MAKALAH
HADIS MUAMALAH
DISUSUN OLEH
RIDHA
FARIDHA
10300113185
KELOMPOK 15
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI MAKASAR FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN AKUNTANSI
1.
Matan Hadist
(TINJAUAN) |
2.
Terjemahan
Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah
bersabda, “Jika emas dibarter dengan emas, perak dibarter dengan perak, gandum
burr dibarter dengan gandum burr, gandum syair dibarter dengan gandum syair,
korma dibarter dengan korma, garam dibarter dengan garam maka takarannya harus
sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya sesuka hati
kalian asalkan tunai” [HR Muslim no 4147]
Penjelasan Satu: Barang-barang ribawi dalam hadits di atas ada enam jenis, akan tetapi Jumhur ulama berpendapat bahwa semua barang yang memiliki ‘illah (sebab) yang sama dengan keenam jenis barang di atas maka ia termasuk ke dalam barang-barang ribawi, dan ini adalah pendapat yang kuat sebab hukum selalu beredar bersama sebabnya.
- Adapun ‘illah pada emas dan perak adalah: Tsamaniyah (barang berharga yang digunakan untuk tukar menukar), maka mata uang di masa ini termasuk barang ribawi karena ia adalah barang yang memiliki sifat tsamaniyyah.
- Sedangkan gandum, sya’ir, kurma dan garam ‘illahnya adalah: Makanan yang ditakar dan ditimbang, maka semua makanan yang dapat ditakar dan ditimbang termasuk dalam kategori barang ribawi, seperti beras, jagung, dan lain-lain.
Penjelasan Dua: Barang ribawi terbagi menjadi dua kelompok, tsamaniyyah dan makanan (yang bisa ditakar dan ditimbang). Pertukaran masing-masing barang memiliki rincian hukum sebagai berikut:
1) Jika terjadi pertukaran antara barang sejenis dalam kelompok yang sama maka dipersyaratkan dua syarat: Jumlah barang harus sama dan dilakukan dalam satu mejelis, tidak boleh berpisah sebelum transaksinya selesai.
Contohnya: Jika terjadi pertukaran antara emas batangan dengan emas perhiasan, maka jika emas batangan 20 gram, emas perhiasan juga harus 20 gram, dan harus diserahterimakan pada saat itu juga, tidak boleh dikredit atau tertunda penyerahan salah satu barangnya.
Jika misalkan emas batangan lebih banyak dari emas perhiasan maka itulah riba fadhl, dan jika penyerahan salah satu barang tertunda maka itulah riba nasiah.
2) Jika terjadi pertukaran antara barang yang berbeda jenis namun masih dalam kelompok yang sama maka hilang satu syarat dan tersisa satu syarat: Hilang syarat jumlah harus sama, namun masih tersisa syarat wajib dilakukan serah terima barang pada saat itu juga, tidak boleh ada yang tertunda.
a.
Pengertian Riba
Riba menurut
bahasa artinya tambahan. Sedangkan menurut istilah, ialah tambahan secara
khusus. Sedangkan maksud tambahan secara khusus, ialah tambahan yang diharamkan
oleh syari’at Islam, baik diperoleh dengan cara penjualan, atau penukaran atau
peminjaman yang berkenaan dengan benda riba.
Riba juga berarti
"At-Ta'khir" (penundaan/penangguhan). Disebut demikian karena memang
Riba terjadi Karena ada penangguhan pembayaran hutang, akhirnya muncul-lah Riba
itu. Itu yang banyak terjadi di masa-masa era sebelum Islam, dan masih terjadi
sampai sekarang.
b. Pendapat ulama FIQIH tentang illat riba
Ulama
sepakat menetapkan riba fadhl pada 7 barang yaitu emas, perak, gandum, sya’ir
(biji-bijian), kurma, garam dan anggur kering. Pada benda-benda ini, adanya
tambahan pada pertukaran sejenis adalah diharamkan.
Adapun
pada barang selain itu, para ulama berbeda pendapat :
·
Imam
Malik mengkhususkannya pada makanan pokok
·
Menurut
pendapat masyhur dari Imam Ahmad dan Abu Hanifah, riba fadhl terjadi pada
setiap jual beli barang sejenis dan yang ditimbang
·
Imam
Syafi’i berpendapat bahwa riba fadhl dikhususkan pada emas dan perak serta
makanan meskipun tidak ditimbang
Perbedaan antar madzhab lebih detail sbb :
I.
Madzhab Maliki
Illat
diharamkannya riba menurut ulama Malikiyah pada emas dan perak adalah harga,
sedangkan mengenai illat riba dalam makanan, mereka berbeda pendapat dalam
hubungannya dengan riba nasi’ah dan riba fadhl.
Illat
diharamkannya riba nasi’ah dalam makanan adalah sekadar makanan saja (makanan
selain untuk mengobati), baik karena pada makanan tersebut terdapat unsur
penguat (makanan pokok) dan kuat disimpan lama atau tidak kedua unsur tersebut.
Illat
diharamkannya riba fadhl pada makanan adalah makanan tersebut dipandang sebagai
makanan pokok dan kuat disimpan lama.
Alasan
utama Malikiyah menetapkan illat di atas antara lain apabila riba dipahami agar
tidak terjadi penipuan di antara manusia dan dapat saling menjaga, makanan
tersebut haruslah dari makanan yang menjadi pokok kehidupan manusia yakni
makanan pokok seperti gandum, padi, jagung dan lain-lain.
1.
Madzhab Hanafi
Illat
riba fadhl menurut ulama Hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar atau
ditimbang serta barang yang sejenis seperti emas, perak, gandum, syair, kurma,
garam dan anggur kering. Dengan kata lain jika barang-barang yang sejenis dari
barang-barang yang telah disebut di atas seperti gandum dengan gandum ditimbang
untuk diperjualbelikan dan terdapat tambahan dari salah satunya, terjadilah
riba fadhl.
Adapun
jual beli pada selain barang-barang yang ditimbang seperti hewan, kayu dan
lain-lain tidak dikatakan riba meskipun ada tambahan dari salah satunya seperti
menjual 1 ekor kambing dengan 2 ekor kambing sebab tidak termasuk barang yang
bisa ditimbang. (Alauddin al-Khuskhafi, Ad-Durul Mukhtar, juz 4, hal. 185)
Ulama
Hanafiyah mendasarkan pendapat mereka pada hadits shahih Said al-Khudri dan
Ubadah ibn Shanit ra bahwa Nabi Saw bersabda, “emas dengan emas, keduanya sama
(mitslan bi mitslin), tumpang terima (yadan bi yadin), (apabila ada) tambahan
adalah riba, perak dengan perak, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada)
tambahan adalah riba, gandum dengan gandum, keduanya sama, tumpang terima,
(apabila ada) tambahan adalah riba, sya’ir dengan sya’ir, keduanya sama,
tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, kurma dengan kurma,
keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, garam dengan
garam, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba”.
Di
antara hikmah diharamkannya riba adalah untuk menghilangkan tipu menipu di
antara manusia dan juga menghindari kemudharatan. Asal keharamannya adalah Sadd
Adz-Dzara’i (menurut pintu kemudharatan).
Namun
demikian tidak semuanya berdasarkan sadd adz-dzara’i tetapi ada pula yang
betul-betul dilarang seperti menukar barang yang baik dengan yang buruk sebab
hal yang keluar dari ketetapan harus adanya kesamaan (mitslan bi mitslin).
Ukuran
riab fadhl pada makanan adalah ½ sha’ sebab menurut golongan ini, itulah yang
telah ditetapkan syara’ (Alauddin al-Khuskhafi, Ad-Durul Mukhtar, juz 4, hal.
188). Oleh karena itu dibolehkan tambahan jika kurang dari ½ sha’.
Illat
riba nasi’ah adalah adanya salah satu dari 2 sifat yang ada pada riba fadhl dan
pembayarannya diakhirkan. Riba jenis ini telah biasa dikerjakan oleh orang
jahiliyah seperti seseorang membeli 2 kg gandum pada bulan Muharram dan akan
dibayar menjadi 2,5 kg gandum pada bulan Safar.
II.
Madzhab Syafi’i
Illat
riba pada emas dan perak adalah harga yakni kedua barang tersebut dihargakan
atau menilai harga suatu barang. Illat pada makanan adalah sesuatu yang bisa
dimakan dan memenuhi 3 kriteria sbb :
a)
Sesuatu
yang biasa ditujukan sebagai makanan atau makanan pokok
b)
Makanan
yang lezat atau dimaksudkan untuk melezatkan makanan, seperti ditetapkan dalam
nash adalah kurma, diqiyaskan padanya, seperti tin dan anggur kering
c)
Makanan
yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan memperbaiki makanan yakni obat.
Ulama Syafi’iyah antara lain beralasan bahwa makanan yang dimaksudkan adalah
untuk menyehatkan badan termasuk pula obat untuk menyehatkan badan.
Dengan demikian riba dapat terjadi pada jual beli makanan yang memenuhi
kriteria di atas. Agar terhindar dari unsur riba, menurut ulama Syafi’iyah,
jual beli harus memenuhi kriteria :
a.
Dilakukan
waktu akad, tidak mengaitkan pembayarannya pada masa yang akan datang
b.
Sama
ukurannya
c.
Tumpang
terima
Menurut ulama Syafi’iyah, jika makanan tersebut berbeda jenisnya
seperti menjual gandum dengan jagung, dobolehkan adanya tambahan, berdasarkan
pada hadits Rasulullah Saw bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan
garam, keduanya sama, tumpang terima. Jika tidak sejenis, juallah sekehendakmu
asalkan tumpang terima”.
Selain itu, dipandang tidak riba walaupun ada tambahan jika asalnya
tidak sama meskipun bentuknya sama, seperti menjual tepung gandum dengan tepung
jagung.
III.
Madzhab Hambali
Pada
madzhab ini terdapat 3 riwayat tentang illat riba, yang paling masyhur adalah
seperti pendapat ulama Hanafiyah hanya saja ulama Hambilah mengharamkan pada
setiap jual beli sejenis yang ditimbang dengan satu kurma.
Riwayat
kedua adalah sama dengan illat yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah. Riwayat
ketiga, selain pada emas dan perak adalah pada setiap makanan yang ditimbang,
sedangkan pada makanan yang tidak ditimbang tidak dikategorikan riba walaupun
ada tambahan. Demikian juga pada sesuatu yang tidak dimakan manusia.
Hal ini sesuai
dengan pedapat Saib bin Musayyib (Ibnu Qudamah, Al-Muhtaj, juz 4, hal. 3-5)
yang mendasarkan pendapatnya pada hadits Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada
riba kecuali pada yang ditimbang atau dari yang dimakan dan diminum”. (HR
1. Riba Fadhl, yaitu
tambahan dalam jual beli/pertukaran barang dengan barang yang semisal, yang
termasuk dalam kategori barang-barang ribawi.
2. Riba Nasiah, yaitu
penundaan salah satu barang dalam serah terima pertukaran/jual beli, padahal
barang tersebut termasuk kategori barang-barang ribawi.
3.
Riba qordh, yaitu mengambil manfaat dari piutang dan yang semisalnya.
KESIMPULAN
Dalam makalah ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat
mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi :
1) Emas, perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam
bentuk lainnya.
2) Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan
jagung, serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam
kaitannya dengan perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar menukar antar
barang-barang ribawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar