanjikan.
c. Perjudian
Transaksi perjudian adalah transaksi yang melibatkan dua pihak atau lebih, dimana merka menyerahkan sejumlah dari uang /harta kekayaan mereka, kemudian mengadakan permainan tertentu, baik dengan kartu, adu ketangkasan, maupun tebak skor bola. Pihak yang menang berhak atas hadiah yang dananya dikumpulkan dari kontribusi para pesertanya. Sebaliknya, bila dalam undian itu kalah, maka uangnya pun harus direlakan untuk diambil oleh yang menang.
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (Al-Maidah): 90)
d. Transaksi yang mengandung ketidak pastian (gharar)
Transaksi yang seperti ini terjadi ketika terdapat incomplete information, sehingga ada ketidak pastian antara dua pihak yang bertransaksi. Ketidak jelasan dapat menimbulkan pertikaian diantara kedua belah pihak dan pastinya ada pihak yang dirugikan.
Pada jenis transaksi yang seperti ini keadaan sama-sama rela hanya bersifat sementara, karena ketika kondisinya telah jelas kelak di kemudian hari, salah satu pihak akan merasa terzhalimi, walaupun pada awalnya tidak demikian.
e. Penimbunan barang (ihtikar)
Penimbunan adalah membeli sesuatu yang dibutuhkan masyarakat, kemudian menyimpannya sehingga barang tersebut berkurang di pasaran dan mengakibatkan peningkatan harga. Penimbunan seperti ini dilarang karena dapat merugikan orang lain dengan kelangkaan/sulit didapat dan harganya yang tinggi. Dengan kata lain penimbun mendapatkan yang besar dibawah penderitaan orang lain.
Contohnya: di awal tahun 2008, saat terjadi peningkatan harga kedelai yang luar biasa, ada pengusaha yang menimbun kedelai dalam jumlah yang sangat besar di Surabaya. Kenaikan harga kedelai menghambat proses produksi berbahan baku kedelai seperti tahu dan tempe, sehingga mengakibatkan produsen tahu dan tempe tidak dapat berproduksi dan akhirnya menderika kerugian.[5]
f. Rekayasa permintaan (bai’ najasy)
An-Najasy termasuk dalam kategori penipuan(tadlis) karena merekayasa permintaan, dimana salah satu pihak berpura-pura mengajukan penawaran dengan harga yang tinggi agar calon pembeli tertarik membeli barang tersebut dengan harga yang tinggi.
4. Prinsip sistem keuangan syariah
Pada prinsipnya sistem keuanngan syariah bukan hanya berbicara mengenai larangan riba. Sistem ini juga mengatur mengenai larangan tindakan penipuan, pelarangan tindakan spekulasi, larangan suap, larangan transaksi yang melibatkan barang haram, larangan menimbun barang.
Fisolofi sistem keuangan syariah “bebas bunga” tidak hanya melihat interaksi antara faktor produksi dan prilaku ekonomi seperti yang dikenal pada sistem keuangan konvensional, melainkan juga harus menyeimbangkan berbagai unsur etika, moral, sosial dan dimensi keagamaan untuk meningkatkan pemerataan dan keadilan menuju masyarakat yang sejahtra secara menyeluruh.
Diantara prinsip sistem keuangan Islam sebagaimana diatur dalam A-Qur’an dan As-Sunnah adalah:
a. Pelarangan riba
Riba merupakan pelanggaran atas sistem keadilan sosial dan persamaan. Oleh karena sistem riba ini hanya menguntungkan para pemberi pinjaman/pemilik harta, sedangkan pengusaha tidak diperlakukan sama. Padahal untung itu baru dapat diketahui setelah berlalunya waktu bukan hasil penetapan di muka.
b. Pembagian risiko
c. Tidak menganggap uang sebagai komoditas
Dalam masyarakat industri dan perdagangan yang berkembang sekarang ini (konvensional), fungsi uang tidak hanya sebagai alat tukar saja, tetapi juga sebagai komoditas. Dalam fungsinya sebagai komoditas, uang dipandang dalam kedudukan yang sama dengan barang yang dijadikan sebagai objek transaksi untuk mendapatkan keuntungan (laba).
d. Larangan melakukan kegiatan spekulatif
e. Kesucian kontrak
Oleh karena Islam menilai perjanjian sebagai suatu yang tinggi nilainya sehingga seluruh kewajiban dan pengungkapan yang terkait dengan kontrak harus dilakukan.
f. Aktivitas usaha harus sesuai dengan syariah
5. Instrumen keuangan syariah[6]
Keuangan syariah memiliki beberapa instrumen, yaitu:
a. Akad investasi yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk uncertainty
contract. Kelompok akad ini adalah sebagai berikut:
i. Mudharabah
ii. Musyarakah
iii. Sukuk (obligasi syariah), yaitu sertifikat yang berisi kontrak antara investor dan perusahaan, yang menyatakan bahwa investor tersebut/pemegang obligasi telah meminjamkan sejumlah uang kepada perusahaan. Untuk obligasi non syariah, perusahaan yang menerbitkan obligasi mempunyai kewajiban untuk membayar bunga secara reguler sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan serta pokok pinjaman pada saat jatuh tempo.
Sedangkan obligasi syariah mudharabah ditawarkan dengan ketentuan yang mewajibkan emiten untuk membayar kepada pemegang obligasi tersebut sejumlah pendapatan bagi hasil dan membayar kembali dana Obligasi Syariah Mudharabah pada tanggal jatuh tempo. Pendapatan bagi hasil dibayarkan setiap periode tertentu. Besarnya pendapatan bagi hasil dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang Obligasi Syariah Mudharabah dengan pendapatan yang dibagihasilkan.
iv. Saham
b. Akad jual beli/sewa-menyewa yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk certainty contract. Kelompok akad ini adalah:
i. Murabahah
ii. Salam
iii. Istishna’
iv. Ijarah
c. Akad lainnya yang meliputi:
i. Sharaf, yaitu perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya.
ii. Wadiah, yaitu penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang kepada yang menerima titipan, dengan catatan bahwa pemilik uang/barang berhak mengambil kembali uang/barangnya kapanpun ia menghendaki.
iii. Qardul hasan, yaitu pinjaman yang tidak mempersyaratkan adanya imbalan.
iv. Wakalah, yaitu jasa pemberi kuasa dari suatu pihak ke pihak lain. Untuk jasanya itu yang dititipkan dapat memperoleh fee sebagai imbalan.
v. Kafalah, yaitu perjanjian pemberi jaminan atas pembayaran utang satu pihak pada pihak lain.
vi. Hiwalah, yaitu pengalihan utang atau piutang dari pihak pertama kepada pihak lain atas dasar saling percaya.
vii. Rahn, yaitu: sebuah perjanjian pinjaman dengan menyerahkan sebuah aset sebagai jaminan kepada pemneri pinjaman.[7]
F. Sistem Operasional Bank Syariah[8]
Sistem operasional perbankan syariah dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, sistem operasional bank syariah dimulai dari kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat.
Kedua, dana yang diterima bank syariah selanjutnya disalurkan kepada berbagai pihak, antara lain mitra investasi, pengelola investasi, pembeli barang, dan penyewa barang.
Ketiga, dari penyaluran dana kepada berbagai pihak bank syariah selanjutnya menerima pendapatan berupa bagi hasil dari investasi, margin dari jual beli dan fee dari sewa.
Keempat, pendapatan yang diterima dari kegiatan penyaluran selanjutnya dibagikan kepada nasabah pemilik dana.
Kelima, selain melaksanakan aktivitas penghimpunan dan penyaluran, bank syariah dalam operasionalnya juga memberika layanan jasa keuangan seperti ATM, transfer dan lain-lain.
dengan demikian, sistem operasional bank syariah dapat disimpulkan terdiri atas penghimpunan, sistem penyaluran dana yang dihimpun, dan sistem penyediaan jasa keuangan.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
1. Kesimpulan
Akuntansi syariah merupakan ilmu yang masih tergolong baru di kalangan masyarakat. Karena akuntansi yang sering dikenal oleh kebanyakan orang adalah akuntansi konvensional. Pada dasarnya sisttem akuntansi itu sama, yaitu pencatatan dan pembukuan.
Akuntansi syariah diperlukan untuk mendukung kegiatan yang harus dilakukan sesuai dengan syariah , karena tidak mungkin dapat menerapkan akuntansi yang sesuai dengan syariah jika transaksi yang akan dicatat oleh proses akuntansi tersebut tidak sesuai dengan syariah.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sistem operasional bank syariah terdiri atas penghimpunan, sistem penyaluran dana yang dihimpun, dan sistem penyediaan jasa keuangan.
2. Saran
Dari uraian diatas, kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih terdapat banyak kesalahan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, jika pembaca menemukan kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini dengan senang hati kami menerima saran maupun kritik dari pembaca demi sempurnanya materi dalam makalah ini.
BAB
IV
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta
Yaya, Rizal. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer. Jakarta
[1] Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta. Hal. 200
[2] Ibid, hal. 201
[3] Sri Nurhayati-Wasialah. 2009. Akuntansi Syariah Di Indonesia (Jakarta: Salemba Empat). Hal. 66
[4] Ibid, hal. 73
[5] Ibid, hal. 81
[6] Ibid, hal. 85
[7] Ibid, hal. 87
[8] Yaya, Rizal. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar