Perempuan Dalam Peradaban Islam
Banyak
sosok perempuan yang ikut berperan pada masa kehidupan Rasul, berjasa terhadap
perjuangan islam, dan memiliki kontribusi yang besar dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat, antara lain adalah:
Siti Aminah, Ibu Rasulullah. Ibn Ishaq menyebutkan, Aminah binti
Wahab adalah gadis Quraisy yang paling utama dari segi keturunan dan status.
Dr.Aisyah binti asy-Syath’i menyatakan, di masa kanak-kanak, Aminah tumbuh
dalam lingkungan keluarga yang terbaik, melekat padanya kemuliaan status sosial
dalam lingkungan masyarakat asristokrat. Ia putri terbaik bani Zuhrah di
kalangan suku Quraisy yang terpilih menjadi pendamping Abdullah ibn Abdul
Muthalib. Dari pasangan inilah lahir Muhammad SAW.
Khadijah. Di samping itu, ia memiliki kecantikan, kekayaan melimpah,
status sosial terhormat dan pengusaha yang sukses. Khadijah adalah istri yang
ideal yang senantiasa menyertai Muhammad dalam kondisi apapun.
Aisyah. Sebagai
istri Rasulullah SAW, yang sekaligus juga kepala negara, peran Aisyah tidak
terbatas pada hal domestik kerumahtanggaan. Sejarah mencatat bahwa para istri
Nabi selalu mendampingi Nabi ketika beroerang. Aisyah menjalankan peran ini
dengan penuh keikhlasan dan suka cita, ketika kebetulan beliau mendapat kesempatan
mendampingi Rasul. Perhatian Aisyah terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan
secara umum juga sangat besar. Salah satu buktinya adalah Aisyah mampu
memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang dikemukakan para sahabat.
Dan Hisyam bin Urwah pernah berkata: “Pada zamannya tidak ada orang yang
menandingi Aisyah dalam tiga bidang ilmu yaitu: ilmu fiqh, ilmu pengobatan dan
ilmu syair”.
Ummu Salamah. Tercatat dalam sejarah Ummu Salamah beberapa mendampingi
Rasul dalam peperangan seperti, Fath al Makkah (pembebasan Mekah),
Thaif, Lahwazan, Tsaqif, dll. Dia dikenal sangat tajam analisanya sering dan
memberikan advokasi dalam berbagai strategi perjuangan islam.
Fatimah putri Rasulullah. Sebagai putri bungsu Khadijah dan Muhammad, ia mewarisi kecerdasan,
sikap dan keberanian orang tuanya. Dalam beberapa peperangan, dia terlibat
sebagai tabib. Dalam beberapa riwayat disebutkan Fatimah sangat mirip
dengan Rasul, tentang hal ini Ali berkata; “saya belum pernah melihat seorang
ketika bertutur kata paling mirip dengan Rasul selain Fatimah”.
Para Sahabat Perempuan. Peperangan yang terjadi pada zaman Rasul tidak hanya diikuti
oleh sahabat laki-laki, tetapi tercatat juga para sahabat perempuan walaupun
tidak banyak tercatat nama-nama sahabat perempuan yang terlibat perang. Dalam
biografi yang ditulis ahli sejarah, selain para istri yang mendampingi Rasul,
juga ikut serta bersama antara lain: Ibn Sa’ad meriwayatkan,Ummu Sulaim ada
bersama Nabi pada saat perang Uhud dan perang Hunain dengan pisau belati di pinggangnya.
Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka’b, Humnah binti Jahsy juga terlibat dalam perang
Uhud yang berperan dalam logistik dan mengobati yang terluka. Syahidah
pertama dalam islam adalah Sumayyah binti Khubbat, seorang perempuan yang
dibunuh Abu jahal di Mekkah, karena tidak mau melepaskan islam.
A. Peranan
Perempuan di Masa Khulafaur Rasyidin
1) Aisyah
Aktivitas
Aisyah dalam periwayatan hadits sudah dibahas dalam periode Rasul. Pada masa
khulafaur rasyidin, aktivitas publik Aisyah terus berlanjut. Ia sering
menyampaikan gagasan-gagasannya kepada para penguasa dalam urusan kenegaraan.
Pada masa pemerintahan Ali, Aisyah juga terlibat dalam peperangan, ketika
terjadi perpecahan politik dalam islam, yang dikenal dengan perang Jamal
(perang unta, karena Aisyah terjun ke medan perang menggunakan unta).
2) Ummu Salamah, istri Rasul
Ummu
Salamah merupakan turunan keluarga bangsawan yang dihormati. Sosok wanita yang
cantik, memiliki harga diri yang tinggi, dan cerdas. Ayahnya merupakan orang
yang terkenal kedermawanannya, sehingga dijuluki Zaadur Rokbi (pemberi
bekal kafilah).
3) Al-Khunasa
Ia
berasal dari keluarga Arab terpandang dan mulia, selain dikenal dengan
keperwiraan putra-putranya serta kepiawaian dirinya dalam berpuisi. Al-Khunasa
terlibat aktif bersama para muslimah lainnya, berjuang mengembangkan islam,
bahkan turut perang bersama-sama dengan keempat putranya. Ketika perang
Qadisiyah melawan Persia yang terjadi pada tahun ke-14 Hijriah. Al-Khunasa
berperang mendampingi putra-putranya yang sedang bertenpur. Ia memompa semangat
dan membangkitkan keberanian mereka.
Dia
adalah sosok perempuan yang tegar dan gigih memperjuangkan islam, juga figur
perempuan mulia yang mencintai dan setia terhadap saudaranya, istri dan ibu
yang tegas, selalu membiasakan putranya dengan kesabaran, kebajikan dan
keimanan bahkan mendorong anak-anaknya ke medan perang dan menerima syahid
anaknya denga ikhlas.
Pada
periode khulafaur rasyidin yang cukup singkat, belum banyak diungkapkan
nama-nama perempuan yang terlibat dalam berbagai peran publik, seperti dalam
peristiwa pembaiatan para khulafaur rasyidin, padahal baiat ini merupakan
sunnah yang lurus dan dapat diamalkan, tidak dikenal dalam berbagai kajian
kontemporer, tentang berbagai pemahaman politik, yang merupakan refleksi budaya
yang berasal dari barat, dalam upaya mereka memahami khazanah peninggalan
peradaban islam.
B.
Kedudukan Perempuan di Masa Dinasti Mamluk
Di
kalangan Dinasti Mamluk di Mesir (1250-1517), mempunyai tradisi memelihara harem-harem
dengan jumlah besar, disamping banyaknya istri. Barangkali hal ini
mengekspresikan kelas dan kekuasaan seorang pria. Dengan adanya persaingan
intrinsik dalam situasi mereka, istri berlomba-lomba meraih posisi dan status
yang lebih tinggi dari selir-selir lainnya, sehingga selir tersebut mencapai
keamanan.
Nama-nama
wanita yang disebutkan dalam hampir 30% dari dokumen-dokumen Waqf yang
masih ada hingga kini, umumnya berperan sebagai administrator. Penyebutan
nama-nama wanita sebagai administrator barangkali luar biasa tinggi di kalangan
Mamluk. Karena hubungan khusus yang tercipta tersebut, banyak beberapa harem
yang bergelimang harta, diberi tanah dan berhak menikmati pungutan pajak
darinya. Kaum wanita dari kelas ini seringkali menguasai kekayaan yang sangat
banyak jumlahnya dan kadang-kadang harus mengelola kekayaan mereka sendiri.
Di
samping itu, wanita-wanita Mamluk mengurus rumah tangga mereka sendiri, yang
berupa rumah besar. Seorang putri mempunyai tujuh ratus staf rumah tangga. Staf
rumah tangga seluruhnya terdiri atas wanita, termasuk bendahara dan pengawas
umum. Seperti kaum pria, kaum wanita di kelas ini menetapkan berbagai sumbangan
untuk sekolah, penginapan, mausoleum dan mengadakan sumbangan-sumbangan untuk
kepentingan budak-budak perempuan mereka.
C.
Kedudukan Perempuan di Masa Dinasti Safawi
Kehidupan
perempuan di Persia pada umumnya di abad pertengahan tampaknya sama dengan yang
dialami oleh sebagian besar perempuan di belahan dunia lainnya. Peranan mereka
ditentukan oleh adat-istiadat, gaya hidup, dan minimnya keterlibatan mereka
dalam ekonomi. Terdapat empat hal yang menentukan kedudukan perempuan, yaitu:
adat-istiadat dan hukum yang mengatur perkawinan, khususnya yang membolehkan
poligami,perseliran dan perceraian sepihak oleh suami. Kedua, pemingitan bagi perempuan.
Ketiga, hak peempuan untuk memiliki kekayaan dan keempat, posisi perempuan
dalam sistem kelas sosial.
D.
Kedudukan Perempuan di Masa Dinasti Mughal
Pada
masa pemerintahan Dinasti Mughallah perempuan India menikmati kebebasan yang
berdasar keadilan dari ajaran agama islam. Perempuan dimuliakan kedudukannya
dan pendapatnya dihormati. Pada masa Shah Jehan dibangun makam yang megah untuk
istri tercintanya yang wafat dan diberi nama Taj Mahal. Perempuan memperoleh
hak-haknya sebagai pribadi dan anggota masyarakat.
Namun
demikian, suasana umum dari kedudukan perempuan di masa ini masih belum
seluruhnya baik. Agama sinkretisme yang dikembangkan sering bertentangan dengan
ajaran islam, seperti dikeluarkannya larangan untuk mandi junub dan dilarang
kawin dengan sepupu atau famili dekat karena merusak cinta kasih.
E. Bidang
Pemberdayaan Perempuan di Masa Turki Ismani dan Turki Usmani
Kaum
perempuan di wilayah kekuasaan Dinasti Usmani memiliki keterlibatan dalam
berbagai aktifitas publik dan akses untuk mengaktualisasikan hak-hak
kepemilikan mereka. Mereka tidak hanya berhak aktif di forum umum, mereka
membuka peluang untuk menjadi partisipan di dunia usaha. Berbagai data
menunjukkan bahwa banyak perempuan yang terlibat dalam dunia usaha. Mereka
cenderung lebih banyak menjadi penjual dari pada pembeli. Statistik volume
transaksi jual beli di wilayah kekuasaan dinasti usmani menunjukkan bahwa
aktifitas mereka sebagai penjual tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan
aktifitas pembelian mereka. Namun keterlibatan mereka di sektor usaha ini tidak
dapat mengimbangi intensitas kelompok laki-laki. Setidaknya dengan menunjukkan
adanya akses bagi perempuan untuk memasuki kegiatan usaha. Hal senada juga
dikemukakan oleh Gokalp untuk mereduksi kebudayaan Turki dalam berbagai aspek.
Ia memprakarsai persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, sehingga mereka
dapat berperan untuk kemajuan bangsa mereka.
Dalam
bidang pendidikan, perempuan Turki cukup mendapat perhatian, tuntutan terhadap
pentingnya pendidikan semakin meningkat. Meningkatnya kebebasan keuangan
perempuan terdidik Turki, membawa pengaruh terhadap hubungan perkawinan dan
kekeluargaan, seperti masalah poligami dalam struktur masyarakat islam dianggap
sebagai kelaziman sosial. Data sejarah tentang kasus poligami di Turki abad
XVII, menunjukkan bahwa dari sekitar dua ribu kelas menengah, hanya dua puluhan
saja yang melakukan poligami.
Mustafa
Kamal juga mengajukan dan melakukan reformasi, termasuk untuk pemberdayaan
perempuan dalam bidang politik dengan memberikan hak untuk memilih dan dipilih
sebagai anggota parlemen sejak bulan Desember 1934. Kantor-kantor pemerintah
dan organisasi sosial menaruh perhatian dalam melakukan program kesejahteraan
sosial. Beberapa organisasi perempuan aktif dalam kerja sosial untuk meningkatkan
pemberdayaan, kedudukan dan kesejahteraan perempuan. Hal tersebut tidak mereka
peroleh pada masa sebelumnya.
F. Peranan Wanita dalam Pendidikan
Musthafa
Kamil seorang tokoh penggerak kebebasan Mesir, pada masa 1900-an mengatakan
bahwa ilmu adalah unsur paling penting yang harus dimiliki oleh elemen
masyarakat, karena ilmu adalah satu-satunya penyelamat dari jurang kebodohan.
Wanita adalah bagian dari masyarakat, ia memiliki peran penting dalam ikut
serta membangun masyarakat. Setiap elemen masyarakat, entunya memiliki
tanggungjawab besar untuk memajukan dan mengembangkan kehidupan masyarakat.
Perkembangan dan kemajuan suatu masyarakat tidak akan tercapai jika tidak
menyandarkan asasnya pada wanita, hal itu karena wanita tidak hanya menjadi
setengah dari masyarakat akan tetapi wanita bahkan menjadi pengasuh dan
pengayom bagi semua masyarakat. Hal ini seirama dengan keyakinan masyarakat
umum, bahwa peran pengayoman dan pendidikan anak disandarkan atau diserahlan
pada wanita. Oleh karena itu, wanita sebagai unsur masyarakat harus memiliki
keahlian dan ilmu pengetahuan, dimana keduanya itu hanya bisa ditempuh melalui
jalur pendidikan. Wanita berpendidikan memiliki kemampuan lebih dalam ketika
mengetahui sesuatu dibanding laki-laki. Kelebihan dan kemampuan itulah yang
pada akhirnya akan memikat laki-laki. Namun jika wanita tidak memiliki
kelebihan dan kemampuan tersebut, maka ia akan dicampakkan oleh laki-laki. Hal
ini terbukti dalam sejarah bagaimana kaum adam memarjinalkan atau menelantarkan
kaum hawa yang tidak berpendidikan.
Pendidikan
bagi wanita yang diberikan sejak dini akan berdampak positif bagi terciptanya
kehidupan rumah tangga yang baik. Seorang wanita yang terdidik untuk membaca,
menulis, menghitung dan sebagainya akan menjadikan dia mampu mengimbangi dan
mendampingi kemampuan yang dimiliki laki-laki. Disinilah Rifa’ al-Thatawiy
mengusung tentang pentingnya pendidikan bagi kaum hawa dengan memberikan
kebebasan dan kesempatan sebagaimana kaum adam.
Menurut
Abduh, wanita dalam islam sebenarnya mempunyai kedudukan yang tinggi, akan
tetapi adat istiadat yang berasal dari luar islamiah yang mengubah hal itu,
sehingga wanita islam mempunyai kedudukan rendah di mata masyarakat. Dan ide
inilah yang di kupas Qasim Amin dalam bukunya Tahrir Al-Mar’ah. Menurut pendapatnya,
umat islam mundur karena kaum wanita yang berasal dari negara Mesir separuh
dari mereka yang tidak memperoleh pendidikan sekolah. Pendidikan wanita sangat
diperlukan bukan hanya agar mereka bisa mengatur rumah tangga dengan baik, akan
tetapi lebih dari itu, yaitu agar mereka bisa memberikan pendidikan dasar bagi
anak-anak mereka.
Masyarakat
Mesir memang pada awalnya seakan tidak memberlakukan dan tidak memperdulikan
pendidikan bagi kaum wanita. Mereka, wanita Mesir, hanya dianggap sebagai “wanita
rumahan” yang tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya dianggap sebagai pelayan dan
bagi kaum laki-laki. Wanita dijadikan pelengkap saja. Jadi, kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan dalam dunia pendidikan memang benar-benar diabaikan.
Mereka seakan-akan tidak perlu untuk dibekali pendidikan tinggi.
G. Peranan
Wanita dalam Wilayah Politik dan Ekonomi
Pada
abad ke-XVII M, kolonialisme dengan kekuatannya mampu menguasai perekonomian
dan politik dunia, khususnya di Timur Tengah. Pada awal abad itu pula, kaum hawa
telah memberikan peranannya di segala bidang, terutama pertanian. Sebagaimana
yang terjadi di Mesir dan Syuria. Masa pasca perang dunia, pergolakan
nasionalisme dan kebebasan wanita menjadi tema utama pada abad tersebut.
Gerakan wanita yang menuntut hak dan persamaan dalam bidang keagamaan, sosial,
politik dan hak di parlemen telah dikumandangkan sejak tahun 1923 M.
Bagi
Abdul Wahab, ia menganggap tempat wanita itu di rumah (mengerjakan tugas rumah
tangga) dan negara (berkativitas dalam kancah politik) itu merupakan
keluarganya dan pekerjaan yang ia lakukan semata-mata untuk menyambung
kehidupan dan demi menolong dirinya, suami dan anak-anaknya. Oleh karenanya,
tidak ada suatu masalah apapun tentang dunia politik dan ekonomi bagi kaum
perempuan, selama wanita tersebut sudah melaksanakan kewajibannya di rumah
sebelum terjun ke dunia luar.
Muhammad
Abduh menegaskan bahwa kebebasan ekonomi dan politik sesuai dengan asas hukum
islam. Bagi Muhammad Abduh, islam telah menganjurkan umatnya tanpa membedakan
antara laki-laki dan wanita untuk memproduksi segala bentuk barang yang
dibutuhkan oleh kehidupan masyarakat. Anjuran itu bersifat fardhu kifayah.
Islam juga menganjurkan umatnya, baik laki-laki maupun wanita untuk
memperjualbelikan hasil produksinya.
Qasim
Amien yang goal menyuarakan pendidikan bagi wanita mengatakan bahwa
tidak ada satu penghalang pun bagi wanita Mesir untuk menyibukkan diri mereka
dengan pekerjaan, perdagangan, kesenian, ketrampilan dan sebagainya sebagaimana
wanita barat, kecuali kebodohan dan ketidakpedulian terhadap pendidikan mereka.
Para pemikir islam, seperti halnya Qasim Amin, menyatakan bahwa tidak ada satu
hal pun yang melarang para perempuan Mesir untuk melakukan kesibukan dan
melakukan segala jenis pekerjaan di luar rumah, sebagaimana wanita-wanita
barat. Oleh karenanya, begitu pentingnya bagi mereka untuk mengetahui lebih
dalam tentang segala macam ilmu pengetahuan, agar bisa dan mampu bergerak di
segala bidang, baik itu bidang ekonomi, pendidikan, perdagangan, kesenian dan
lain sebagainya. Karena menurutnya kebodohanlah yang sebenarnya melarang dan
membelenggu para perempuan tersebut melakukan aktifitasnya dan kebodohan itulah
yang menghalangi gerak-geriknya di dunia bebas. Wanita sebagai warga negara
tentu memiliki kewajiban untuk membangun negara sebagai rasa cinta terhadap
tanah air. Kontribusi anak bangsa kepada negara tentu disesuaikan dengan
kekuatan dan kemampuan yang dimiliki. Peran penting kaum hawa dalam
keberlangsungan negara bisa dimasukkan dalam bidang politik, ekonomi dan
sebagainya.
Kalau
kita berbicara tentang ekonomi dan politik, maka pikiran kita akan diajak untuk
berpikir tentang suatu hal yang keras dan hanya bisa dilakukan oleh kaum
laki-laki. Memang hal itulah yang dianggap sebagian besar penduduk dunia, oleh
karenanya merasa perlu untuk menjauhkan semuanya dari wanita, karena mereka
menganggap seorang wanita tidak akan mampu terjun dalam dunia politik. Wanita
yang menurut mereka lemah tidak akan mampu terjun dalam dunia politik yang
keras. Dalam kondisi yang sangat diperlukan, seorang wanita pada masa Nabi juga
bisa untuk bergerak menyamai laki-laki, sebagaimana keikutsertaan sebagian
wanita-wanita muslimah berjihad ke medan perang. Dan hal itu tidak akan
mengurangi identitas mereka sebagai muslimah yang kaffah (sempurna).
Oleh
karenanya, tidak ada larangan bagi kaum wanita untuk bekerja di luar rumah,
berkiprah di dunia politik menyamai laki-laki. Sekalipun di sana ada sedikit
batasan-batasan bagi wanita muslimah yang mengharuskan dirinya terjun ke dunia
luar seperti halnya politik dan ekonomi. Bagi mereka yang sudah bersuami,
diharapkan izin dari suaminya dan juga tidak melalaikan tugas-tugasnya sebagai
ibu rumah tangga, seperti mendidik anak dan melayani suami, dan di luar sana ia
harus mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya. Dan bagi seorang wanita
single diharapkan ada persetujuan dari orang tuanya dan ia bisa
mempertanggungjawabkan pekerjaan itu, baik bagi dirinya dan keluarganya serta
bisa menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya.
Sebenarnya
islam sangat mudah dan tidak menyulitkan pemeluknya. Dan yang paling penting
bahwa islam mulai dari awal diturunkannya sampai saat ini telah memberlakukan
dan mengangkat derajat dan hak-hak kaum wanita. Sekalipun kadang-kadang masih
banyak dari hak-hak kaum perempuan tersebut dijadikan sebagai “batu loncatan”
penghancur islam oleh musuh-musuhnya dengan tafsir, penilaian dan tanggapan
yang salah terhadap islam dan al-Qur’an.
H.
Kepemimpinan Perempuan
Kepemimpinan
merupakan sebuah terma yang tidak bisa dinafikan dalam kancah sosial, dengan
piranti inilah sebuah tatanan sosial mampu diciptakan dengan tertib. Dari titik
tolak ini, figur pimpinan menjadi sorotan tajam dari semua pihak, sehingga
pola, karakter, kapabel dan kemampuan menjadi sisi-sisi urgen untuk menentukan
sosok pemimpin. Sebenarnya tidak ada kriteria yang sulit dalam permasalahan
ini. Tapi yang menjadi kendala adalah bagaimana pemimpin mampu memimpin,
mengayomi dan memberi solusi atas problematika yang ada. Maka, keahlian
pemimpin menjadi tuntutan keras dalam mewujudkan cita-cita ini. Karena dengan
keahlian dan kemampuanlah pemimpin bisa menjadi tetap eksis dalam dunianya dan
mempunyai kharisma di semua lini kehidupannya.
Jika
membicarakan perihal kepemimpinan, tidak bisa luput dari nuansa-nuansa sosial
politik, karena entitas inilah yang mampu menciptakan dan mengatur segala
urusan-urusan yang ada. Sebenarnya, dalam permaslahan wanita dan politik sudah
ada sejak zaman nabi, bahkan pemeberian hak berpolitik sudah diberikan langsung
oleh al-Qur’an kepada wanita.
Dalam
perbedaan dunia politik, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Semua
sama-sama mempunyai hak untuk berpolitik, bahkan sampai dalam medan peperangan.
Pada zaman sahabat, banyak terjadi wanita-wanita ikut berpartisipasi dalam
medan peperangan seperti saudara wanitanya Umar bin Khatab. Dalam sejarah
dipaparkan bentuk perjuangan yang dilakukan wanita untuk memperjuangkan islam,
baik dalam bentuk materi ataupun non materi. Adapun wanita yang ikut serta
dalam hal ini adalah Samiyyah, sosok ini bergabung dalam hijrah dari Habasah ke
Yatsrib, selain itu ia juga ikut serta dalam bai’ah aqabah pertama dan
kedua.
Di
sisi lain, ditemukan juga seorang pahlawan wanita yang menjadi pemimpin
peperangan, walaupun akhirnya meninggal dunia ditengah medan peperangan didepan
mata suaminya sendiri. Akhirnya, suaminya pun menyusul dengan mati syahid di
jalan Allah SWT. Yang menjadi pertimbangan, bahwa mereka juga ikut peduli
dengan fenomena sosial yang bergejolak dengan keikutsertaannya berpartisipasi.
Tapi, ironisnya sejarah emas mereka tidak diketahui di khalayak umum. Banyak
kelompok yang menyeruka supaya mengaplikasikan nilai-nilai keislaman. Baik
dalam permasalahan sosial, ekonomi, negara dan perpolitikan. Tapi yang menjadi
permasalahan, mereka tidak mampu menciptakan balancing dalam nilai-nilai
islam itu sendiri. Karena secara umum, justru mereka membatasi ruang lingkup gerak
wanita. Mereka tidak memberi kesempatan kepada wanita untuk ikut serta dalam
dunia pemerintahan ataupun parlemen.
Di
pihak lain, jika memang para kelompok masih kuat melarang wanita untuk terjun
ke dunia politik atau menahannya menjadi seorang pemimpin dengan alasan hadits ”tidak
akan berhasil suatu kaum jika kaum itu dipimpin seorang wanita”, maka perlu
dicermati ulang karena kadang hal-hal yang selama ini kita percaya ternyata
adalah hal-hal yang harus dijauhi. Lebih jelasanya, bahwa hadits ini diriwayatkan
Bukhari, dari Abu Bakrah Ra. berkata:
“Semoga Allah memeberi manfaat kepadaku dari kalimat yang
saya dengar dari Rasulullah Saw. pada hari Jamal, setelah saya bersusah payah
menyusul ashabul jamal untuk berperang bersama mereka, sahabat berkata: ketika
Rasulullah Saw. datang, penduduk Persi dipimpin oleh anak wanita Kisra.
Rasulullah Saw. berkata tidak akan berhasil suatu kaum jika kaum itu dipimpin
seorang wanita”.
Selanjutnya,
jika memang hadits ini benar, maka kita pun tidak bisa menganalogikan dengan
masa sekarang, karena hadits ini diperuntukkan kepada pemimpin Roma kala itu,
yang mana pada saat itu raja Roma meninggal dunia dan digantikan dengan
putrinya yang bernama Nauran binti Kisra. Dari fenomena ini Rasulullah Saw.
menyatakan haditas yang mana telah disebutkan diatas. Di sisi lain, jika memang
hadits ini benar-benar sahih, itupun tidak bisa dijadikan landasan syari’at
karena turunnya hadits tersebut dikhususkan kepada kondisi saat itu yang tidak
masuk pada had, etika dan ibadah. Maka statemen “in saha al Hadits
fahuwa madzhabi” tidak bisa dijadikan sebagai kaidah dalam permasalahan
ini.
Selain
itu, hadits diatas adalah hadits infirad. Karena terdapat perawi yang
bernama “Abu Bakrah”, yang mana perawi ini pernah melakukan persaksian bohong
dalam permasalahan zina yang ditunjukan kepada sahabat Mughirah bin Syu’bah
pada zaman Khalifah Umar bin Khatab. Kesimpulannya haditas yang selama ini
digembor-gemborkan oleh kelompok-kelompok misognis (sebuah kelompok yang merendahkan
harkat dan martabat wanita) adalah hadits yang tidak bisa dipertanggung
jawabkan kebenarannya. Karena terdapat satu perawi yang bohong.
Alasan
lain yang mengindikasikan mereka untuk mengharamkan wanita menjadi pemimpin
adalah dalam Firman Allah Swt:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah
lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS.An-Nisa:34).
Mereka
(interprener) menyatakan bahwa wanita berada dibawah laki-laki. Maka, laki-lakilah
yang mempunyai tanggung jawab dan wajib memelihara wanita, artinya wanita harus
runduk patuh dan dilarang menjadi pemimpin terhadap laki-laki. Maka dari itu,
mereka mengambil kongklusi, bahwa kaum hawa tidak punya hak untuk menjadi
pimpinan terhadap kaum adam. Sebenarnya, penafsiran ayat ini perlu didaur
ulang. Karena, bila pemahamannya seperti, seakan-akan terjadi penyetiran makna
dan maksud dalam pemahaman ayat ini.
Perlu
dipahami, “al-qawwamah” mempunyai maksud hanya pada tataran tanggung
jawab sebagai pemimpin dalam sebuah keluarga. Sebagaimana yang diceritakan
Rasulullah Saw., “Laki-laki terhadap keluarganya adalah pemimpin dan dia
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. Artinya hendaklah
seorang istri taat dan mempunyai etika terhadap suaminya. Adapun kepemimpinan
laki-laki terhadap perempuan yang termaktub dalam al-Qur’an hanyalah difokuskan
dalam konteks keluarga saja. Pernyataan ini tidak ada perbedaan pendapat yang
sudah tertera dalam syari’at dan kehidupan sehingga menuai kemaslahatan di
kedua belah pihak.
Dalam
ayat tersebut juga menunjukkan kepada pemberian mahar dan nafkah dari suami
kepada istri, dengan firman Allah yang artinya “dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. Ayat ini juga mengisyaratkan
kewajiban terhadap suami untuk mengemban amanh dengan firman Allah “maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah Swt. lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah memelihara mereka”. Dan ayat
ini memberi isyarat atas kekuasaan suami terhadap istri dengan firman Allah SWT
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka”. Maka ayat
ini menunjukkan bahwa yang dimaksud “kepemimpinan” disini adalah kepemimpinan
suami terhadap istrinya, bukanlah kepemimpinan yang bersifat pada kekuasaan
umum seperti kepala negara, qadha’ dan lain sebagainya.
Kelayakan
wanita mempimpin hal-hal yang khusus, seperti mengemban wasiat atas anak yatim
dan diperbolehkannya menjadi pengawas terhadap harta waqaf, karena mereka (para
wanita) mampu mengemban tugas-tugas yang dibebankan mereka. Maka dari itu,
seorang wanita diperbolehkan memimpin hal-hal yang bersifat umum juga. Dengan
catatan mereka (para wanita) mampu melaksanakan tugas-tugasnya. Dari sini,
tidak ada pengaruh apakah kepemimpinannya bersifat umum atau khusus dan yang
menjadi fokus utama adalah kemampuan seorang wanita melaksanakan kewajibannya.
Dari uraian diatas, tidak ada larangan terhadap wanita untuk menjadi pemimpin,
baik pemimpin formal atau non formal, negara sekalipun dengan syarat mereka
mampu mengemban amanah yang ada dengan kapabilitas yang mereka miliki. Jika
melihat realitas pemerintahan sekarang, kebanyakan menggunakan sistem pemerintahan
yang demokrasi dibawah pengawasan parlemen atau diwakilidengan para
menteri-menteri. Artinya, urusan-urusan yang ada tidak ditanggung secara mutlak
oleh seorang pemimpin.
Sebenarnya
dalam permasalahan kepemimpinan (menjadi Qadhi) terdapat perbedaan
pendapat antara para ulama. Pendapat pertama, (seperti mayoritas ulama
Maliki, Syafi’i, Hanbali, Syi’ah Imamiyyah, Syi’ah Zaidiyyah dan Ibadiyyah)
menyatakan bahwa syarat pemimpin harus laki-laki, maka haram bagi wanita
menjadi pemimpin dalam sebuah Qadhi, baik dalam kasus harta benda, qishash dan
pidana. Jika wanita tetap memimpin dalam sebuah Qadha’ maka hukumnya adalah
dosa. Pendapat kedua, (dari madzhab Hanafi) menyatakan diperbolehkan
seorang wanita memimpin dalam sebuah Qadha’, tapi dalam kasus-kasus yang
diperbolehkannya menjadi saksi yaitu selain qishash dan tindak pidana. Artinya,
laki-laki dalam sebuah kepemimpinan bukan menjadi syarat kecuali dalam masalah
hukuman pidana dan qishash. Adapun selain tindak pidana,wanita boleh menjadi
pemimpin. Pendapat ketiga, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Qayim dari
mazhab Maliki, Hasan Basri, Ibnu Hazm al-zhahiri. Ibnu Hazm menyatakan bahwa
laki-laki bukanlah syarat untuk menjadi qadhi. Artinya, wanita diperbolehkan
menjadi pemimpin qadha’ (hakim) di dalam segala urusan sampai dalam urusan
qishash dan pidana. Karena menurutnya seorang wanita diperbolehkan menjadi
saksi tindak pidana dan qishash.
Dari
rancang bangun ini, walaupun secara ijma’ menyatakan dilarangnya wanita menjadi
pemimpin negara atau gubernur, tapi dengan beberapa alasan diatas wanita tetap
bisa menjadi pemimpin dalam tataran kekuasaan umum atau khusus. Jadi, wanita
muslimah tetap mempunyai hak untuk dipilih dan memilih, menjalankan tugas agung
pada suatu kenegaraan dan bahkan menjadi kepala negara. Selain itu, wanita
tetap mempunyai hak untuk ikut serta dalam shalat jama’ah bersama laki-laki,
kepemimpinan syari’at dengan catatan mereka mampu melakukannya.
SUMBER
BACAAN REFERENSI:
- Ali,Mukti.”AUFKLARUNG ISLAM Dialektika Agama, Politik dan Kolonialisme”.2007. Atase Pendidikan dan Kebudayaan: Kairo.
- Shaleh,Nur Ihsan. “Saatnya Wanita Memilih,Upaya Syariat Melindungi Martabat”.2007. Atase Pendidikan dan Kebudayaan: Kairo.
- Lubis, Dr.Amany dkk.”Sejarah Peradaban Islam”.2005.Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar