Senin, 07 Juli 2014

Makalah Tafsir Muamalah, Qs. Ali Imran Ayat 130


MAKALAH TAFSIR MUAMALAH
“QS.Ali Imran :130”
Oleh : Ampe Daryanti

UIN ALAUDDIN MAKASSAR
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
AKUNTANSI 7,8
2013/2014

A. Ayat QS.Ali Imran :130
يآأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَوا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Qs. Ali Imron : 130)

Kosa Kata
Hai orang-orang yang beriman:    يآأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Janganlah kamu memakan riba: لَا تَأْكُلُوا الرِّبَوا
Dengan berlipat ganda : أَضْعَافًا
Bertakwalah kamu kepada Allah  : مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ
Supaya kamu mendapat keberuntungan : لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


B. ASBABUN NUZUL
Tentang sebab turunnya ayat di atas, Mujahid mengatakan, “Orang-orang Arab sering mengadakan transaksi jual beli tidak tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan pihak yang berhutang belum mampu melunasi maka nanti ada penundaan waktu pembayaran dengan kompensasi jumlah uang yang harus dibayarkan juga menjadi bertambah.
Buktinya jika bank memberi hutang kepada orang lain sebanyak seribu real maka seketika itu pula bank menetapkan bahwa kewajiban orang tersebut adalah seribu seratus real. Jika orang tersebut tidak bisa membayar tepat pada waktunya maka jumlah total yang harus dibayarkan menjadi bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari jumlah hutang sebenarnya.
Bandingkan dengan riba jahiliah. Pada masa jahiliah nominal hutang tidak akan bertambah sedikit pun jika pihak yang berhutang bisa melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo. Dalam riba jahiliah hutang akan berbunga atau beranak jika pihak yang berhutang tidak bisa melunasi hutangnya tepat pada saat jatuh tempo lalu mendapatkan penangguhan waktu pembayaran.
Boleh jadi ada orang yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian karena hal itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas cuma menceritakan praktek para rentenir pada masa jahiliah lalu Allah cela mereka karena ulah tersebut.
Sedangkan setelah Allah mengharamkan riba maka semua bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali, tidak ada beda antara riba dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit. Perhatikan sabda Rasulullah yang menegaskan hal ini,

C. MUNASABAH
Pembahasan pokok tentang riba disebutkan dalam beberapa tempat secara berkelompok, yaitu surat Ar-rum:39, surat An-Nisa’:160-161, surat ali Imran :130, dan surat Al-baqarah 275-280. Sedangkan mengenai pengertian riba ,para ulama’ menjadikan surat ali Imran ;130dan surat Al-baqarah :278-279 sebagai pijakan .
Ayat-ayat tentang Riba

       QS.Ar-Rum:39
وما اتيتم من ربا ليربوافي أموال الناس فلا يربوا عند الله وما اتيتم من زكوة تريدون وجه الله فأولئك هم المضعفون (39)

QS.An-Nisa’:160-161

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَوا وَقَدْنُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (161)
     QS.Ali Imran :130

                   يآأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَوا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)]
     QS.Al-baqarah:275-280

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَوالَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276) إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (277) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279) وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280)

D. TAFSIR ALI IMRAN AYAT 130
Ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan itu akan didapatkan oleh orang yang bertakwa dan salah satu bukti takwa adalah menghindari riba. Hal ini menunjukkan bahwa jika kadar takwa seseorang itu berkurang maka kadar keberuntungan yang akan di dapatkan juga akan turut berkurang.
Ada juga pakar tafsir yang menjelaskan bahwa maksud ayat, waspadailah amal-amal yang bisa mencabut iman kalian sehingga kalian wajib masuk neraka. Di antara amal tersebut adalah durhaka kepada orang tua, memutus hubungan kekerabatan, memakan harta riba dan khianat terhadap amanat.
Ayat di mulai dengan panggilan kepada orang-orang yang beriman disusul dengan larangan riba. Dimulainya demikian memberi isyarat bahwa bukanlah sifat dan kelakuan orang yang beriman memakan yakni mencari dan menggunakan uang yang diperolehnya dari praktek riba.

Riba atau kelebihan yang terlarang oleh ayat tersebut adalah yang sifatnya adh’afam mudlo’afah,yakni berlipat ganda, sebagaimana kebiasaan masyarakat jahiliyyah . Jika seseorang tidak mapu membayar hutang , dia ditawari atau menawarkan penangguhan pembayaran , dan sebagai imbalan penangguhan itu-ketika membayar  utangnya-dia membayar nya dengan ganda atau berlipat ganda.

Kata kunci Al-qur’an yang dikembangkan untuk menerangkan riba oleh para ulama’ adalah lakum ru’us amwalikum( hukum adalah menerima sejumlah modal yang kamu pinjamkan), dari situ kemudian difahami bahwa pemberian pinjaman hanya berhak menerima pelunasan sejumlah pinjaman, dan kelebihan atas jumlah pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu tanpa iwad( imbalan ) adalah riba.
Dalam tafsir Al-Kasyf disebutkan bahwa imam abu hanifah, apabila membaca ayat 130 di atas , beliau berkata :” Inilah ayat-ayat yang paling menakutkan dalam Al-qur’an karena Allah mengancam orang-orang yang beriman terjerumus dalam neraka yang disediakan Allah untuk orang-orang kafir. Memang riba adalah kejahatan ekonomi yang terbesar .Ia adalah penindasan terhadap orang yang butuh. Penindasan dalam bidang ekonomi dapat lebih besar daripada  penindasan dalam bidang fisik.
Tidak heran jika sebagian ulama’-seperti Muhammad Abduh – yang menilai kafir , orang-orang yang melakukan praktik riba- walaupun mengakui keharamannya dan walau dia mengcapkan kalimat syahadat dan secara formal melakukan sholat-adalah serupa orang-oranng kafir yang terancam kekal di neraka. Kemudian Allah ta’ala berfirman, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah’ yaitu terkait dengan harta riba dengan cara tidak memakannya.
Al Falah/ keberuntungan dalam bahasa Arab adalah bermakna mendapatkan yang di inginkan dan terhindar dari yang dikhawatirkan. Oleh karena itu keberuntungan dalam pandangan seorang muslim adalah masuk surga dan terhindar dari neraka. Surga adalah keinginan setiap muslim dan neraka adalah hal yang sangat dia takuti.
Di antara bukti bahwa meninggalkan riba itu menyebabkan mendapatkan keberuntungan adalah kisah seorang sahabat yang bernama ‘Amr bin Uqois sebagaimana dalam hadits berikut ini.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنْ عَمْرَو بْنَ أُقَيْشٍ كَانَ لَهُ رِبًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكَرِهَ أَنْ يُسْلِمَ حَتَّى يَأْخُذَهُ فَجَاءَ يَوْمُ أُحُدٍ فَقَالَ أَيْنَ بَنُو عَمِّي قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ أَيْنَ فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ فَأَيْنَ فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ فَلَبِسَ لَأْمَتَهُ وَرَكِبَ فَرَسَهُ ثُمَّ تَوَجَّهَ قِبَلَهُمْ فَلَمَّا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ قَالُوا إِلَيْكَ عَنَّا يَا عَمْرُو قَالَ إِنِّي قَدْ آمَنْتُ فَقَاتَلَ حَتَّى جُرِحَ فَحُمِلَ إِلَى أَهْلِهِ جَرِيحًا فَجَاءَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَقَالَ لِأُخْتِهِ سَلِيهِ حَمِيَّةً لِقَوْمِكَ أَوْ غَضَبًا لَهُمْ أَمْ غَضَبًا لِلَّهِ فَقَالَ بَلْ غَضَبًا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ فَمَاتَ فَدَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَا صَلَّى لِلَّهِ صَلَاةً
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya ‘Amr bin ‘Uqoisy sering melakukan transaksi riba di masa jahiliah. Dia tidak ingin masuk Islam sehingga mengambil semua harta ribanya. Ketika perang Uhud dia bertanya-tanya, “Di manakah anak-anak pamanku?” “Di Uhud”, jawab banyak orang. “Di manakah fulan?”, tanyanya lagi. “Dia juga berada di Uhud”, banyak orang menjawab.” Di mana juga fulan berada?”, tanyanya untuk ketiga kalinya. “Dia juga di Uhud”, jawab banyak orang-orang. Akhirnya dia memakai baju besinya dan menunggang kudanya menuju arah pasukan kaum muslimin yang bergerak ke arah Uhud. Setelah dilihat kaum muslimin, mereka berkata, “Menjauhlah kamu wahai Amr!” Abu Amr mengatakan, “Sungguh aku sudah beriman.”
Akhirnya beliau berperang hingga terluka lalu digotong ke tempat keluarganya dalam kondisi terluka. Saat itu datanglah Sa’ad bin Muadz, menemui saudara perempuannya lalu memintanya agar menanyai Abu Amr tentang motivasinya mengikuti perang Uhud apakah karena fanatisme kesukuan ataukah karena membela Allah dan rasul-Nya. Abu Amr mengatakan, “Bahkan karena membela Allah dan Rasul-Nya.” Beliau lantas meninggal dan masuk surga padahal beliau belum pernah melaksanakan shalat satu kali pun. (HR. Abu Daud, Hakim dan Baihaqi serta dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud no. 2212).
Ad Dainuri bercerita bahwa Abu Hurairah pernah bertanya kepada banyak orang yang ada di dekat beliau, “Siapakah seorang yang masuk surga padahal sama sekali belum pernah shalat?” Orang-orang pun hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas mengatakan, “Saudara bani Abdul Asyhal.”
Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan ada orang yang menanyakan perihal Abu ‘Amr kepada Rasulullah, beliau lantas bersabda, “Sungguh dia termasuk penghuni surga.” (Tafsir al Qosimi, 2/460)
Catatan Penting: Hadits di atas tidaklah tepat jika dijadikan dalil bahwa orang yang tidak shalat itu tidak kafir karena sahabat tadi bukannya tidak ingin mengerjakan shalat namun dia tidak berkesempatan untuk menjumpai waktu shalat sesudah dia masuk Islam karena kematian merenggutnya terlebih dahulu.
Pada ayat selanjutnya Allah menakuti-nakuti kita sekalian dengan neraka. Banyak pakar tafsir yang menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ancaman keras untuk orang-orang yang membolehkan transaksi riba. Siapa saja yang menganggap transaksi riba itu halal/boleh maka dia adalah orang yang kafir dan divonis kafir meski masih mengaku sebagai seorang muslim.
Abu Bakar al Warraq mengatakan, “Kami renungkan dosa-dosa yang bisa mencabut iman maka tidak kami dapatkan dosa yang lebih cepat mencabut iman dibandingkan dosa menzalimi sesama.”
Ayat di atas juga merupakan dalil yang menunjukkan bahwa saat ini neraka sudah tercipta karena sesuatu yang belum ada tentu tidak bisa dikatakan ‘sudah disiapkan’. (Lihat Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Akan tetapi dalam perkembangan ekonomi , banyak muncul berbagai fenomena. Misalnya di Indonesia, dari tahun ke tahun nilai tukar rupiah mengalami perubahan . Uang satu juta rupiah pada tahun 1995 tidaklah sama dengan tahun berikutnya, Jika pada awal tahun1995 dipinjam uang sebesar satu juta dan kemudian dikermbalikan pada tahun 2000 –secara ekonomi- dirugikan.Dalam kondisi seperti ini, agar tidak ada pihak yang dirugikan, pengembalian hutang harus disertai tambahan untuk kompensasi perubahan nilai tukar rupiah. Akan tetapi langkah ini pasti akan dikatakan riba jika berdasarkan kategori di atas. Fenomena ini menggambarkan pengembalian ‘ru’us amwalikum  ini tidak relevan dengan tidak adanya dzulm sebagaiman terdapat dalam surat Al-baqarah:279.
Sementara perkembangan ekonomi dari masa ke masa mengalami perkembangan , yang dulu tidak dikenal,sekarang ada. Dulu lembaga permodalan seperti bunga bank tidak dikenal ,sekarang ada. Di satu sisi,bunga bank terperangkap dalam praktek riba, tetapi di sisi lain bank punya fungsi sosisl yang besar. Mengenai hal ini ada 2 pendapat. Pendapat pertama, mengatakan bahwa bunga bank sama dengan riba ,sehingga harus dihindari oleh umat islam. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank belum tentu disebut riba  apabila tidak ada unsur dzulm di dalamnya. Sekalipun demikian sebenarnya kita belum menawarkan rumusan yang baku tentang kriteria dzulm
Bagaimanpun di masa lampau riba dengan segala sifat dampaknya sudah difahami, kendati pengertiannya sederhana., artinya berbagai kegiatan ekonomi sudah dapat dikategorikan sebagai riba atau tidak . Sementara perkembangan ekonomi terus melaju sehingga membentuk perspektif tertentu dalam masyarakat menyangkut penilaian terhadap tentang kegiatan ekonomi ,sehingga kegiatan ekonomi tertentu dewasa ini justru dipandang baik, bahkan dibutuhkan .Oleh karena itu  perlunya ada pengkajian ulang tentang karakter riba yang terkandung dalam Al-qur’an .

KESIMPULAN
Dari uraian dia atas ,kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut:
·         Dari uraian para mufassir tentang riba ,baik yang dituangkan dalam definisi maupun dalam gambaran praktis di masa jahiliyyah,riba yang mereka maksud dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1)     Terjadi karena transaksi pinjam meminjam/utang-piutang.
2)     Ada tambahan dari jumlah pinjaman ketika pelunasan.
3)     Tambahan tersebut dijanjikan terlebih dahulu,setidaknya beberapa waktu sebelum pelunasan.
4)     Tambahan itu diperhitungkan sesuai dengan panjang pendek-nya tenggang waktu peminjaman.
Tahapan pelarangannya yaitu surat yang pertama yaitu:QS.Ar Rum:39,kemudian (QS.an-Nisa’ (4);161). Selanjutnya , pada tahap ketiga ,secara tegas dinyatakan keharaman salah atu bentuknya,yaitu yang berlipat ganda(QS.Ali Imran [3]: 130. Dan terakhir pengharaman secara total dan dalam berbagai bentuknya yaitu pada QS.al-Baqarah[2]:278).
Sementara perkembangan ekonomi dari masa ke masa mengalami perkembangan Munculnya perbankan menimbulkan kontroversi mengenai hukum bunga bank.Ada banyak mendapat mengenai masalah ini,namun penulis makalah cenderung setuju dengan tokoh  modern yang lebih menekankan perhatiannya pada aspek moral sebagai bentuk pelarangan riba dan mengesampingkan dari larangan riba sebagaimana yang dijelaskan dalam hukum islam.Argumentasi mereka adalah sebab dilarangnya riba karena menimbulkan ketidakadilan,sebagaiman diungkapkan dalam Al-qur’an.:”laa tadzlimuuna walaa tudzlamuun,Bahwa tidak seluruh bunga bank itu dilarang. Sebab pada prinsipnya aktivitas perbankan dengan ciri bunga itu bertujuan pembinaan ekonomi

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan Dari Allah – Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Gema Insani, 1999
/alquranonline/Alquran_Tafsir.asp, line 390
Rasyid Ridla, Az zamakhsyari,al-alusi,almaraghi,Sayyid quthub
Abdullah Saeed,Bank Islam dan Bunga(yogjakarta:Pustaka Pelajar,2003)
Muh.Zuhri,Riba dalam Alqur’an:Sebuah Tilikan Antisipatif,Masalah perbankan(Jakarta:Raja Grafindo Jakarta,1996)
Di antara mufassir dalam kelompok ini adalah Al-razi,Rasyid Ridla dan Thaba’thaba’i.
Di antara ulama’ dalam kelompok ini adalah abu Zahrah,Abul a’la al-maududi,Mustafa ahmad az Zarqa’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar