Senin, 07 Juli 2014

Makalah Tafsir Muamalah, Qs. Ali Imran Ayat 130


MAKALAH TAFSIR MUAMALAH
“QS.Ali Imran :130”
Oleh : Ampe Daryanti

UIN ALAUDDIN MAKASSAR
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
AKUNTANSI 7,8
2013/2014

A. Ayat QS.Ali Imran :130
يآأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَوا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Qs. Ali Imron : 130)

Kosa Kata
Hai orang-orang yang beriman:    يآأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Janganlah kamu memakan riba: لَا تَأْكُلُوا الرِّبَوا
Dengan berlipat ganda : أَضْعَافًا
Bertakwalah kamu kepada Allah  : مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ
Supaya kamu mendapat keberuntungan : لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


B. ASBABUN NUZUL
Tentang sebab turunnya ayat di atas, Mujahid mengatakan, “Orang-orang Arab sering mengadakan transaksi jual beli tidak tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan pihak yang berhutang belum mampu melunasi maka nanti ada penundaan waktu pembayaran dengan kompensasi jumlah uang yang harus dibayarkan juga menjadi bertambah.
Buktinya jika bank memberi hutang kepada orang lain sebanyak seribu real maka seketika itu pula bank menetapkan bahwa kewajiban orang tersebut adalah seribu seratus real. Jika orang tersebut tidak bisa membayar tepat pada waktunya maka jumlah total yang harus dibayarkan menjadi bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari jumlah hutang sebenarnya.
Bandingkan dengan riba jahiliah. Pada masa jahiliah nominal hutang tidak akan bertambah sedikit pun jika pihak yang berhutang bisa melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo. Dalam riba jahiliah hutang akan berbunga atau beranak jika pihak yang berhutang tidak bisa melunasi hutangnya tepat pada saat jatuh tempo lalu mendapatkan penangguhan waktu pembayaran.
Boleh jadi ada orang yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian karena hal itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas cuma menceritakan praktek para rentenir pada masa jahiliah lalu Allah cela mereka karena ulah tersebut.
Sedangkan setelah Allah mengharamkan riba maka semua bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali, tidak ada beda antara riba dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit. Perhatikan sabda Rasulullah yang menegaskan hal ini,

C. MUNASABAH
Pembahasan pokok tentang riba disebutkan dalam beberapa tempat secara berkelompok, yaitu surat Ar-rum:39, surat An-Nisa’:160-161, surat ali Imran :130, dan surat Al-baqarah 275-280. Sedangkan mengenai pengertian riba ,para ulama’ menjadikan surat ali Imran ;130dan surat Al-baqarah :278-279 sebagai pijakan .
Ayat-ayat tentang Riba

       QS.Ar-Rum:39
وما اتيتم من ربا ليربوافي أموال الناس فلا يربوا عند الله وما اتيتم من زكوة تريدون وجه الله فأولئك هم المضعفون (39)

QS.An-Nisa’:160-161

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَوا وَقَدْنُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (161)
     QS.Ali Imran :130

                   يآأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَوا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)]
     QS.Al-baqarah:275-280

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَوالَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276) إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (277) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279) وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280)

D. TAFSIR ALI IMRAN AYAT 130
Ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan itu akan didapatkan oleh orang yang bertakwa dan salah satu bukti takwa adalah menghindari riba. Hal ini menunjukkan bahwa jika kadar takwa seseorang itu berkurang maka kadar keberuntungan yang akan di dapatkan juga akan turut berkurang.
Ada juga pakar tafsir yang menjelaskan bahwa maksud ayat, waspadailah amal-amal yang bisa mencabut iman kalian sehingga kalian wajib masuk neraka. Di antara amal tersebut adalah durhaka kepada orang tua, memutus hubungan kekerabatan, memakan harta riba dan khianat terhadap amanat.
Ayat di mulai dengan panggilan kepada orang-orang yang beriman disusul dengan larangan riba. Dimulainya demikian memberi isyarat bahwa bukanlah sifat dan kelakuan orang yang beriman memakan yakni mencari dan menggunakan uang yang diperolehnya dari praktek riba.

Riba atau kelebihan yang terlarang oleh ayat tersebut adalah yang sifatnya adh’afam mudlo’afah,yakni berlipat ganda, sebagaimana kebiasaan masyarakat jahiliyyah . Jika seseorang tidak mapu membayar hutang , dia ditawari atau menawarkan penangguhan pembayaran , dan sebagai imbalan penangguhan itu-ketika membayar  utangnya-dia membayar nya dengan ganda atau berlipat ganda.

Kata kunci Al-qur’an yang dikembangkan untuk menerangkan riba oleh para ulama’ adalah lakum ru’us amwalikum( hukum adalah menerima sejumlah modal yang kamu pinjamkan), dari situ kemudian difahami bahwa pemberian pinjaman hanya berhak menerima pelunasan sejumlah pinjaman, dan kelebihan atas jumlah pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu tanpa iwad( imbalan ) adalah riba.
Dalam tafsir Al-Kasyf disebutkan bahwa imam abu hanifah, apabila membaca ayat 130 di atas , beliau berkata :” Inilah ayat-ayat yang paling menakutkan dalam Al-qur’an karena Allah mengancam orang-orang yang beriman terjerumus dalam neraka yang disediakan Allah untuk orang-orang kafir. Memang riba adalah kejahatan ekonomi yang terbesar .Ia adalah penindasan terhadap orang yang butuh. Penindasan dalam bidang ekonomi dapat lebih besar daripada  penindasan dalam bidang fisik.
Tidak heran jika sebagian ulama’-seperti Muhammad Abduh – yang menilai kafir , orang-orang yang melakukan praktik riba- walaupun mengakui keharamannya dan walau dia mengcapkan kalimat syahadat dan secara formal melakukan sholat-adalah serupa orang-oranng kafir yang terancam kekal di neraka. Kemudian Allah ta’ala berfirman, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah’ yaitu terkait dengan harta riba dengan cara tidak memakannya.
Al Falah/ keberuntungan dalam bahasa Arab adalah bermakna mendapatkan yang di inginkan dan terhindar dari yang dikhawatirkan. Oleh karena itu keberuntungan dalam pandangan seorang muslim adalah masuk surga dan terhindar dari neraka. Surga adalah keinginan setiap muslim dan neraka adalah hal yang sangat dia takuti.
Di antara bukti bahwa meninggalkan riba itu menyebabkan mendapatkan keberuntungan adalah kisah seorang sahabat yang bernama ‘Amr bin Uqois sebagaimana dalam hadits berikut ini.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنْ عَمْرَو بْنَ أُقَيْشٍ كَانَ لَهُ رِبًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكَرِهَ أَنْ يُسْلِمَ حَتَّى يَأْخُذَهُ فَجَاءَ يَوْمُ أُحُدٍ فَقَالَ أَيْنَ بَنُو عَمِّي قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ أَيْنَ فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ فَأَيْنَ فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ فَلَبِسَ لَأْمَتَهُ وَرَكِبَ فَرَسَهُ ثُمَّ تَوَجَّهَ قِبَلَهُمْ فَلَمَّا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ قَالُوا إِلَيْكَ عَنَّا يَا عَمْرُو قَالَ إِنِّي قَدْ آمَنْتُ فَقَاتَلَ حَتَّى جُرِحَ فَحُمِلَ إِلَى أَهْلِهِ جَرِيحًا فَجَاءَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَقَالَ لِأُخْتِهِ سَلِيهِ حَمِيَّةً لِقَوْمِكَ أَوْ غَضَبًا لَهُمْ أَمْ غَضَبًا لِلَّهِ فَقَالَ بَلْ غَضَبًا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ فَمَاتَ فَدَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَا صَلَّى لِلَّهِ صَلَاةً
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya ‘Amr bin ‘Uqoisy sering melakukan transaksi riba di masa jahiliah. Dia tidak ingin masuk Islam sehingga mengambil semua harta ribanya. Ketika perang Uhud dia bertanya-tanya, “Di manakah anak-anak pamanku?” “Di Uhud”, jawab banyak orang. “Di manakah fulan?”, tanyanya lagi. “Dia juga berada di Uhud”, banyak orang menjawab.” Di mana juga fulan berada?”, tanyanya untuk ketiga kalinya. “Dia juga di Uhud”, jawab banyak orang-orang. Akhirnya dia memakai baju besinya dan menunggang kudanya menuju arah pasukan kaum muslimin yang bergerak ke arah Uhud. Setelah dilihat kaum muslimin, mereka berkata, “Menjauhlah kamu wahai Amr!” Abu Amr mengatakan, “Sungguh aku sudah beriman.”
Akhirnya beliau berperang hingga terluka lalu digotong ke tempat keluarganya dalam kondisi terluka. Saat itu datanglah Sa’ad bin Muadz, menemui saudara perempuannya lalu memintanya agar menanyai Abu Amr tentang motivasinya mengikuti perang Uhud apakah karena fanatisme kesukuan ataukah karena membela Allah dan rasul-Nya. Abu Amr mengatakan, “Bahkan karena membela Allah dan Rasul-Nya.” Beliau lantas meninggal dan masuk surga padahal beliau belum pernah melaksanakan shalat satu kali pun. (HR. Abu Daud, Hakim dan Baihaqi serta dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud no. 2212).
Ad Dainuri bercerita bahwa Abu Hurairah pernah bertanya kepada banyak orang yang ada di dekat beliau, “Siapakah seorang yang masuk surga padahal sama sekali belum pernah shalat?” Orang-orang pun hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas mengatakan, “Saudara bani Abdul Asyhal.”
Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan ada orang yang menanyakan perihal Abu ‘Amr kepada Rasulullah, beliau lantas bersabda, “Sungguh dia termasuk penghuni surga.” (Tafsir al Qosimi, 2/460)
Catatan Penting: Hadits di atas tidaklah tepat jika dijadikan dalil bahwa orang yang tidak shalat itu tidak kafir karena sahabat tadi bukannya tidak ingin mengerjakan shalat namun dia tidak berkesempatan untuk menjumpai waktu shalat sesudah dia masuk Islam karena kematian merenggutnya terlebih dahulu.
Pada ayat selanjutnya Allah menakuti-nakuti kita sekalian dengan neraka. Banyak pakar tafsir yang menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ancaman keras untuk orang-orang yang membolehkan transaksi riba. Siapa saja yang menganggap transaksi riba itu halal/boleh maka dia adalah orang yang kafir dan divonis kafir meski masih mengaku sebagai seorang muslim.
Abu Bakar al Warraq mengatakan, “Kami renungkan dosa-dosa yang bisa mencabut iman maka tidak kami dapatkan dosa yang lebih cepat mencabut iman dibandingkan dosa menzalimi sesama.”
Ayat di atas juga merupakan dalil yang menunjukkan bahwa saat ini neraka sudah tercipta karena sesuatu yang belum ada tentu tidak bisa dikatakan ‘sudah disiapkan’. (Lihat Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Akan tetapi dalam perkembangan ekonomi , banyak muncul berbagai fenomena. Misalnya di Indonesia, dari tahun ke tahun nilai tukar rupiah mengalami perubahan . Uang satu juta rupiah pada tahun 1995 tidaklah sama dengan tahun berikutnya, Jika pada awal tahun1995 dipinjam uang sebesar satu juta dan kemudian dikermbalikan pada tahun 2000 –secara ekonomi- dirugikan.Dalam kondisi seperti ini, agar tidak ada pihak yang dirugikan, pengembalian hutang harus disertai tambahan untuk kompensasi perubahan nilai tukar rupiah. Akan tetapi langkah ini pasti akan dikatakan riba jika berdasarkan kategori di atas. Fenomena ini menggambarkan pengembalian ‘ru’us amwalikum  ini tidak relevan dengan tidak adanya dzulm sebagaiman terdapat dalam surat Al-baqarah:279.
Sementara perkembangan ekonomi dari masa ke masa mengalami perkembangan , yang dulu tidak dikenal,sekarang ada. Dulu lembaga permodalan seperti bunga bank tidak dikenal ,sekarang ada. Di satu sisi,bunga bank terperangkap dalam praktek riba, tetapi di sisi lain bank punya fungsi sosisl yang besar. Mengenai hal ini ada 2 pendapat. Pendapat pertama, mengatakan bahwa bunga bank sama dengan riba ,sehingga harus dihindari oleh umat islam. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank belum tentu disebut riba  apabila tidak ada unsur dzulm di dalamnya. Sekalipun demikian sebenarnya kita belum menawarkan rumusan yang baku tentang kriteria dzulm
Bagaimanpun di masa lampau riba dengan segala sifat dampaknya sudah difahami, kendati pengertiannya sederhana., artinya berbagai kegiatan ekonomi sudah dapat dikategorikan sebagai riba atau tidak . Sementara perkembangan ekonomi terus melaju sehingga membentuk perspektif tertentu dalam masyarakat menyangkut penilaian terhadap tentang kegiatan ekonomi ,sehingga kegiatan ekonomi tertentu dewasa ini justru dipandang baik, bahkan dibutuhkan .Oleh karena itu  perlunya ada pengkajian ulang tentang karakter riba yang terkandung dalam Al-qur’an .

KESIMPULAN
Dari uraian dia atas ,kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut:
·         Dari uraian para mufassir tentang riba ,baik yang dituangkan dalam definisi maupun dalam gambaran praktis di masa jahiliyyah,riba yang mereka maksud dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1)     Terjadi karena transaksi pinjam meminjam/utang-piutang.
2)     Ada tambahan dari jumlah pinjaman ketika pelunasan.
3)     Tambahan tersebut dijanjikan terlebih dahulu,setidaknya beberapa waktu sebelum pelunasan.
4)     Tambahan itu diperhitungkan sesuai dengan panjang pendek-nya tenggang waktu peminjaman.
Tahapan pelarangannya yaitu surat yang pertama yaitu:QS.Ar Rum:39,kemudian (QS.an-Nisa’ (4);161). Selanjutnya , pada tahap ketiga ,secara tegas dinyatakan keharaman salah atu bentuknya,yaitu yang berlipat ganda(QS.Ali Imran [3]: 130. Dan terakhir pengharaman secara total dan dalam berbagai bentuknya yaitu pada QS.al-Baqarah[2]:278).
Sementara perkembangan ekonomi dari masa ke masa mengalami perkembangan Munculnya perbankan menimbulkan kontroversi mengenai hukum bunga bank.Ada banyak mendapat mengenai masalah ini,namun penulis makalah cenderung setuju dengan tokoh  modern yang lebih menekankan perhatiannya pada aspek moral sebagai bentuk pelarangan riba dan mengesampingkan dari larangan riba sebagaimana yang dijelaskan dalam hukum islam.Argumentasi mereka adalah sebab dilarangnya riba karena menimbulkan ketidakadilan,sebagaiman diungkapkan dalam Al-qur’an.:”laa tadzlimuuna walaa tudzlamuun,Bahwa tidak seluruh bunga bank itu dilarang. Sebab pada prinsipnya aktivitas perbankan dengan ciri bunga itu bertujuan pembinaan ekonomi

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan Dari Allah – Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Gema Insani, 1999
/alquranonline/Alquran_Tafsir.asp, line 390
Rasyid Ridla, Az zamakhsyari,al-alusi,almaraghi,Sayyid quthub
Abdullah Saeed,Bank Islam dan Bunga(yogjakarta:Pustaka Pelajar,2003)
Muh.Zuhri,Riba dalam Alqur’an:Sebuah Tilikan Antisipatif,Masalah perbankan(Jakarta:Raja Grafindo Jakarta,1996)
Di antara mufassir dalam kelompok ini adalah Al-razi,Rasyid Ridla dan Thaba’thaba’i.
Di antara ulama’ dalam kelompok ini adalah abu Zahrah,Abul a’la al-maududi,Mustafa ahmad az Zarqa’

Makalah Ilmu Hadis, Inkar Al Sunnah

Makalah Ilmu Hadis
(Inkar al-sunnah)
JURUSAN AKUNTANSI (7.8)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2013

Kata Pengantar
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nya maka kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “Inkar Al-Sunnah” yang insya Allah dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita dalam mempelajari agama islam.

               Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat.

               Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.


Makassar, Juli 2014


Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
1.1 Pendahuluan
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

Bab II Materi
2.1  Pengertian Inkar al-sunnah
2.2  Sejarah, argumen, dan bantahan ulama
2.3  Inkar al-sunnah di Indonesia

Bab III Penutup
3.1  Kesimpulan
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Pendahuluan
            Oleh beberapa komunitas dalam peradaban, terutama umat Islam, Hadis adalah segala perkataan Nabi, segala perbuatan beliau, segala taqrir (pengakuan) beliau dan segala keadaan beliau. Sebagai sebuah teks, Hadis merupakan penuntun umat Islam. Segala perkataan Nabi, segala perbuatan beliau, pengakuan dan segala keadaan beliau dicatatkan di dalamnya. Walaupun begitu, disamping berbahasa arab tidak dipungkiri kualitas Hadits ada tiga, yakni Hadits shahih, Hadis Hasan, dan Hadits Dha’if. Sehingga kita tidak bisa sembarangan dalam mengeluarkan Hadits, untuk itu bagi orang awam untuk memahaminya perlu memperhatikan terlebih dahulu apa Hadits tersebut Hadis Shahih atau malah Hadits Dha’if.
Dalam makalah ini kami akan memaparkan beberapa hal yang erat kaitannya untuk memahami Inkar Al-Sunnah. Yaitu kami akan memaparkan mengenai inkar Al-Sunnah, sejarahnya, argumen, dan bantahan ulama.
1.2 Rumusan Masalah
      Makalah tentang Inkar Al-Sunnah ini mencakup beberapa masalah yaitu :
1.       Apakah yang dimaksud dengan Inkar Al-Sunnah?
2.       Bagaimana Sejarah perkembangan Inkar Al-Sunnah ?
3.       Bagaimana argumen dan bantahan para ulama tentang Inkar Al-Sunnah?
1.3  Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar pembaca mengetahui dan memahami Inkar Al-Sunnah serta sejarah, argumen, dan bantahan ulama yang terdapat didalamnya.

                                             BAB II
Pembahasan
2.1  Pengertian Inkar Al-Sunnah
Inkar sunnah terdiri dari dua kata yaitu Inkar dan Sunnah. Inkar, menurut bahasa, artinya “menolak atau mengingkari”, berasal darikata kerja, ankara-yunkiru. Sedangkan Sunnah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang dijalani, terpuji atau tidak,” suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik. Secara definitif Ingkar al-Sunnah dapat ddiartikan sebagai suatu nama atau aliran atau suatu paham keagamaan dalam masyarakat Islam yang menolak atau mengingkari Sunnah untuk dijadikan sebagai sumber san dasar syari’at Islam.
 Secara bahasa pengertian hadits dan sunnah sendiri terjadi perbedaan dikalangan para uama, ada yang menyamakan keduanya dan ada yang membedakan. Pengertian keduanya akan disamakan seperti pendapat para muhaditsin, yaitu suatu perkataan, perbuatan, takrir dan sifat Rauslullah saw. Sementara Nurcholis Majid berpendapat bahwa yang terjadi dalam sejarah Islam hanyalah pengingkaran terhadap hadits Nabi saw, bukan pengingkaran terhadap sunnahnya. Norcholis Majid membedakan pengertian hadits dengan Sunnah. Sunnah menurut beliau adalah pemahaman terhadap pesan atau wahyu Allah dan teladan yang diberikan Rasulullah dalam pelaksanaannya yang membentuk tradisi atau sunnah. Sedangkan hadits merupakan peraturan tentang apa yang disabdakan Nabi saw. atau yang dilakukan dalam praktek atau tindakan orang lain yang di diamkan beliau (yang diartikan sebagai pembenaran).
Kata “Ingkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan atau paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber kedua hukum Islam.
Menurut Imam Syafi’I, Sunnah Nabi saw ada tiga macam:
1. Sunnah Rasul yang menjelaskan seperti apa yang din ask-an oleh Alqur’an.
2. Sunnah Rasul yang menjelaskan makna yang dikehendaki oleh Alqur’an. Mengenai kategori           kedua ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama.
3. Sunnah Rasul yang berdiri sendiri yang tidak ada kaitannya dengan Alqur’an

2.2  Sejarah, Argumen, dan Bantahan Ulama Inkar Al-Sunnah
2.2.1 Sejarah Inkar Al-Sunnah
1)      Ingkar Sunnah Pada Masa Periode Klasik
 Pertanda munculnya “Ingkar Sunnah” sudah ada sejak masa sahabat, ketika Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadits, seseorang menyela untuk tidak perlu mengajarkannya, tetapi cukup dengan mengerjakan al-Qur’an saja. Menanggapi pernyataan tersebut Imran menjelaskan bahwa “kita tidak bisa membicarakan ibadah (shalat dan zakat misalnya) dengan segala syarat-syaratnya kecuali dengan petunjuk Rasulullah saw. Mendengar penjelasan tersebut, orang itu menyadari kekeliruannya dan berterima kasih kepada Imran.
Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah.
Di Indonesia, pada dasawarsa tujuh puluhan muncul isu adanya sekelompok muslim yang berpandangan tidak percaya terhadap Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dan tidak menggunakannya sebagai sumber atau dasar agama Islam. Pada akhir tujuh puluhan, kelompok tersebut tampil secara terang-terangan menyebarkan pahamnya dengan nama, misalnya, Jama’ah al-Islamiah al-Huda, dan Jama’ah al-Qur’an dan Ingkar Sunnah, sama-sama hanya menggunakan al-Qur’an sebagai petunjuk dalam melaksanakan agama Islam, baik dalam masalah akidah maupun hal-hal lainnya. Mereka menolak dan mengingkari sunnah sebagai landasan agama.
Imam Syafi’i membagi mereka kedalam tiga kelompok, yaitu :
1. Golongan yang menolak seluruh Sunnah Nabi SAW.
2. Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnah memiliki kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an.
3. Mereka yang menolak Sunnah yang berstatus Ahad dan hanya menerima Sunnah yang berstatus Mutawatir.
Dilihat dari penolakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok pertama dan kedua pada hakekatnya memiliki kesamaan pandangan bahwa mereka tidak menjadikan Sunnah sebagai hujjah. Para ahli hadits menyebut kelompok ini sebagai kelompok Inkar Sunnah.
Argumen kelompok yang menolak Sunnah secara totalitas. Banyak alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk mendukung pendiriannya, baik dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an ataupun alasan-alasan yang berdasarkan rasio. Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan mereka sebagai alasan menolak sunnah secara total adalah surat an-Nahl ayat 89 :
ﻮﻨﺰﻠﻨﺎ ﻋﻠﻳﻚ ﺍﻠﮑﺘﺎﺏ ﺘﺑﻴﺎﻨﺎ ﻠﮑﻞ ﺸﺊ
“Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu….”
Kemudian surat al-An’am ayat 38 yang berbunyi:
...ﻤﺎﻓﺮﻄﻨﺎ ﻔﻰ ﺍﻠﺘﺎﺐ ﻤﻦ ﺷﺊ...
“…Tidaklah kami alpakan sesuatu pun dalam al-Kitab…Menurut mereka kepada ayat tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an telah mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan ketentuan agama, tanpa perlu penjelasan dari al-Sunnah. Bagi mereka perintah shalat lima waktu telah tertera dalam al-Qur’an, misalnya surat al-Baqarah ayat 238, surat Hud ayat 114, al-Isyra’ ayat 78 dan lain-lain.
Adapun alasan lain adalah bahwa al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab yang baik dan tentunya al-Qur’an tersebut akan dapat dipahami dengan baik pula.
Argumen kelompok yang menolak hadits Ahad dan hanya menerima hadits Mutawatir.
Untuk menguatkan pendapatnya, mereka menggunakan beberapa ayat al-Qur’an sebagai dallil yaitu, surat Yunus ayat 36:
ﻮﺍﻦ ﺍﻠﻈﻦ ﻻﻴﻐﻨﻰ ﻤﻦ ﺍﻠﺤﻖ ﺸﻴﺌﺎ
“…Sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”.
Berdasarkan ayat di atas, mereka berpendapat bahwa hadits Ahad tidak dapat dijadikan hujjah atau pegangan dalam urusan agama. Menurut kelompok ini, urusan agama harus didasarkan pada dalil yang qath’I yang diyakini dan disepakati bersama kebenarannya. Oleh karena itu hanya al-Qur’an dan hadits mutawatir saja yang dapat dijadikan sebagi hujjah atau sumber ajaran Islam.
2)      Ingkar Sunnah pada Periode Modern (salah)
Pemikiran mengenai penolakan sunnah muncul kembali pada abad ke epat belas Hijriyah setelah pada abad ke tiga pemikiran seperti itu lenyap ditelan zaman. Mereka muncul dengan bentuk dan penampilan yang jauh berbeda dari inkar sunnah priode klasik, yang mana kemunculan mereka lebih terpengaruh pada pemikiran kolonialisme yang ingin menghancurkan dunia Islam. Inkar al-sunnah masa ini muncul dalam bentuk golongan yang terorganisi yang mempunyai pemimpin atau tokoh-tokoh dalam ajaran mereka, yang mana tokoh-tokoh mereka menyebut dirinya sebagai Mujtahid atau pembaharu. Bahkan saat mereka mengetahui bahwa ajaran mereka salah mereka tidak lantas sadar seperti inkar al-sunnah periode klasik, tetapi terus mempertahankan dan menyebarkan walaupun pemerintah setempat telah mengeluarkan larangan resmi atas ajaran mereka.
Menurut Mustafa Zami dalam buku yang ditulis Agus Solahudin menuturkan bahwa Inkar As-Sunnah modern lahir di Kairo, Mesir pada masa Syeikh Muhammad Abduh (1266-1323H). Dengan kata lain Dialah yang pertama kali melontarkan gagasan Inkar As-Sunnah pada masa modern. Salah satu yang menarik dari Syeikh Muhammad Abduh bahwa ia mengingkari eksistensi hadits ahad sebagai dalil ketauhidan. Namun masih menjadi perdebatan para ulama tentang apakah orang yang mengingkari hadits ahad sebagai dalil tauhid dapat dikatakan sebagai pengingkar sunnah (inkar as-sunnah) atau bukan.
Majalah Almanar nomor 7 dan 12 tahun IX memuat tulisan Thaufiq Shidqi yang berjudul “Islam adalah Al-Qur’an itu sendiri”, ia menjelaskan bahwa Al-Qur’an  tidak membutuhkan sunnah. Begitulah golongan Inkar As-Sunnah terus menyebar ke berbagai belahan dunia dimana Islam berkembang sebagai wujud adanya kekuatan internal yang hendak melemahkan panji-panji kebesaran Islam, tak luputnya tanah air tercinta ini.

2.2.1 Argumen Inkar Al-Sunnah
Memang cukup banyak argumen yang telah dikemukakan oleh mereka yang berpaham inkar as-sunnah, baik oleh mereka yang hidup pada zaman al-Syafi’i maupun yang hidup pada zaman sesudahnya. Dari berbagai argumen yang banyak jumlahnya itu, ada yang berupa argumen-argumen naqli (ayat Al-Qur’an dan hadis) dan ada yang berupa argumen-argumen non-naqli. Dalam uraian ini, pengelompokan kepada dua macam argumen tersebut digunakan.
1.      Argumen- argumen Naqli
Yang dimaksud dengan argumen-argumen naqli tidak hanya berupa ayat-ayat Al-Qur’an saja, tetapi juga berupa sunnah atau hadis Nabi. Memang agak ironis juga bahwa mereka yang berpaham inkar as-sunnah ternyata telah mengajukan sunnah sebagai argumen membela paham mereka.
2.      Argumen-argumen Non-Naqli
Yang dimaksud dengan argumen-argumen non-naqli adalah argumen-argumen yang tidak berupa ayat Al-Qur’an dan atau hadis-hadis. Walaupun sebagian dari argumen-argumen itu ada yang menyinggung sisi tertentu dari ayat Al-Qur’an ataupun hadis Nabi, namun karena yang dibahasnya bukanlah ayat ataupun matan hadisnya secara khusus, maka argumen-argumen tersebut dimasukkan dalam argumen-argumen non-naqli juga.
Ternyata argumen yang dijadikan sebagai dasar pijakan bagi para pengingkar sunnah memiliki banyak kelemahan, misalnya :
1)      Pada umumnya pemahaman ayat tersebut diselewengkan maksudnya sesuai dengan kepentingan mereka. Surat an-Nahl ayat 89 yang merupakan salah satu landasan bagi kelompok ingkar sunnah untuk maenolak sunnah secara keseluruhan. Menurut al-Syafi’I ayat tersebut menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya global, seperti dalam kewajiban shalat, dalam hal ini fungsi hadits adalah menerangkan secara tehnis tata cara pelaksanaannya. Dengan demikian surat an-Nahl sama sekali tidak menolak hadits sebagai salah satu sumber ajaran. Bahkan ayat tersebut menekankan pentingnya hadits.
2)      Surat Yunus ayat 36 yang dijadikan sebagai dalil mereka menolak hadits ahad sebagai hujjan dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah zhanni adalah tentang keyakinan yang menyekutukan Tuhan. Keyakinan itu berdasarkan khayalan belaka dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Keyakinan yang dinyatakan sebagai zhanni pada ayat tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dan tidak da kesamaannya dengan tingkat kebenaran hasil penelitian kualitas hadits. Keshahihan hadits ahad bukan didasarkan pada khayalan melainkan didasarkan pada metodologi yang dapat dipertanggung jawabkan.

2.2.1 Bantahan Ulama Inkar Al-Sunnah
            Alasan pengingkar As-Sunnah mendapat bantahan karena meskipun kebenaran Al-Qur’an sudah diyakini sebagai kalamullah, namun masih ada ayat Al-Qur’an yang membutuhkan penjelasan karena belum pastinya hukum yang terkandung. Untuk membantah argumen dari kelompok Inkar As-Sunnah maka Abu Al Husain mengatakan,  “Dalam menerima hadis-hadis ahad, sebenarnya kita memakai dalil-dalil pasti yang mengharukan untuk menerima hadis-hadis itu”, jadi sebenarnya kita tidak memakai shann (dugaan kuat).
            Dalam ayat Al-Qur’an surah An-Nahl (16): ayat 44. Dari ayat tersebut jelas bahwa Allah membebankan kepada Nabinya untuk menerangkan isi dari Al-Qur’an. Maka suatu kekeliruan besar bagi golongan Inkar As-Sunnah saat mereka menolak penjelasan Nabi (sunnah Nabi). Mereka juga keliru dalam melakukan penafsiran atas ayat 38 Surat Al-An’am, sebab Allah menyuruh kita untuk menggunakan apa-apa yang dijelaskan Nabi SAW.

2.3  Inkar As-Sunnah di Indonesia
Tokoh-tokoh “ Ingkar Sunnah “ yang tercatat di Indonesia antara lain adalah Lukman Sa’ad (Dirut PT. Galia Indonesia) Dadang Setio Groho (karyawan Inilever), Safran Batu Bara (guru SMP Yayasan Wakaf Muslim Tanah Tinggi) dan Dalimi Lubis (karyawan kantor Departemen Agama Padang Panjang).
Sebagaimana kelompok ingkar sunnah klasik yang menggunakan argumen baik dalil naqli maupun aqli untuk menguatkan pendapat mereka, begitu juga kelompok ingkar sunnah Indonesia. Diantara ayat-ayat yang dijadikan sebagai rujukan adalah surat an-Nisa’ ayat 87 :
َﻤﻦ ﺍﺼﺪﻖ ﻤﻦ ﺍﷲ ﺤﺪﻴﺜﺎ
Menurut mereka arti ayat tersebut adalah “Siapakah yang benar haditsnya dari pada Allah”.
Kemudian surat al-Jatsiayh ayat 6:
ﻓﺒﺄﻱ ﺤﺪﻴﺚ ﺒﻌﺪ ﺍﷲ ﻮﺍﻴﺎﺗﻪ ﻴﺆﻤﻨﻮﻦ
Menurut mereka arti ayat tersebut adalah “Maka kepada hadits yang manakah selain firman Allah dan ayat-ayatnya mereka mau percaya”.
Selain kedua ayat diatas, mereka juga beralasan bahwa yang disampaikan Rasul kepada umat manusia hanyalah al-Qur’an dan jika Rasul berani membuat hadits selain dari ayat-ayat al-Qur’an akan dicabut oleh Allah urat lehernya sampai putus dan ditarik jamulnya, jamul pendusta dan yang durhaka. Bagi mereka Nabi Muhammad tidak berhak untuk menerangkan ayat-ayat al-Qur’an, Nabi Hanya bertugas menyampaikan.

                                      BAB III
                                            PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Inkar sunnah terdiri dari dua kata yaitu Inkar dan Sunnah. Inkar, menurut bahasa, artinya “menolak atau mengingkari”, berasal dari kata kerja, ankara-yunkiru. Sedangkan Sunnah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang dijalani, terpuji atau tidak,” suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik.
Secara definitif Ingkar al-Sunnah dapat ddiartikan sebagai suatu nama atau aliran atau suatu paham keagamaan dalam masyarakat Islam yang menolak atau mengingkari Sunnah untuk dijadikan sebagai sumber san dasar syari’at Islam. Kata “Inkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan atau paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber kedua hukum Islam.


                                                 Daftar Pustaka
Djamaluddin, Amin, Bahaya Ingkar Sunnah, Jakarta: Ma’had ad-Dirasati al-Islamiyah, 1986.
Ismail, Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1991.
Ismail, Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press.
Siba’I, Mustafa, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, diterjemahkan oleh Nurcholis Majid, Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1993.
Sulaiman, Noor, Antologi Ilmu Hadits, Cet. I, Pnerbit. Gaung Persada Press, Jakarta, 2008.
Suyitno, Studi Ilmu-Ilmu Hadits, Cet. I, IAIN Raden Fatah Press, Palembang, 2006.
Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu HadisAngkasa Bandung, Bandung, 1987.
Rasyid, Daud, “Sunnah di bawah ancaman: dari Snouck Hugronje Hingga Harun Nasution “. Syamil, Bandung, 2006.Solahuddin, Agus, Suryadi, “Ulumul Hadi”, Pustaka Setia, Bandung, 2009.
Ismail, Syuhudi, “Kaidah Kesahian Hadits”, Bulan Bintang, Bandung, 1995.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan terjemahannya. Mahkota Surabaya. 1998.