Minggu, 14 Desember 2014

Makalah Aqidah Akhlak, Akhlak dan Fungsinya dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara




MAKALAH
Akhlak dan Fungsinya dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara
 (Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah aqidah akhlak)



 


Oleh Kelompok I (Satu)
Ketua       : Andi Nurmansyah Ramdan
Sekertaris : Sri Susanti
Anggota    : Sari Fatimah Mus      Azizah Rahmadani B
                              Indah puspitasari        Ftriani. F
Fitriani                        aswinaldy A,R
Idris Affandi               Hendry Ardi

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Program Studi Akuntansi
Tahun Akademik 2013/2014






BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar belakang
Manusia merupakan makhluk yang sangat rentang digoda oleh setan. Oleh karena itu, manusia harus memiliki sesuatu yang dapat menjadi pegangan dalam hidupnya. Jawabannya ialah aqidah. Aqidah baik sangatlah diperlukan dalam kehidupan agar kehidupan tidak berjalan seperti layaknya kehidupan dijaman jahiliyah.
Aqidah adalah salah satu syarat dalam islam yang mana setiap umat muslim harus meyakini adanya Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir dan qadha dan qadhar. Dan semua makhluk yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Allah SWT.
Untuk mewujudkan itu tentunya kita harus mengetahui ruang lingkup aqidah. Tentunya tidak hanya sekedar mengetahui ruang lingkup, juga mesti mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari baik dari individu, keluarga, masyarakat, dan sosial agar terciptanya insan yang bernafaskan iman islam.
Dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah aqidah yang benar terhadap alam dan kehidupan, karena akhlak tersarikan dari aqidah dan pancaran dirinya. Oleh karena itu, jika seseorang beraqidah dengan benar, niscaya akhlaknya pun akan benar, baik dan lurus. Begitu pula sebaliknya, jika aqidah salah dan melenceng maka akhlaknya pun akan tidak benar. Aqidah seseorang akan benar dan lurus jika kepercayaan dan keyakinannya terhadap Allah juga lurus dan benar.
Modernisasi zaman yang semakin berkembang dari waktu ke waktu menutut manusia untuk memahami akhlak secara essensial , dalam arti bahwa manusia memahami akhlak bukan hanya sebagai sikap / perilaku saja . Melainkan , akhlak tersebut di implementasikan dalam kehidupan sehari – hari .
Dalam bahasan kami kali ini adalah akhlak dalam hidup berbangsa dan bernegara , akhlah ini perlu untuk disadari oleh kita agar kita dapat menjadi semakin sensitif terhadap persoalan yang terjadi pada bangsa dan negara kita. Bukan hanya Hal ini didorong dengan kekhawatiran akan bobroknya generasi kita , apabila tidak dibekali dengan pengetahuan tentang akhlak yang cukup , untuk menjalani kehidupan kedepannya.
Sangat pentingnya pembahasan tentang aqidah inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengulas sedikit tentang aqidah dalam kehidupan, terutama dalam hidup berbangsa dan bernegara.

B.     Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apakah pengertian atau defenisi dari akhlak ?
2.      Apa saja akhlak yang perlu dilakukan dalam hidup berbangsa dan bernegara?
3.      Bagaimanakah pemimpin yang baik untuk suatu negara menurut islam?
4.      Bagaimanakah hubungan antara pemimpin dan dipimpin yang baik ?
B.     Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini yaitu antara lain:
1.      Agar pembaca mampu mengetahui apa pengertian dari akhlak.
2.      Agar pembaca dapat memahami apa saja akhlak-akhlak yang dilakukan dalam hidup berbangsa dan bernegara.
3.      Agar pembaca dapat mengetahui bagaimanakah pemimpin yang baik untuk suatu Negara menurut islam.
4.      Agar pembaca dapat mengetahui hubungan yang baik antara pemimpin dan yang dipimpin.




D.    Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dengan dibuatnya makalah ini yaitu antara lain :
1.     Pembaca dapat mengetahui apa pengertian dan defenisi dari akhlak.
2.     Pembaca  dapat mengetahui apa saja akhlak yang perlu dilakukan dalam hidup berbangsa dan bernegara.
3.     Pembaca dapat mengetahui kriteria bagaimana yang baik unuk seorang pemimpin menurut islam.
4.     Pembaca dapat memahami hubungan baik anatar pemimpin dan yang dipimpin.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Akhlak
 Sebelum membahas mengenai bagaimana akhlak dalam hidup berbangsa dan bernegara alangkah lebih baiknya jikalau kita mengetahui terlebih dahulu apa itu pengertian atau defenisi dari akhlak sebelum lanjut ke pembahasan yang sebenarnya dari makalah ini.
Akhlak merupakan sikap / tabiat dari seseorang . Dalam akhlak bernegara , tentunya menggambarkan sikap seseorang terhadap bangsa dan negaranya , sikap tersebut menunjukkan jati diri dari orang tersebut .
Pengertian lain dari akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural, dan refleks. Jadi, jika nilai islam mencakup semua sektor kehidupan manusia, maka perintah beramal shalih pun mencakup semua sektor kehidupan manusia.
Tentunya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan pengertian akhlak bernegara ini untuk membuat diri kita ‘kebal’ terhadap kebatilan yang nantinya akan menggoda iman kita , dalam melaksanakan bakti kita kepada Negara.

B.    Akhlak yang Dilakukan dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara
Berkenaan dengan akhlak dalam bernegara, maka akan terlihatdengan sikap dan perilaku yang dilaksanakan dengan, sebagai berikut.
1.      Musyawarah
Kata ( شورى ) Syûrâ terambil dari kata ( شاورة- مشاورة- إستشاورة) menjadi ( شورى ) Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.

Adapun salah satu ayat dalam Al – Qur’an yang membahas mengenai Musyawarah adalah surah Al-Syura ayat 38:

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)

Dalam ayat diatas , syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam dituturkan setelah iman dan shalat . Menurut Taufiq asy-Syawi , hal ini memberi pengertian bahwa musyawarah mempunyai martabat setelah ibadah terpenting , yakni shalat , sekaligus memberi pengertian bahwa musyawarah merupakan salah satu ibadah yang tingkatannya sama dengan shalat dan zakat . Maka masyarakat yang mengabaikannya dianggap sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah satu ibadah .

Memang , musyawarah sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan yang paling baik disamping untuk memperkokoh rasa persatuan dan rasa tanggung jawab bersama . Ali Bin Abi Thalib menyebutkan bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu , mengambil kesimpulan yang benar , mencari pendapat , menjaga kekeliruan , menghindari celaan , menciptakan stabilitas emosi , keterpaduan hati , mengikuti atsar.

a.       Hal – Hal yang Boleh di Musyawarahkan
Islam memberikan batasan – batasan hal – hal apa saja yang boleh dimusyawarahkan . Karena musyawarah adalah pendapat orang, maka apa – apa yang sudah ditetapkan oleh nash (Al – Qur’an dan As-Sunnah) tidak boleh dimusyawarahkan , sebab pendapat orang tidak boleh mengungguli wahyu.

b.      Tata Cara Musyawarah
Rasulullah mempunyai tata cara bermusyawarah yang sangat bervariasi ; (1) Kadang kala seseorang memberikan pertimbangan kepada beliau , lalu beliau melihat pendapat itu benar , maka beliau mengamalkannya (2) Kadang – kadang beliau bermusyawarah dengan dua atau tiga orang saja (3) Kadang kala beliau juga bermusyawarah dengan seluruh massa melalui cara perwaklian .

Dari beberapa tata cara bermusyawarah Rasulullah diatas kita dapat menyimpulkan bahwa tatacara musyawarah , anggota musyawarah bisa selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman , tetapi hakekat musyawarah harus selalu tegak ditengah masyarakat dan Negara .

Adapun hal – hal yang harus dimusyawarahkan dengan seluruh umat , baik  dimusyawarahkan dengan pemimpin (ulil amri) , ulama , cendekiawan , dan pihak - pihak berkompeten lainnya , tetapi tetap dan tidak boleh tidak harus dengan semangat kebenaran dan kejujuran . Yang dicari dalam musyawarah adalah kebenaran bukan kemenangan .

c.       Sikap Bermusyawarah
Supaya musyawarah dapat berjalan dengan lancar dan penuh persahabatan , firman Allah dalm surat Ali Imran ayat 159 :
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran : 159)
Dapat kita lihat Allah SWT mengisyaratkan ada beberapa sikap yang harus dilakukan dalam bermusyawarah , yaitu sikap lemah lembut , pemaaf , dan memohon ampunan Allah SWT .
2.      Menegakkan Keadilan
Istilah keadilan berasal dari kata ‘adl (Bahasa Arab), yang mempunyai arti antara lain sama dan seimbang. Dalam pengertian pertama, keadilan dapat diartikan sebagai membagi sama banyak, atau memberikan hak yang sama kepada orang-orang atau kelompok. Dengan status yang sama. Misalnya semua pegawai dengan kompetensi akademis dan pengalaman kerja yang sama berhak mendapatkan gaji dan tunjangan yang sama. Semua warga negara – sekalipun dengan status sosial – ekonomi – politik yang berbeda-beda – mendapatkan perlakuan yang sama dimata hukum.

Dalam pengertian kedua, keadilan dapat diartikan dengan memberikan hak seimbang dengan kewajiban, atau memberi seseorang sesuai dengan kebutuhannya.
a.       Perintah Berlaku Adil
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memerintahkan supaya manusia berlaku adil dan menegakkan keadilan. Perintah itu ada yang bersifat umum dan ada yang khusus dalam bidang-bidang tertentu. Yang bersifat umum misalnya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl 16:90)
Sedangkan yang bersifat khusus misalnya bersikap adil dalam menegakkan hukum (QS. An-Nisa’ 4: 58); adil dalam mendamaikan konflik (QS. Al-Hujurat 49:9); adil terhadap musuh (QS. Al-Maidah : 8) adil dalam rumah tangga (QS. An-Nisa’ 4:3 dan 129); dan adil dalam berkata (QS. Al-An’am 6:152).





b.      Keadilan Hukum
Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sederajat dalam hukum, tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit, status sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya.
Keadilan hukum harus ditegakkan walaupun terhadap diri sendiri, atau terhadap keluarga dan orang-orang yang dicintai.

Mengingat pentingnya menengakkan keadilan itu menurut ajaran Islam, maka orang yang diangkat menjadi hakim haruslah yang betul-betul memenuhi syarat keahlian dan kepribadian. Kecuali mempunyai ilmu yang luas, dia juga haruslah seorang yang taat kepada Allah, mempunyai akhlaq yang mulia, terutama kejujuran atau amanah. Apabila hakim itu seorang yang lemah, maka dia mudah dipengaruhi, ditekan dan disuap. Akibatnya orang-orang yang bersalah dibebaskan dari hukumnya, sekalipun kesalahan atau kejahatannya sangat merugikan masyarakat dan negara.

c.       Keadilan dalam Segala Hal
Disamping keadilan hukum, islam memerintahkan kepada umat manusia, terutama orang-orang yang beriman untuk bersikap adil dalam segala aspek kehidupan, meliputi:
1. Adil terhadap diri sendiri
2. Adil terhadap isteri dan anak-anak
3. Adil dalam mendamaikan perselisihan
4. Adil dalam berkata
5. Adil terhadap musuh sekalipun

Tentu masih banyak lagi bentuk keadilan dalam seluruh aspek kehidupan yang belum kami sebutkan dalam fasal ini karena keterbatasan ruangan, tapi cukuplah kita menyimpulkan bahwa Islam menginginkan keadilan yang komprehensif, yang mencakup keadilan politik, ekonomi, sosial dan lain-lainnya.

3.      AMar Ma’ruf Nahi Munkar
Secara harfiah amar ma’ruf nahi munkar (al-amru bi ‘l-ma’ruf wa ‘n-nahyu ‘an ‘l-munkar) berarti menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
Abduh, Muhammad ‘Ali ash-Shabuni mendefinisikan ma’ruf dengan “apa yang diperintahkan syara’ (agama) dan dinilai baik oleh akal sehat” (ma amara bibi asy-syara’ wa ‘stabsanahu al-‘aqlu as-salim), sedangkan munkar adalah “apa yang dilarang syara’ dan dinilai buruk oleh akal sehat” (ma naha ‘anhu asy-syara’ wa’staqbahahu al-‘aqlu as-salim).
Terlihat dari definisi diatas, bahwa yang menjadi ukuran ma’ruf atau munkarnya sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati nurani. Bisa kedua-duanya sekaligus atau salah satunya. Semua yang diperintahkan oleh agama adalah ma’ruf, begitu juga sebaliknya, semua yang dilarang oleh agama adalah munkar.
Dengan pengertian di atas tentu ruang lingkup yang ma’ruf dan munkar sangat luas sekali, baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun mu’amalat (sosial, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya, dlsb). Tauhidullah, mendirikan shalat, membayar zakat, amanah, toleransi beragama, membantu kaum dhu’afa’ dan mustadh’afin, disiplin, transparan dan lain sebagainya adalah beberapa contoh sikap dan perbuatan yang ma’ruf.
Dibandingkan dengan amar ma’ruf, nahi munkar lebih berat karena berisiko tinggi. Nahi munkar dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Bagi yang mampu melakukan dengan tangan (kekuasaannya) dia harus menggunakan kekuasaannya itu, apalagi tidak bisa dengan kata-kata, dan bila dengan kata-kata juga tidak mampu paling kurang menolak dengan hatinya.

4.    Hubungan Pemimpin Dan Yang Dipimpin
Selain akhlak-akhlak atau perilaku yang dilakukan dalam hidup berbangsa dan bernegara, ada hal lain yang dibutuhkan dalam menjalani kehidupan bernegara yaitu adalah masalah seorang pemimpin, karena cirri suatu Negara yaitu salah satunya ketika ada yang memimpim dan ada yang dipimpin, maka berikut akan di bahas
a.        Kriteria Pemimpin dalam Islam
Orang – orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi empat kriteria sebagaimana dijelaskan dalam surat Al – Maidah ayat 55 .
1. Beriman kepada Allah SWT
2. Mendirikan Shalat
3. Membayarkan Zakat
4. Selalu Tunduk ,Patuh kepada Allah SWT

b.   Konsep Leader is a Ladder
Konsep ini merupakan konsep Hubungan Pemimpin dan yang dipimpin yang merupakan hasil ijtihad dari penulis , dimana Konsep Leader is a Ladder merupakan konsep dimana seorang pemimpin merupakan sebuah tangga yang akan menjadi perantara atau jembatan bagi calon pemimpin selanjutnya .
Pemimpin yang baik disini adalah pemimpin yang mencetak sebanyak mungkin calon Pemimpin , yang nantinya dapat melanjutkan kepemimpinan selanjutnya dengan lebih baik dan lebih matang .

Adapun hambatan yang dihadapi ketika ingin menerapkan konsep di atas :
1. Egois : kenapa Egois , karena kebanyakan para pemimpin hanya mau dia sajalah merasakan bangku kepemimpinan tersebut , tanpa harus memikirkan orang setelahnya yang akan menduduki posisi pimpinan tersebut . Sehingga mereka terlalu 'masa bodoh' dengan bawahannya.
2. Sombong : penyakit kekuasaan yang satu ini tentunya telah mengakar sejak zaman dahulu kala , penyakit kesombongan karena merasa sudah diatas sehingga melupakan bawahannya . Hal ini menggambarkan bahwa seorang pemimpin tidak sepantasnya bersikap sombong , karena pemimpin bagaikan tangga maka pemimpin harus menjadi fasilitator.

3. Iri dan Dengki : walaupun sudah menjadi pemimpin , penyakit iri dan dengki masih saja menjangkiti para pemimpin . Sebagian kecil dari pemimpin tersebut masih saja iri melihat bawahannya yang mendapatkan jatah lebih banyak dari dirinya . Maka si pemimpin akan iri terhadap bawahannya , dan mengambil jatah bawahannya.

c.    Persaudaraan antara Pemimpin dan yang Dipimpin

Sekalipun dalam struktur bernegara ada hirarki kepemimpinan yang mengharuskan umat atau takyat patuh kepada pemimpinnya , tetapi dalam pergaulan sehari – hari hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin tetaplah dilandaskan kepada prinsip – prinsip ukhuwah islamiyah , bukan prinsip – prinsip atasan dengan bawahan .





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari keempat pembahasan pokok diatas , ialah Kepemimpinan merupakan sesuatu yang sangat penting dan sangat esensial dalam sikap yang ditunjukkan dalam Akhlak Bernegara ini .
Dalam memahami materinya , hendaknya kita memahami secara keseluruhan tidak secara terpisah . Dikarenakan materi ini sangat terkait satu sama lain dan saling mendukung . Seorang Pemimpin yang baik dan mempunyai Akhlak adalah Pemimpin yang suka bermusyawarah , perbuatan dan tindakannya Ma’ruf Nahi Mungkar , senantiasa menegakkan keadilan , dan tentunya mempunyai hubungan yang baik dengan bawahannya .
Komponen – komponen inilah yang mendasari kokohnya Akhlak seorang, yang tentunya apabila diterapkan dengan sungguh – sungguh akan menjadi Rahmatan Lil Alamin.

B.     Saran
Akhlak yang baik sangatlah dibutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam hidup berbangsa dan bernegara, yang pastinya sesuai dengan syariat islam dan nash (Al-Qur’an dan as-Sunnah), fungsi dari akhlak tersebut tentunya agar terjadi dan tercipta kehidupan bernegara yang aman,tentram,damai dan sejahtera.
Selain akhlak yang baik, dalam hidup bernegara takkala penting dibutuhkan seorang pemimpin yang baik,mampu memimpin dan menjadi contoh teladan bagi yang dipimpinnya. Maka dari itu kita sebagai masyarakat dan individu suatu Negara haruslah lebih peka terhadap masalah dan cara berhidup berbangsa dan bernegara yang baik agar kerukunan senantiasa tercipta dengan masyarakat atau penduduk lain di satu negara.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar