Minggu, 28 September 2014

Makalah Ilmu Hadis, Kaidah Keshahihan Hadis


Makalah Hadis
Kaidah Keshahihan Hadis

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam
Jurusan Akuntansi
Tahun Periodik 2013/2014


BAB I
PENDAHULUAN
 
     A.    LATAR BELAKANG
Tidak perlu diragukan lagi bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam di samping al-Qur’an. Mengingat begitu pentingnya hadis, maka studi atau kajian terhadap hadis akan terus dilakukan, bukan saja oleh umat Islam, tetapi oleh siapapun yang berkepentingan terhadapnya. Berbeda dengan ayat-ayat al-Qur’an yang semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai acuan atau hujjah. Hadis ada yang dapat dipakai ada yang tidak. Di sinilah letak perlunya meneliti hadis. Agar dapat meneliti hadis secara baik diperlukan antara lain pengetahuan tentang kaidah dan atau metodenya. Atas dasar itulah, para ulama khususnya yang menekuni hadis telah berusaha merumuskan kaidah dan atau metode dalam studi hadis. Buah dari pengabdian dan kerja keras mereka telah menghasilkan kaidah dan berbagai metode yang sangat bagus dalam studi hadis, terutama untuk meneliti para periwayat yang menjadi mata rantai dalam periwayatan hadis (sanad). Bahkan dapat dikatakan bahwa untuk studi sanad ini, secara metodologis sudah relatif mapan yang ditunjang dengan perangkat pendukungnya. Apalagi pada zaman sekarang, dengan memanfaatkan teknologi komputer, studi sanad hadis dapat dilakukan secara sangat efisien dan lebih akurat dengan kemampuan mengakses referensi yang jauh lebih banyak. Sementara itu, untuk studi matan atau teks hadis yang di dalamnya memuat informasi-informasi dari atau tentang Nabi Muhammad SAW, secara metodologis masih cukup tertinggal. Karena itulah masih diperlukan upaya untuk mengembangkan atau merumuskan kaidah dan metode untuk studi matan hadis.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan kaidah kesahihan hadis, baik dari aspek sanad maupun matannya juga klasifikasi kaidah-kaidah tersebut.
 
    B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latarbelakang permasalahan di atas,dapatditarik rumusan masalah,sebagaiberikut :
1.      Pengertian Kesahihan Hadist
2.      Kaidah Kesahihan Sanad
3.      Kaidah Kesahihan Matan

C.     TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah dapat ditarik tujuan penulisan yaitu sebagaiberikut :
1.      Dapat mengetahui pengertian Kesahihan Hadist
2.      Dapat mengetahui kaidah Kesahihan Sanad
3.      Dapat mengetahui kaidah Kesahihan Matan

BAB II
PEMBAHASAN
      A.    Pengertian Kaidah Keshahihan Hadis
Sebelum diuraikan unsur-unsur kaidah Kesahihan Hadis, perlu dijelaskan arti dari kaidah itu sendiri. Secara etimologis, kata “kaidah” berasal dari bahasa arab قاعدة yang artinya alas bangunan, aturan atau undang-undang. Kaidah juga diartikan sebagai norm (norma), rule (aturan), atau principle (prinsip). Lebih tegasnya lagi bahwa pengertian Kaidah Kesahihan Hadis adalah segala syarat, kriteria, atau unsur yang harus terpenuhi oleh suatu hadis yang berkualitas sahih. Kaidah kesahihan hadis meliputi sanad dan matan hadis. Untuk menjelaskan rentetan kemunculan kaidah kesahihan hadis sampai terangkum dan menjadi sebuah teori yang disepakati ulama saat ini.
1.      Kaidah Keshahihan Sanad
a.       Pengertian Sanad
Sanad secara bahasa berarti al-mu’tamad, yaitu “yang di perpegangi (yang kuat) yang bias di jadikan pegangan”. Atau dapat juga di artikan: “ sesuatu yang terangkat (tinggi) dari tanah”.
Sedangkan secara terminologi, sanad berarti:  sanad adalah jalannya matan yaitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.
Al-Tahanawi megemukakan definisi yang hampir senada; Dan sanad adalah jalan yang menyampaikan kepada matan Hadis, yaitu nama-nama para perawi secara berurutan.
b.      Kaidah Kesahihan Sanad
1.      Kaidah Mayor
Pada awalnya ulama hadis sampai abad ke-3 masih belum jelas memaparkan hadis sahih dengan defenisi, hanya Imam Al-Syafi’I yang menjelaskan bahwa hadis yang dapat di jadikan hujjah (dalil), hadis ahad tidak akan di terima menjadi hujjah terkecuali memenuhi dua syarat. Pertama, hadis tersebut di riwayatkan oleh orang yang tsiqah (adil dan dhabit) kedua, rangkaian sanad-nya bersambung dengan Nabi Muhammaad Saw, atau dapat juga tidak sampai.
Penelitian sanad yang dilakukan ulama terdahulu dengan berbagai kaedah bertujuan untuk mengetahui kualitas suatu hadis apakah hadis tersebut diterima (maqbul) atau ditolak (mardud).Hadis yang kualitasnya tidak memenuhi syarat-syatrat tertentu, yang dalam hal ini adalah syarat-syarat yang diterima (maqbul) nya suatu hadis, maka hadis tersebut tidak dapat digunakan sebagai hujah.
Pemenuhan syarat itu diperlukan, karena hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Penggunaan hadis yang tidak memenuhi syarat akan mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai dengan apa yang seharusnya. Dengan dilakukannya penelitian sanad, maka akan dapat diketahui apa yang dinyatakan sebagai Hadis Nabi itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan ke-sahih-annya berasal dari beliau ataukah tidak
Adapun Indikasi Mayor atau tanda-tanda yang paling utama bahwa sanad dari hadis tersebut di ketahui sahih atau (maqbul) adalah sebagai berikut:
·         Sanad bersambung
·         Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
·         Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dabit
·         Sanad hadis itu terhindar dari syuzzuz
·         Sanad hadis terhindar dari illat


2.      Kaidah Minor
Indikasi minor adalah lawan dari indikasi mayor yang telah pemakalah sebutkan di atas, bararti indikasi minor adalah tanda-tanda secara garis kecil, atau bisa juga dikatakan sebagai penjelasan indikasi minor tersebut, sehingga akan lebih jelas apa yang di maksud dengan bersambung sanad-nya, bagaimana seharusnya sifat atau tingkah laku rawi supaya bisa dikatagorikan rawi yang adil, bagimana ukuran kekuatan intelelaktual pe-rawi atau ke-dhabit-annya sehingga hadis yang diriwayatkanya biasa dikatagorikan dengan hadis yang sahih dan bukan hadis hasan, dan bagaimana yang di maksudkan bahwa sanad hadis tersebut terhindar dari syadz dan illat.
Maka untuk menjelaskan itu kita tidak terlepas dari standar ke-sahih-an sanad yang telah di tetapkan di atas walaupun hanya secara garis besar, syarat-syarat di atas telah disepakati para ulama hadis walaupun redaksi berbeda, adapun indikasi minornya sebagai berikut:
·         Aspek kebersambungan sanad
Tidak selalu terdapat keseragaman pendapat mengenai konsep kebersambungan sanad ini. Untuk menunjuk polemik tersebut, misalnya dapat di majukan dengan konsep yang di gulirkan oleh al-Bukhori. Ia berpendapat bahwa sanad di anggap  bersambung apabila memenuhi kriteria berikut:
·         Al-liqa’
Yakni adanya interaksi atau pertemuan langsung antara satu perawi dengan perawi berikutnya, dengan adanya suatu interaksi langsung antara murid dengan gurunya, artinya mendengaratau menyimak langsung suatu hadis dari gurunya
·         Al-mu’asharah
Yakni bahwa sanad di anggap bersambung apabila kehidupan guru dan muridnya terjadi dalam waktu atau kurun yang sama.
Muslim juga berpendapat dengan hal yang demikian, hanya saja perbedaan antara al-Bukhori dengan Muslim hanya pada titik pertemuan langsung antara guru dengan muridnya, al-Bukhori menetapkan harus adanya pertemuan antara guru dengan murid walaupun hanya sekali saja. Sedangkan Bagi muslim sebuah sanad di katakan telah bersambung apabila antara satu dengan perawi berikutnya  memungkinankan mereka bertemu karena keduanya hidup dalam kurun waktu yang sama sementara letak giografis mereka tinggal memungkinkan mereka bertemu jika di bandingkan  kondisi saat itu. Dengan demikian, berarti Muslim hanya menekankan kebersambungan sanad itu pada aspek al-mu’asharah semata. 
Jika dilihat perbedaan yang dipatok oleh Bukhari dan Muslim sebagai mana di atas, dapat di katakan bahwa kriteria al-Bukhari  yang layak menduduki peringkat pertama. Dengan mengacu  kepada kebersambungan sanad  yang demikian inilah posisi al-Bukhori menduduki peringkat pertama di bandingkan dengan kitab hadist karya Muslim maupun kitab-kitab hadist lainnya, bahkan jumhur ulama juga sepakat menjadikan sahih al-Bukhari  sebagai hadis kitab pertama.
Dalam periwayatan hadis terdapat dua kegiatan yakni kegiatan menerima hadis dan kegiatan menyampaikan hadis, dalam kegiatan menerima hadis menurut al-Qadhi `Iyadh dan Ibn al-Shalah keduanya berpendapat bahwa seseorang dapat dipandang layak menerima hadis setelah umurnya mencapai lima tahun
Akan tetapi Umi Sumbulah lebih memperluas bahwa seorang yang dapat menerima hadis tidak hanya mengacu kepada batas bawah umurnya, namun juga mengacu keakuratan kesetiaan hafalannya, artinya walaupun seseorang itu sudah memenuhi kriteria umur yakni umur lima tahun belum sepenuhnya dapat diterima tanpa memperhatikan keakuratan dan kesetiaan hafalannya. Disamping menyangkut aspek biologis (umur) ternyata para ulama juga tidak mensyaratkan bahwa seseorang layak menerima hadis harus beragama Islam, akan tatapi ketika mentransformasikan hadis tersebut atau mu’addi dia harus berstatus sebagai muslim.
Argumentasi yang di formulasikan para ulama di atas terkesan mempermudah periwayatan hadis akan tetepi semua yang mereka lakukan dengan penuh pertimbangan antara lain:
Para ulama mempertimbangkan adanya kekhawatiran akan hilang dan tidak terkumpulkan sejumlah hadis Rasulullah, karena hadis itu tidak semua di dengar oleh sahabat yang memeluk agama islam atau mereka yang telah mencapai usia baligh.
Meskipun transformasi hadis tidak mensyaratkan harus baligh dan muslim, akan tetapi ketika proses al-ada  kedua syarat tersebut harus terpenuhi sehingga kekhawatiran manipulasi dan kesalahan periwayatan akan di tepis dengan persyaratan baligh dan muslim.
·         Periwayat bersifat adil
Istilah `adalah (adil) secara etiomologi adalah pertengahan, lurus, condong kepada kebenaran. Dan adapun secara terminologi ulama hadis mempunyai rumusan yang berbeda-beda di antaranya adalah rumusan al-Hakim dan al-Naisaburi bahwa perawi yang adil itu adalah perawi yang tidak berbuat bid’ah dan maksiyat yang menghancurkan moralitasnya. Berbeda dengan Ibn Shalah yang menambahkan pendapat di atas, yakni muslim, baligh, berakal, dan tidak berbuat fasiq. M. Syakir menambahkan satu unsur lagi yaitu dapat dipercaya.
Ke-adil-an seorang rawi, menurut Syuhudi Ismail, harus memenuhi syarat :
Beragama Islam
dimana seorang periwayat hadis ketika ia mengajarkan hadis tersebut sudah dalam keadaan Islam, karena kedudukan kedudukan periwayat hadis sangat mulia, akan tetapi berbeda dengan yang menerima hadis tidak disyaratkan beragama islam.
Mukallaf
Seoarang pe-rawi juga harus mukallaf, karena persyaratan ini sudah jelas tertera didalam hadis Nabi bahwa orang gila, orang lupa, dan anak-anak terlepas dari tanggung jawab.
Melaksanakan ketentuan Agama, yakni teguh dalam melaksanakan adab-adab syara’
Memelihara muru’ah.
Muru’ah merupakan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.Fathur Rahman mengutip pendapat yang dikemukakan oleh al-Radi, ‘menjaga muru’ahadalah: tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertaqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan-kebiasaan melakukan dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah.
            Ada beberapa cara menetapkan ke-adil-an periwayat hadis  yang disebutka para ulama, yaitu:
Popularitas
Kenapa popularitas menjadi pilihan utama dan menempati posisi pertama dalam menetapkan keadilan para perawi hadis di sebabkan karena popularitas di kalangan ulama hadis, itu membuat citra dia sangat tidak di ragukan lagi dan ia tidak mungkin berbohong dengan popularitasnya.
Penilaian terhadap kritikus hadis
Penerapan kaedah al-jarh wa al-ta’dil
Periwayat bersifat dabit
kata dhabith berasal dari kata dhabatha, yadhbithu, dhabthan, secara bahasa berarti yang kuat, yang kokoh, yang tepat dan sempurna hafalannya, maka dapat disimpulkan bahwa ungkapan rawi yang dhabit berarti rawi yang cermat dan rawi yang kuat hafalannya
Periwayat yang bersifat dhabit adalah periwayat yang hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya, dan mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya itu tanpa penambahan dan pengurangan
Terdapat beberapa metode yang digunakan oleh para ulama untuk mengetahui ke-dhabit-an seorang pe-rawi, Ibn al-Shalah mengatakan bahwa ke-dhabit-an seorang pe-rawi hadis dapat diketahui dengan cara mengkomparasikannya dengan riwayat hadis dari sejumlah pe-rawi yang tsiqah yang telah terkenal dengan ke-dhabit-annya,  jika riwayat seorang pe-rawi memiliki kesesuaian dengan riwayat sejumlah pe-rawi lain meski secara makna, maka riwayatnya dapat dijadikan sebagai dalil keagamaan, namun bila menyalahi , maka hal itu dapat dijadikan indikasi bahwa seorang pe-rawi tersebut tidak dhabit
Mengenai hal ini, Shuhudi Ismail mengajukan pendapatnya bahwa ke-dhabit-an seorang pe-rawi dapat diketahui melalui beberapa jalan antara lain:
Kesaksian para ulama dan popularitasnya di mata para muhadditsun
Kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh pe-rawi lain yang telah dikenal dengan ke-dhabit-annya, kesesuian tersebut boleh jadi hanya secara maknawi, atau mungkin secara redaksional
Apabila seorang pe-rawi sesekali mengalami kekeliruan, maka status dhabit masih layak dipakaikan padanya, namun apabila kekeliruan tersebut sering terjadi, maka status dhabit yang di sandangnya akan hilang atau tanggal dengan sendirinya.
            Para ulama hadis membagi periwayat yang bersifat dhabit ini kepada dua macam, yaitu:
Pertama, dhabit sadri, yakni terpeliharanya hadis yang diterimanya  dalam hafalan, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja diperlukan dan dikehendaki, dan mampu meriwayatkannya dengan sempurna.
Kedua, dhabit kitab yaitu terpeliharanya periwayatan melalui tulisan yang dimilikinya dengan mengingat betul hadis yang ditulis, menjaga dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan benar.
Terhindar dari  Syadz
Bahwa penelitan syadz danillatbaik dari aspek sanad dan matan hadis kebanyakan atau mayoritas ulama berpendapat lebih sulit bila didibandingkan dengan penelitian terhadap ke-adil-an dan ke-dhabit -an pe-rawi, serta kebersambungan sanad.
Akan tetapi, para ulama muhadditsin juga mengakui bahwa penelitian illat lebih sulit bila di bandingkan penelitian terhadap aspek syadz. Hal ini disebabkan ketiadaan buku yang di siapkan oleh para ulama khusus membahas aspek tersebut dalam bentuk sebuah kitab. Begitu juga denganillat. Dengan berbagai alasan tersebut, akhirnya mereka membuat kesesepakatan bahwa untuk mengetahui aspek syadz dan juga aspek illat dalam hadist, sangat dibutuhkan pengetahuan yang luas, mendalam dan telah sering dan terbiasa  melakukan penelitian hadist
M.Syuhudi Ismail, mengatakan ke-syazz-an sanad hadis baru dapat diketahui setelah diadakan penelitian sebagai berikut: Pertama, semua sanad yang mengandung matan hadis yang pokok masalahnya sama dihimpun dan diperbandingkan. Kedua, para periwayat diseluruh sanad diteliti kualitasnya. Ketiga, apabila  seluruh periwayat bersifat tsiqah dan ternyata ada seorang periwayat yang sanad-nya menyalahi sanad-sanad lainnya, maka sanad yang menyalahi itu disebut yang syazz sedang yang lainnya disebut dengan sanadmahfuz.[26]
Terhindar Dari illat.
Secara etiomologi ata secara bahasa illat berarti sakit. Selain itu  ada juga yang mengartikan dengan “sebab dan kesibukan”. Dan Illat menurut istilah ilmu hadis ialah sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis, sehingga bisa mengakibatkan tidak-sahih-nya suatu hadis.Ibn Shalah mendefenisikan illat sebagai sebab tersembunyi yang merusak kualitas hadis, karena keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya berkualitas sahih menjadi tidak sahih lagi.
Ulama hadis umumnya mengatakan, illat hadis kebanyakan berbentuk: Pertama, sanadyang tampak muttasil dan marfu’, ternyata muttasil dan mauquf. Kedua, terjadi percampuran hadis dengan bagian hadis lain. Ketiga, terjadi kesalahan penyebutan riwayat, karena ada lebih dari seorang periwayat memiliki kemiripan nama sedang kualitasnya sama-sama siqat.
Untuk menjelaskan permasalahan illat al-Suyuthi membuat klasifikasi  sebagai mana yang di kutip Umi Sumbulah antara lain:
Sanad tersebut secara lahir tampak sahih, namun ternyata didalamnya terdapat seorang pe-rawi yang tidak mendengar sendiri dari gurunya akan hadis yang diriwayatkannya tadi,
Sanad hadis tersebut mursal dari seorang rawi yang thiqah dan hafidz, padahal secara lahir tampak sahih.
Hadis tersebut mahfudh dari sahabat, dimana sahabat ini  meriwayatkan dari pe-rawi yang berlainan negeri, seperti hadis yang diriwayatkan ulama Madinah dari ulama kufah berikut

B.     Kaidah Kesahihan Matan
1.      Pengertian Matan
Matan dalam bahasa arab berarti “punggung jalan” atau “bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas. Secara terminoligi berarti: Sesuatu yang berakhir padanya (terletak sesudah) Sanad, yaitu berupa perkataan. Atau dapat di artikan sebagai: Yaitu lafadz Hadis yang memuat berbagai pengertian. Dalam hal ini, kaidah kesahihan matan hadis dipahami sebagai aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang telah dirumuskan oleh para ulama hadis untuk meneliti tingkat kesahihan matan hadis.
Matan hadis bermuatan konsep ajaran islam mengambil beragam bentuk, antara lain:
Sabda penuturan Nabi (hadist qouly) termasuk kejadian yang mengulas kejadian atau peristiwa sebelum nubuwwah, penghikayatan tokoh Rasul / Nabi maupun Syariat yang diberlakukan (Syar’u man qoblana)
Surat-surat yang dibuat atas printah Nabi dan selanjutnya dikirim ke petugas di daerah atau kepada pihak-pihak di luar islam, termasuk juga fakta perjanjian yang melibatkan nabi.
Firman Allah Swt selain Al qur’an yang disampaikan kepada umat dengan bahasa tutur nabi (hadist Qudsi).
Pemberitaan yang berkait erat dengan al Qur’an, seperti interpretasi Nabi atas ayat-ayat tertentu, (tafsir nabawy) dan asbab nuzul.
Perbuatan atau tindakan yang dilakukan Nabi dan diriwayatkan oleh sahabat (hadist fi’ly/ amaly)
Sifat dan Hal ihwal pribadi nabi (Hadist Khalqy)
Perilaku dan kebiasaan Nabi dalam tata kehidupan sehari-hari (hadis khuluqiy) serta pengalaman dalam dinamika perjalanan kepemimpinan atau kemanusiaan Nabi (Sirah Nabawiyah)
Sesuatu yang direncanakan dan ancaman yang ditujukan kepada orang lain atau kelompok sekalipuntidak terlaksanakan (hadist hammy).
Perbuatan atau sikap terbuka sahabat dimana Nabi mengetahuinya dan Nabi bersikap membiarkan tanpa menegur dan melarangnya (hadist taqriry)
Riwayat Hidup Sahabat karena ada data hubungan khusus dengan Nabi (Hadist manaqiby)
Prediksi keadaan yang kelak terjadi, seperti hadist tentang prediksi fitnah dan gejala datangnya hari kiamat
Kejadian dan kebijakan sahabat sepeninggal Nabi yang berpotensi sebagai penjabaran ajaran Islam dan pelestarian sunnah nabawiyyah..misalnya suksesi kepemimpinan khulafaur rasyidin, proses pembukuan mushaf Al qur’an dan proses kodifikasi hadis.
2.      Kaidah Kesahihan Matan
a.       Kaidah Mayor
                        Untuk mengetahui Kaidah mayor dan Kaidah minor ke-sahih-an matan hadis, para ulama telah melakukan penelitian dan kritik secara seksama terhadap matan-matan hadis. Sehingga dengan penelitian tersebut dapat menjadi tolak ukur bagi sebuah matan hadis.[31]
                        Namun kriteria ke-sahih-an matan hadis berbeda dalam kalangan muhadditsin, akan tetapi perbedaan itu muncul dengan berbagai alasan dan pertimbangan masing-masing muhadditsin. Perbedaan itu muncul di sebabkan oleh perbedaan latar belakang, keahlian alat bantu, dan persoalan, serta perbedaan masyarakat yang di hadapinya.[32]
                        Walaupun para ulama tidak mengungkapkan secara eksplisit bagaimana sebenarnya penerapan secara praktis kritik matan, namun mereka memiliki beberapa garis batas yang diperpegangi sebagai tolak ukur dan standarisasi. Adapun Kaidah mayor ke-sahih-an matan hadis sebagai mana yang telah di rumuskan oleh ulama hadis adalah sebagai berikut:
Terhindar dari Syadz
Terhindar dari Illat.[33]
            Syadz yang ada pada sanad berbeda dengan syadz  yang ada pada matan. Allabi menyatakan bahwa sebuah matan hadis di katakan sahih antara lain:
Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an Karim yang telah muhkam.
Tidak bertentangan dengan hadis Rasulullah yang memeiliki bobot akurasi yang tinggi.
Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir.
Tidak bertentangan dengan amalan yang telah disepakati ulama masa lalu.
Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti.
Tidak bertentangan dengan akal sehat.
b.      Kaidah Minor
                        Dari beberapa indikasi mayor yang telah di sebutkan diatas, masih dapat di interpretasikan maupun penjelasan secara spesifik atau yang disebut dengan indikasi minor adalah:
Terhindar dari syadz
            Syadzdi samping terdapat pada sanad juga terdapat pada matan, adapun kerancuan dan syadzpada matan adalah adanya pertentangan dan ketidaksejalanan riwayat seorang perawi yang menyendiri dengan perawi yang lebih kuat hafalannya dan ingatannya. Adapun pertentangannya adalah dalam menukil matan hadis, sehingga terjadi penambahan, pengurangan, perubahan tempat (maqlub) dan bentuk dan kelemahan dan cacat lainnya.[34]
            Berikut ini penjelasan tentang kerancuan dan syadz dalam matan:
Sisipan teks hadis (al-idraj fi al-matn)
Al-idraj fi al-matn (mudraj matn) adalah perkataan sebagian perawi dari kalangan atau masa  sahabat atau penerus sesudahnya, yang mana qaul atau ucapan tersebut kemudian bersambung dengan matan hadis yang asli. Dimana ucapan atau qaul itu bisa bersambung di awal, ditengah dan di akhir
Pembalikan teks hadis (al-qalb fi al-matn)
Maqlub (fi al-matn) adalah terjadinya pembalikan teks sebuah hadis, hadis ini dapat di fahami secara definitif sebagai hadis yang perawinya menggantikan suatu bagian darinya dengan orang lain, dalam sebuah matan hadis secara sengaja maupun terlupa
Memiliki kualitas sama dan tidak bisa di unggulkan  salah satunya (idhtirab fi al-matn)
Mudhtaribhadis adalah hadis yang diriwayatkan dari seorang perawi atau lebih dengan beberapa teks yang sama kualitasnya, sehingga di antaranya tidak dapat di unggulkan dan di kompromikan, walaupun hali ini jarang terjadi  pada matan dan sering terjadi pada sanad
Kesalahan ejaan (al-tashhif wa al-tahrif fi al-matn)
Adapun yang dimaksu dengan tashhif adalah kesalahan yang terletak pada syakal atau baris. Sedangkan yang dimaksud dengan tahrif adalah kesalahan yang terletak pada huruf. Walaupun keduanya tidak terdapat perbedaan yang mencolok.
Terhindar dari Illat
            Illatsama halnya dengan syadzartinya keduanya terjadi pada sanad dan juga pada matan. Adapun yang di maksud illat yang terjadi pada matan adalahadanya sesuatu yang tersembunyi  yang terdapat pada matan  yang secara lahir tampak berkualitas sahih, yang tersembunyi di sini adalah kalimat yang merupakan teks hadis lain pada hadis tertentu, yang mana kalimat atau redaksi tersebut bukanlah teks yang di ucapkan oleh rasulullah, dan matan hadis tersebut sering menyalahi dari hadis-hadis yang lebih kuat bobot akurasinya.[35]
            Untuk mengungkap dan mengetahui illat pada matan ada beberapa kriteria dan beberapa cara yang telah di formulasikan oleh al-Salafi yang di kutip umi sumbulah antara lain:[36]
Mengumpulakan hadis yang semakna dan mengkomparasikan sanad dan matannya sehingga diketahui illat yang terdapat didalamnya. Dan sejalan dengan pendapat Abdullah ibn al-Mubarak  ia berpendapat jika engkau berkehendak untuk mengetahui kesahihan hadis yang ada padamu, maka perbandingkan dengan yang lain.
Jika seorang perawi bertentangan dengan riwayatnya dengan seorang perawi yang lebih thqah darinya, maka riwayat perawi tersebut di nilai ma’lul, artinya, matan hadis tersebut tidak sahih dan terkena illat.
Jika hadis yang diriwayatkan seorang perawi bertentangan dengan hadis yang terdapat dalam tulisannya (kitabnya), atau bahkan hadis yang di riwayatkannya itu terynyata tidak terdapat dalam kitabnya, maka dengan pertentangan tersebut yang menjadikan matan hadis menjadi ma’lul dan tidak sahih lagi
Melalui penyeleksian seorang syaikh bahwa ia tidak pernah menerima hadis yang telah diriwayatkannya itu, artinya hadis yang diriwayatkannya itu sebenarnya tidak sampai kepadanya
Seorang perawi tidak mendengar hadis langsung dari gurunya
Hadis yang telah umum dikenal oleh sekelompok orang (kaum), namun kemudian dating seorang perawi yang hadisnya menyalahi hadis yang telah mareka kenal itu, maka hadis yang mereka kemukakan itu di anggap memiliki cacat. Adanya keraguan bahwa tema inti hadis tersebut berasal dari Rasulullah
                  

                                                                           BAB III
PENUTUP 
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan :
Hadis adalah sumber ajaran islam yang kedua setelah Al-qur’an, namun untuk menjadikannya sebagai sumber, atau dasar pengamalan, perlu di klarifikasi terlebih dahulu mana hadis yang bisa kita amalkan dan mana yang tidak bisa kita jadikan sebagai hujjah.
Hadis yang dapat kita perpegangi, yang menjadi dasar pengamalan, atau sumber dan hujjah yang memang di terima adalah hadis sahih. Mengukur ke-sahih-an hadis hanya terletek pada dua aspek yang pertama, aspek sanad dan yang kedua aspek matan.
Kaidah Kesahihan Sanad terbagi atas Kaidah Mayor dan Kaidah Minor, begitupula dengan Kaidah Kesahihan Matan yang juga terdiri atas Mayor dan Minor

Saran
Dalam penelitian hadis, supaya akurat sangat diperlukan kecermatan dan konsistensi dalam menerapkan kaidah. Sepanjang semua unsur diterapkan secara benar dan cermat, maka penelitian akan menghasilkan kualitas sanad dengan tingkat akurasi yang tinggi. Diperlukan upaya untuk mengembangkan atau merumuskan kaidah dan metode, khususnya untuk studi matan hadis.

DAFTAR PUSTAKA
Usman sya’roni. 2002. Otentsitas Hadis Menurut Ahli Hadis Dan Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus
M.Syuhudi Ismail. 1988. Kaedah Kesahihan sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang
UmiSumbulah. 2010.KajianKritisIlmuHadis.Malang: UIN Press
NURUDDIN’itr. 2012. ‘Ulumul Hadis. Bandung: Remaja RosdaKarya
Sulaiman Noor. 2009. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada
Bustamin, Salam, A, H, Isa, M,. 2004. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Prof, Dr, Ismail, Syuhudi. 1995.Kaedah Kasahihan Sanad Hadis.Jakarta: PT. Bulan Bintang
Rahman, Fatchur. 1974.Ikhtisar Mushthalahul Hadis. Bandung: Al Ma’arif.

1 komentar: