MAKALAH
ILMU HADIS
Sejarah
Pertumbuhan hadis
Disusun
oleh :
Kelompok IV
(empat)
Ketua
: Sri Susanti (10800113189)
Anggota
: Nurjannah (10800113159)
Awaluddin (10800113157)
Muh. Nur Ikhsan(10800113)
UNIVERITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
PROGRAM STUDY AKUNTANSI
TAHUN AJARAN 2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Membicarakan sejarah
petumbuhan dan perkembangan hadis yang bertujuan untuk mengangkat fakta dan
peristiwa yang terjadi pada masa rasulullah SAW. Kemudian secara periodic pada
masa-masa sahabat dan tabi’in serta masa-masa berikutnya.
Usaha mempelajari sejarah
pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat menggambarkan sikap dan
tindakan umat islam, khususnya para ulama ahli hadis terhadap hadis serta usaha
pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya hingga terwujudnya
kitab-kitab hasil tadwin secara
sempurna. Karena perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai
persoalan dan hambatan yang tidak sama, maka dalam pengungkapan sejarah perjalanan
perlu dikemukakan ciri-ciri khusus.
Di anatar para ulama terdapat
perbedaan dalam menyusun periodisasi pertumbuhan dan perkembangan hadis ini.
Ada yang membaginya dalam tiga periode saja, yaitu masa Rasulullah SAW, sahabat
dan tabi’in , masa pen-tadwin-an dan masalah setelah tadwin.
Namun yang akan diuraikan
secara khusus pada bahasan ini adalah masa Rasulullah SAW, masa sahabat , masa
tabi’in.
Apabila membicarakan pada masa
Rasulullah SAW, berarti membicarakan hadis pada awal pertumbuhannya. Maka dalam
uraiannya akan berkaitan langsung dengan pribadi Rasulullah SAW. Sebagai sumber
hadis.
Wahyu yang diturunkan Allah
SWT, ke[ada Rasulullah SAW disaksikan oleh para sahabat dapat dijadikan pedoman
bagi amaliah dan
ubudiah mereka. Pada masa Rasulullah SAW ini merupakan contoh sati-satunya
bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku
Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.
B. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah
ini, yaitu antara lain :
1.
Pengertian Hadis
2. Sejarah Pertumbuhan Hadis pada masa Rasulullah
Saw
3. Sejarah Pertumbuhan Hadis pada masa Sahabat
4. Sejarah Pertumbuhan Hadis pada masa Tabi’in
c. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini, yaitu
:
1.
Mengetahui
pengertian hadis.
2.
Dapat mengetahui
bagaimana pertumbuhan hadis pada masa Rasaulullah SAW.
3.
Dapat mengetahui
bagaimana pertumbuhan hadis pada masa sahabat.
4.
Dapat mengetahui
bagaimana pertumbuhan hadis pada masa tabi’in.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hadis
Hadits secara harfiah berarti "berbicara", "perkataan"
atau "percakapan". Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan, mencatat sebuah
pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad SAW.
Menurut istilah ulama ahli hadits, hadits yaitu apa
yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
ketetapannya (Arab: taqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak,
perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya,
sehingga arti hadits di sini semakna dengan sunnah.
B. Hadis
pada masa Rasulullah Saw
Rasulullah
SAW membina umatnya selama 23 Tahun. Masa ini merupakan kurun awktu turunnya
wahyu dan sekaligus di wurudkannya hadis. Keadaan ini sangat menuntut
keseriusan dan kehatian-hatian para
sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.[1]
Wahyu
yang diturunkan Allah SWT kepadanya di jelaskan melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af ‘al), dan penetapan (taqrir)-nya.
Sehingga apa yang didengar, dilihat dan di saksikanoleh para sahabat merupakan
pedoman bagi amaliah dan ubudiah
mereka. Rasul Saw merupakn contoh satu-satunya bagi para sahabat , karena ia
memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda
dengan manusia lainnya.
Kedudukan
hadis dalam sumber ajaran Islam adalah yang kedua dan itu telah disepakati oleh
hampir seluruh ulama dan umat islam. Dalam sejarah hanya ada sekelompok kecil
dari kalangan “ulama” dan umat islam yang menolak hadis Nabi sebagai sumber
ajaran Islam yang kedua. Mereka dikenal sebagai inkar al-sunnah. [2]
a. Cara
Rasul SAW Menyampaikan Hadis
Ada
suatu keistimewaaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya . Umat
Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasul Saw sebagaisumber hadis. Antara Rasul
Saw dengan mereka tidak ada jarak atau
hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
Allah
menurunkan al-Quran dan mengutus nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya adalah
sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan apa-apa yang disampaikannya
juga merupakan wahyu .
Rasulullah SAW hidup
ditengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan
beliau secara bebas. Tak ada protokolan-protokolan yang menghalangi mereka
bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke
rumah Nabi, dikala beliau tak ada di rumah. Yakni tak boleh mereka terus masuk
kerumah dan berbicara dengan istri-istri
Nabi, tanpa hijab.
Nabi
SAW menggauli mereka di
rumah, dimesjid, dipasar, di jalan, di dalam safar
dan di dalam hadlar. Seluruh perbuatan Nabi , demikian juga seluruh
ucapan dan tutur kata beliau menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala
gerak gerik beliau mereka jadikan pedoman hidup.[3]
Kedudukan
Nabi yang demikian ini otomatis menjadikan semua perkataan, perbuatan,dan
taqrir nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Dan para sahabat tidak menyia-nyiakan
keberadaan Rasulullah ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya
tentang segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia
maupun akhirat. Mereka mentaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya.
Ketaatan ini sendiri dimaksudkan agar
keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Oleh
karena itu, tempat tempat pertemuan di antara kedua belah pihak sangatlah
terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat
yang biasa digunakan Rasulullah Saw cukup bervariasi, seperti di mesjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika
dalam Perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada di rumah).[4]
Melalui
tempat-tempat tersebut Rasul SAW menyampaikan hadis, yang terkadang
disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikannya oleh mereka (melalui musyahadah).
Menurut
riwayat Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa
jenuh di kalangan sahabat, Rasulullah menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat
selalu ingin mengikuti pengajiannya. Ada beberapa cara Rasul SAW menyampaikan hadis kepada ara
sahabat, yaitu:
Pertama, melalui
para jama’ah pada pusat pembinaannya yang di sebut majlis al-‘ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang
untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan
diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi SAw.
Para
sahabat begitu antusias untuk bisa tetap mengikuti kegiatan di majlis ini , ini
ditunjukkannya dengan banyak upaya. Terkadang diantara mereka bergantian hadir
, seperti yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab. Ia sewaktu-waktu bergantian
hadir dengan Ibnu Zaid (dari bani Umayah) untuk menghadiri majlis ini, ketika
ia berhalangan hadir. Ia berkata: “kalau hari ini aku yang turun atau pergi,
pada hari lainnya ia yang pergi , demikian aku melakukannya .”[5]
Terkadang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke
majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka sekembalinya dari
sini.
Kedua, dalam
banyak kesempatan Rasul Saw juga menyampaikan haidisnya melalui para sahabat
tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena
terkadang ketika ia mewurudkan hadis , para sahabat yang datang hanya beberapa
orang saja, baik karena di sengaja oleh Rasul Saw sendiri atau secara kebetulan
para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang ,
seperti hadis-hadis yang di tulis oleh Abdullah Bin Amr Ibnu Al- ‘Ash.
Untuk
hal-hal yang sebsitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebetuln
biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami istri), ia sampaikan melalui
istri-istrinya. Begitu juga sikap para sahabat ,jika ada hal-ahal yang
berkaitan dengan soal di atas, karena
segan bertanya kepada Rasul Saw, seringkali di tanyakan melalui istri-istrinya.
ketiga
, cara lain yang dilakukan Rasul Saw adalah melalui ceramah atau pidato di
tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah.[6]
Tujuan
Nabi SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat, di antaranya ialah ; a) karena
ia bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT
kepadanya dalam waktu yang cukup panjang ; b) ia bermaksud menjelaskan
kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang dilihat dan di alaminya sendiri;
c) bermaksud meluruskan akidah yang salah atau tradisi yang tidak sejalan
dengan ajaran islam.[7]
b. Cara-Cara
Sahabat Menerima Hadis Dari Rasulullah SAW
Apabila para shahabi
berkata yang artinya:
“ saya mendengar Rasul SAW”[8]
Atau
“
Rasulullah SAW Mengkhabarkan kepadaku”
Atau
“ Rasulullah SAW menceritakan kepadaku”
Atau
“
Rasulullah SAW menerangkan kepadaku secara lisan”
Atau
“Aku
lihat Rasulullah SAW berbuat”.
Maka
semua ulama mengatakan, bahwa yang demikian itu menjadi Hujjah; karena terang
bahwa Shahabi itu berhadapan langsung dengan Nabi SAW:
Apabila seseorang shahabi membawa
lafadhnya yang memungkinkan ada perantaraan, seperti ia mengatakan:
“ bersabdalah Rasulullah
SAW”
Atau
“Rasulullah SAW menyuruh “
“ Rasulullah SAW
telah menegah”
“ Rasulullah SAW
telah memutuskan”
Maka
menurut pendapat Jumhur, juga menjadi Hujjah ,
baik perawi itu sahabat kecil ataupu shahabi besar , kerena menurut Dhahair
Shahabi itu meriwayatkan dari Nabi SAW jika di takdirkan ada perantaraan maka hadis tersebut menjadi
Mursal Shahabi, yang menjadi Hujjah juga menurut Jumhur.[9]
Apabila Shahabi berkata:
“
kami diperintahkan begini”
Atau
“ kami di larang yang demikian “
Maka
menurut pendapat Jumhur juga menjadi hujjah, karena menurut dhahir, yang
memerintah dan menegah
itu adalah Nabi SAW sendiri.
Abu Bakar Shairafi Al-Isma’ili, Al
Juwaini, Al Karakhi, mengatakan bahwa “ yang demikian itu tidak menjadi Hujjah,
kerena mungkin yang menyuruh dan menegah itu, bukan Nabi, tetapi sebagian
Khalifah.
Ibnu Daqiqiel ‘Ied menerangkan,
bahwa sebagian ulama membedakan antara sahabat-sahabat besar, seperti: Khalifah
Empat, Ulama-ulama Sahabat, seperti Ibnu Mas’ud, Zaid ibn Tsabit, Mu’adz bin
Jabal, Anas ibn Malik, Abi Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan antara lain
mereka.[10]
c. Perbedaan
Para Sahabat dalam Menguasai Hadis
Diantara
para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadis. Ada yang
memilikinya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali . hal ini tergantung
kepada beberapa hal. Pertama,
perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasul Saw. Kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada
sahabat lain. Ketiga ,perbedaan
mereka karena berbedanya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal dari mesjid
Rasul Saw.
Ada
beberapa orang sahabat yang dicatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis
dari Rasul Saw dengan beberapa
penyebabnya. Mereka itu antara lain:
a. Para
sahabat yang tergolong kelompok Al-
Sabiqun Al- Awwalun (yang mula-mula masuk islam), seperti Abu Bakar, Umar
Bin Khattab, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud . mereka
banyak menerima hadis dari Rasul Saw, karena lebih awal masuk Islam dari
sahabat-sahabat lainnya.
b. Ummahat Al- Mukminin (istri-istri
Rasul SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu
Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul Saw daripada
sahabat-sahabat lainnya. Hadis-hadis yang diterimanya, banyak yang berkaitan
dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami-istri.
c. Para
sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul SAW juga menuliskan
hadis-hadis yang di terimanya, seperti Abdullah Amr Ibn Al-‘Ash.
d. Sahabat
yang meskipun tidak lama bersama Rasu SAW, akan tetapi banyak bertanya kepada
para sahabat lainnya secar sungguh-ungguh, seperti Abu Hurairah.
e. Para
sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW banyak bertanya
kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari
wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik dan Abdullah ibn
Abbas.[11]
d.
Menghafal
dan Menulis Hadis
1. Menghafal
Hadis
Untuk
memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Qur’an dan Hadis, sebagai dua
sumber ajaran Islam, Rasul SAW menempuh jalan yang berbeda. Terhadap al-Quran
ia secara resmi menginstruksikan kepada sahabat supaya ditulis di samping di
hafal. Sedang terhadap hadis ia hanya menyuruh menghafalnya dan melarang
menulisnya secara resmi dalam hal ini ia bersabda yang artinya.
“Janganlah
kalian tulis apa saja dariku selain al-Quran. Barang siapa telah menulis dariku
selain al-Qur’an, hendaklah di hapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku,
ini tidak mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah
ia menempati tempat duduknya di neraka”. (HR Muslim). Alasan Nabi SAW tidak
memperkenankan para Sahabat untuk menulis hadis , salah satunya adalah karena
dikhawatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-Qur’an dengan tidak sengaja. Oleh karena itu Nabi
SAW melarang mereka menulis hadits, beliau Khawatir sabda-sabdanya akan
bercampur dengan firman Ilahi.[12]
Maka segala hadis yang diterima dari Rasul
SAW oleh para sahabat diingatkan secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat
khawatir dengan ancaman Rasul SAW untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa
yang di terimanya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada
para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Petama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang
telah di warisinya sejak praIslam dan mereka terkenal kuat hafalannya; Kedua, Rasul SAW banyak memberikan
spirit melalui doa-doanya; ketiga,
seringkali ia menjajikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis
dan menyampaikannya kepada orang lain.
2.
Menulis
Hadis
Di
balik larangan Rasul SAW. Seperti pada hadis Abu Sa’id Al-Khudri di atas, ternyata ditemukan
sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap
hadis dan memiliki catatan –catatannya, ialah:
1. Abdulillah
ibn Amr Al-‘Ash. Ia memiliki catatan hadis yang menurut pengakuannya dibenarkan
oleh Rasul SAW, sehingga di berinya nama al-sahifah al-shadiqah. Menurut suatu riwayat
diceritakan, bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap Abdulillah ibn Amr,
karena sikapnya yang selalu menulis apa yang datang dari Rasul SAW mereka
berkata: “Engkau tuliskan apa saja yang
datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia, yang bisa saja bicara dalam
keadaan marah”. Kritikan ini
disampaikannya kepada Rasul SAW, dan Rasul menjawabnya dengan mengatakan yang
artinya:
“tulislah! Demi zat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada yang
keluar daripadanya kecuali yang benar”. (HR. Bukhari)[13]
Hadis-hadis yang
terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadis , yang menurut pengakuannya
diterima langsung dari Rasul SAW ketika mereka berdua
tanpa ada orang lain
yang menemaninya.[14]
2. Jabir
ibn Abdillah ibn Amr Al- Anshari (w. 78 H.). ia memiliki catatan hadis dari
Rasul SAW tentang manasik Haji. Hadis-hadisnya kemudian diriwayatkan oleh
Muslim. Catatannya ini dikenal dengan sahifah
Jabir.
3.
Abu Hurairah Al-Dausi
(w. 59 H). Ia memiliki catatan hadis yang dikenal dengan Al- Sahifah Al-Sahihah. Hasil karyanya ini di wariskan kepada
anaknya bernama Hammam.
4.
Abu Syah (Umar ibn
Sa’ad Al- Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada Rasul SAW
dicatatkan hadis yang disampaikannya ketika pidato pada peristiwa futuh Mekkah
sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang di lakukan oleh sahabat dari Bani
Khuza’ah terhadap salah seorang lelaki Bani Lais. Rasul SAW. Kemudian bersabda
yang artinya:
“kalian
tuliskan untuk Abu Syah”.[15]
Di
samping nama di atas, masih banyak lagi nama-nama sahabat lainnya, yang juga
mengaku memiliki catatan hadis dan di benarkan Rasul SAW . seperti Rafi’ bin
Khadij, Amr bin Hazm, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud.[16]
C.
HADIS
PADA MASA SAHABAT
Periode
kedua sejarah pertumbuhan hadis adalah pada masa sahabat, khususnya masa khulafah’ Al- Rasyidin (Abu Bakar,
Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib ) yang berlangsung
sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa
sahabat besar.
Karena
pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan
penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang , dan
kelihataanya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama
di anggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan( al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).
1.
Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada
masa menjelang akhir kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar
berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang
lain . sebagaimana sabdanya yang artinya:
“Telah aku
tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berperang
kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnahku (Al-Hadis). (HR.
Malik).”[17]
Dan sabdanya pula:
“Sampaikanlah dariku walau satu
ayat /satu hadis”.[18]
Pesan-pesan
Rasulullah SAW sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala
perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara
pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW dibuktikan dengan
melaksanakan segala yang di contohkannya.
2. Berhati-hati
Dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadis
Perhatian
para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan
menyebarkan Al-Qur’an. Ini terlihat bagaimana Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu
Bakar atas saran Umar ibn Khattab. Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa
Usman ibn Affan, sehingga melahirkan Mushaf
Usmani. Satu disimpan di Madinah yang dinamai Mushaf Al-Imam, dan yang
empat lagi masing-masing disimpan di Makkah, Bashrah, Syiria dan Kufah. Sikap
memusatkan perhatian terhadap Al-Qur’an tidak berarti mereka lalai dan tidak
menaruh perhatian trhadap hadis. Mereka memegang hadis seperti halnya yang
diterimanya dari Rasul SAW secara utuh ketika ia masih hidup. Akan tetapi dalam
meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri.
Kehati-hatian
dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena
mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis
merupakan sumber Tasyri’ setelah Al-Qur’an, yang harus terjaga dari
kekeliruannya sebagaimana al-Qur’an. Oleh karenanya, para sahabat khususnya
khulafa’ al-rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) dan sahabat lainnya,
seperti Al-Zubair, ibn Abbas dan Abu Ubaidah berusaha memperketat
periwayatandan penerimaan hadis.[19]
Abu
Bakar sebagai khalifah yang pertama
menunjukkan perhatiannya dalam memelihara hadis. Menurut Al-Dzahabi, Abu Bakar
adalah sahabat yang pertama kali menerima hadis dengan hati-hati. Diriwayatkan
oleh ibn Syihab dari Qabisah ibn Zuaib, bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu
Bakar soal bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu
tidak ditemukan hukumnya, baik dalam al-Quran maupun hadis. Al-Mughirah
menyebutkan bahwa, Rasul SAW memberinya
seperenam. Abu Bakar kemudian meminta supaya Al-Mughirahmengajukan saksi lebih
dahulu baru kemudian hadisnya diterima.[20]
Setelah
rasul SAW wafat Abu Bakar pernah mengumpulkan para sahabat. Kepada mereka ia
berkata:”kalian meriwayatkan hadis-hadis Rasul SAW yang diperselisihkan
orang-orang setelah kalian akan lebih
banyak berselisih karenanya. Maka janganlah kalian meriwayatkan hadis
(tersebut).[21]
Sikap
kehati-hatian juga oleh Umar ibn Khattab. Ia seperti halnya Abu Bakar, suka meminta
diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Akan tetapi untuk
masalah tertentu acapkali iapun menerima periwayatan tanpa Syahid dari orang
tertentu, seperti hadis-hadis dari Aisyah. Sikap kedua sahabat juga diikuti
oleh usman dan Ali. Ali, selain dengan cara-cara di atas, juga terkadang
mengujinya dengan sumpah.
2.
Periwayatan Hadis
dengan Lafaz dan Makna
Pembatasan
atau penyederhanaan periwayatan hadis ,yang di tunjukkan oleh para sahabat
dengan sikap kehati-hatiannya , tidak berarti hadis-hadis Rasul tidak
diriwayatkan.dalam batas-batas tertentu hadis-hadis itu diriwayatkan,khususnya
yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-harinya, seperti dalam
permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah
diteliti secara ketat pembawa hadis tersebutdan kebenaran isi matannya.
Ada
dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasul SAW. Pertama, dengan
jalan periwayatan lafzy (redaksinya
persis seperti yang disampaikan Rasul SAW), dan kedua, dengan jalan periwayatan
Maknawi (makna saja).
a.
Periwayatan
Lafzhi
Seperti
telah dikatakan, bahwa periwayatan Lafzhi, adalah periwayatan hadis yang
redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW ini hanya bisa dilakukan apabila mereka
hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.
Kebanyakan
sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar
periwayatan hadis sesuai dengan redksi dari Rasulullah SAW bukan menurut
redaksi mereka. Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan
periwayatan hadis dengan jalan lafzhi adalah Ibnu Umar. Ia sering kali menegur
sahabat yang membacakan hadis yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah
didengarnya terhadap Ubaid ibn amir. Suatu ketika seorang sahabat menyebutkan
hadis tentang Lima prinsip dasar islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan
ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada urutan keempat,
sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah SAW.
b.
Periwayatan
Maknawi
Diantara
para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena
tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW, boleh meriwayatkan hadis
secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya
tidak persis sama dengan yang
didengarnya dari Rasul SAW. Akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara
utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan
sedikitpun.
D.
HADIS
PADA MASA TABI’IN
Pada
dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh
kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka
, bagaimanapun mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya
saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para
sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain , usaha yang telah dirintis
oleh para sahabat, pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa Kekhalifaan
Usman para sahabat ahli hadis menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam.
Kepada merekalah para Tabi’in mempelejari hadis.
Ketika
pemerintah dipegang oleh Bani Umayah,
wilayah kekuasaan islam sampai meliputi Mesir,Persia, Iraq, Afrika Selatan,
Samarkand dan Spanyol, disamping Madinah, Mekkah, Basrah, Syam dan Khurasan.
Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan islam, penyebaran para
sahabat kedaerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga pada masa ini
dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (istisydar al-riwayah ila
al-amshdar).
1. Pusat-pusat
Pembinaan Hadis
Tercatat
beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat
tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut, ialah Madinah, Makkah,
Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi, dan Andalaus, Yaman dan Khurusan. Dari
sejumlah para sahabat pembina hadis pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang
yang meriwayatkan hadis cukup banyak, antara lain Abu Hurairah, Abdullah bin
Umar, Anas ibn Malik, Aisyah, Abdullah ibn Abbas, Jabir ibn Abdillah dan Abi
Sa’id Al-Khudri.[22]
2. Pergolakan
Politik dan Pemalsuan Hadis
Pergolakan
ini sebenarnya terjadi pada msa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan
dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan
berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam kedalam beberapa kelompok (Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan
mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut).
Langsung
atau tidak ,dari pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh
terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat
negatif, ialah dengan munculnya
hadis-hadis palsu (Maudhu’) untuk
mendukung kepentingan politiknya masing-masung kelompok dan untuk menjatuhkan
posisi lawan-lawannya.[23]
Adapun
pengaruh yang bersifat positif, adalah lahirnya rencana dan usaha yangmendorong
diadakannya kodifikasi atau tadwin
hadis, sebagai upaya penyelematan dari pemusnahan dan pemalsuan,sebagai akibat
dari pergolakan politik tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pengertian
hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah segala sesuatu yang
bersumber dari nabi SAW baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang
berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang di syariatkan
kepada manusia .
Para
sahabat menerima hadis (Syari’at) dari Rasul SAW ada kala langsung dari beliau
sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada
sesuatu soal yang dimajukan oleh seseorang lalu Nabi SAW menjawabnya, ataupun
karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakala tidak langsung yaitu
mereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka
menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk
bertanya, selain pada masa Rasulullah pertumbuhan hadis juga
terjadi pada masa sahabat Rasulullah dan pada masa tabi’in, yang bertujuan
untuk menjaga hadis Rasulullah yang merupakan sumber ajaran agama ke dua
setelah Al-qur’an.
B. Saran
sebagai umat islam hendaknya kita menjadikan hadis sebagai sunah Rasul
SAW yang harus kita jadikan landasan dan sumber ajaran agama islam, selain itu
kitapun harus mengetahui asal muasal petumbuhan dan perkembagan hadis dari
zaman Rasulullah SAW sampai munculnya ilmu hadis, Agar kita juga dapat
mengetahu bagaimana proses lahir dan tumbuhnya hadis ini, dari zaman Rasulullah
sampai masa Tabi’in seperti yang di bahas dalam makalah ini.
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun
makalah ini. Salawat dan salam dihaturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad
SAW atas perjuangan beliau kita dapat menikmati pencerahan iman dan islam dalam
mengarungi samudera kehidupan ini. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai
“Sejarah Pertumbuhan Hadis” dalam
rangka memenuhi tugas Ilmu Hadis.
Makalah ini telah dibuat berdasarkan hasil diskusi kelompok
kami. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa
masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu saya
mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun
saya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
kita semua.
Gowa Samata, 25
April 2014
Penyusun
Kelompok IV
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A.
Latar
Belakang ....................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah .................................................................................. 2
C.
Tujuan
.................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 3
A.
Pengertian
hadis...................................................................................... 3
B.
Hadis Pada Masa Rasulullah SAW......................................................... 3
C.
Hadis Pada Masa Sahabat....................................................................... 12
D.
Hadis Pada Masa Tabi’in........................................................................ 16
BAB III PENUTUP...........................................................................................
13
A.
Kesimpulan
............................................................................................ 13
B.
Saran
...................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... iii
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR
PUSTAKA
Tulisnya “Muhammedanische Studien”,Goldziher berhasil menambahkan
keragu-raguan kepada banyak orang islam sendiri terhadap sumber tasyri’ yang kedua ini,(Jakarta:INIS, 1988)
Syahraeni, “Kritik sanad dalam perspektif Sejarah” (Alauddin, samata 2011),
cet.ke- 1 hlm. 45 Penerbit: Bulan Bintang.
M. Hasbi Ash Shiddieqy “Sejarah
dan pengantar ilmu hadis” (Yogyakarta 1953), cet.ke-4 ,hlm. 47 Penerbit: Bulan
Bintang
Dr. Mushthafa Al-Siba’i, “Al-Sunnah Wa Makanatuha fi Al- Tasyri” Al- Islami,(Kairo: Dar
Al-Salam 1998), cet. Ke-1, hlm. 64
Ibnu hajar Al-asykalani, fath Al Bari,
jilid 1 (Beirut:Dar Al- Fikr Wa Maktabah Al-Salafiyah , t.t), hlm.150.
Mushthafa Al- Siba’i, cit., hlm.64-65
Prfo. DR. H. Abustani Ilyas. M,ag , DR.
La Ode Ismail Ahmad, M.th.i “Studi
ontologi, epistemologi, dan aksologi ;studi metodologi hadis” (Uin
Alauddin, samata 2011) cet. 1 hlm. 61.
Prof. DR.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy “Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis”(Jakarta,
Bulan Bintang, Kramat Kwitang) cet. Ke-4 hlm. 71
Prof. DR.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy “Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits.”(Jakarta,
Bulan Bintang, Kramat Kwitang), cet. Ke-4 hlm. 72
Prof. DR.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy “Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits”(Yogyakarta,
Bulan Bintang, Kramat kwitang) cet. Ke-4 hlm.73
M. Hasbih ash Shiddieqy “Sejarah dan pengantar ilmu hadis”., (Yogyakarta, Bulan Bintang
1953). Hlm. 51-52
Muhammad Jamal
Al- Din Al- Qasimi , “Qawa’id Al- Tahdits min Funun Musthalah Al-
Hadits” ,(Beirut: Dar Al- kutub Al-
Ilmiayah, 1979), hlm.72-74.
M. Hasbih ash Shiddieqy “Sejarah
dan pengantar Ilmu Hadis“ (Yogyakarta, Bulan Bntang 1953). hlm. 54
Ibnu Hajar Al- Asqalani, jilid 1 , op.cit., hlm 218.
Ajjaj al- Khathib,” Al sunnah Qabla Al- Tadwin” ,(Beirut:Dar
Al- Fikr, 1997) cet. Ke-6,, hlm 349 . Lihat juga Muhammad Mushthafa
Al-A’zhami hlm. 121-124.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibid., hlm.217.
Muhammad Mustafa Al-‘Azami, op.cit., hlm 129-130.
Lihat juga Ajjaj Al-Khatib, 1981, op. Cit., hlm.
348-360.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, jilid I,op.cit., hlm. 218
Al-Sayuthi,” Tadrib
Al-Rawifi syarh Taqrib Al-Nawawi”, Juz 2(Beirut Dar Al- Fikr, 1988), hlm.
67
Ajjaj Al-Khattib , “Al Sunnah Qabla Al-Tadwin”, op.cit., hlm.306
Ibid , hlm. 306-308
Imam Malik, Al-Muwaththa Kitab” Al-Jami’”(Hadis nomor 1.395).
Imam Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari Kitab
“Al Hadis Al-Anbiya’” (Hadis nomor
3.461)
Ajjaj Al-Khattib, “Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin”,op.cit., hlm:92-93
Al-hakim, op.cit.,
hlm.15.
Ajjaj Al-Khattib.op.cit., hlm.113.
[1] Tulisnya
“Muhammedanische Studien”,Goldziher berhasil menambahkan keragu-raguan kepada
banyak orang islam sendiri terhadap sumber tasyri’ yang kedua
ini,(Jakarta:INIS, 1988)
[2] Kritik sanad dalam
perspektif Sejarah (Alauddin, samata cet. 1 2011) hlm. 45
[3] Sejarah dan
pengantar ilmu hadis (Yogyakarta 1953),hlm. 47
[4] Dr. Mushthafa Al-Siba’i, Al-Sunnah Wa Makanatuha fi Al- Tasyri’ Al- Islami,(Kairo: Dar
Al-Salam 1998), cet. Ke-1, hlm. 64
[5] Ibnu hajar
Al-asykalani, fath Al Bari, jilid 1 (Beirut:Dar Al- Fikr Wa Maktabah
Al-Salafiyah , t.t), hlm.150.
[6] Mushthafa Al-
Siba’i, cit., hlm.64-65
[7] Studi ontologi, epistemologi,
dan aksologi ;studi metodologi hadis(Uin Alauddin, samata2011 cet. 1) hlm. 61.
[8] Pokok-Pokok Ilmu
Dirayah Hadis., hlm. 71
[9] Pokok-Pokok Ilmu
Dirayah Hadits., hlm. 72
[10] Pokok-pokok Ilmu
Dirayah Hadits., hlm.73
[11] Muhammad Jamal Al- Din
Al- Qasimi , Qawa’id Al- Tahdits min Funun Musthalah Al- Hadits
,(Beirut: Dar Al- kutub Al- Ilmiayah,
1979), hlm.72-74.
[12] Sejarah dan pengantar
Ilmu Hadis (Yogyakarta 1953)., hlm. 54
[14] Ajjaj al- Khathib, Al sunnah Qabla Al- Tadwin ,(Beirut:Dar Al- Fikr, 1997) cet. Ke-6,, hlm 349 . Lihat juga Muhammad Mushthafa
Al-A’zhami hlm. 121-124.
[15] Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Ibid., hlm.217.
[16] Muhammad Mustafa
Al-‘Azami, op.cit., hlm 129-130. Lihat juga
Ajjaj Al-Khatib, 1981, op. Cit., hlm. 348-360.
[17] Kitab Al-Jami’(Hadis nomor 1.395). Dalam Imam Malik, Al-Muwaththa
[18] Kitab Al Hadis Al-Anbiya’ (Hadis nomor 3.461) dalam Imam Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari
[19] Ajjaj Al-Khattib,
Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin,op.cit., hlm:92-93
[20] Al-hakim, op.cit., hlm.15.
[22] Ilmu hadis., hlm. 86
[23] Ilmu hadis., hlm 88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar