Selasa, 02 Desember 2014

Perempuan-perempuan Dalam Peradaban Islam



Perempuan Dalam Peradaban Islam
Banyak sosok perempuan yang ikut berperan pada masa kehidupan Rasul, berjasa terhadap perjuangan islam, dan memiliki kontribusi yang besar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, antara lain adalah:
Siti Aminah, Ibu Rasulullah. Ibn Ishaq menyebutkan, Aminah binti Wahab adalah gadis Quraisy yang paling utama dari segi keturunan dan status. Dr.Aisyah binti asy-Syath’i menyatakan, di masa kanak-kanak, Aminah tumbuh dalam lingkungan keluarga yang terbaik, melekat padanya kemuliaan status sosial dalam lingkungan masyarakat asristokrat. Ia putri terbaik bani Zuhrah di kalangan suku Quraisy yang terpilih menjadi pendamping Abdullah ibn Abdul Muthalib. Dari pasangan inilah lahir Muhammad SAW.
Khadijah. Di samping itu, ia memiliki kecantikan, kekayaan melimpah, status sosial terhormat dan pengusaha yang sukses. Khadijah adalah istri yang ideal yang senantiasa menyertai Muhammad dalam kondisi apapun.
Aisyah. Sebagai istri Rasulullah SAW, yang sekaligus juga kepala negara, peran Aisyah tidak terbatas pada hal domestik kerumahtanggaan. Sejarah mencatat bahwa para istri Nabi selalu mendampingi Nabi ketika beroerang. Aisyah menjalankan peran ini dengan penuh keikhlasan dan suka cita, ketika kebetulan beliau mendapat kesempatan mendampingi Rasul. Perhatian Aisyah terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan secara umum juga sangat besar. Salah satu buktinya adalah Aisyah mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang dikemukakan para sahabat. Dan Hisyam bin Urwah pernah berkata: “Pada zamannya tidak ada orang yang menandingi Aisyah dalam tiga bidang ilmu yaitu: ilmu fiqh, ilmu pengobatan dan ilmu syair”.
Ummu Salamah. Tercatat dalam sejarah Ummu Salamah beberapa mendampingi Rasul dalam peperangan seperti, Fath al Makkah (pembebasan Mekah), Thaif, Lahwazan, Tsaqif, dll. Dia dikenal sangat tajam analisanya sering dan memberikan advokasi dalam berbagai strategi perjuangan islam.
Fatimah putri Rasulullah. Sebagai putri bungsu Khadijah dan Muhammad, ia mewarisi kecerdasan, sikap dan keberanian orang tuanya. Dalam beberapa peperangan, dia terlibat sebagai tabib. Dalam beberapa riwayat disebutkan Fatimah sangat mirip dengan Rasul, tentang hal ini Ali berkata; “saya belum pernah melihat seorang ketika bertutur kata paling mirip dengan Rasul selain Fatimah”.
Para Sahabat Perempuan. Peperangan yang terjadi pada zaman Rasul tidak hanya diikuti oleh sahabat laki-laki, tetapi tercatat juga para sahabat perempuan walaupun tidak banyak tercatat nama-nama sahabat perempuan yang terlibat perang. Dalam biografi yang ditulis ahli sejarah, selain para istri yang mendampingi Rasul, juga ikut serta bersama antara lain: Ibn Sa’ad meriwayatkan,Ummu Sulaim ada bersama Nabi pada saat perang Uhud dan perang Hunain dengan pisau belati di pinggangnya. Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka’b, Humnah binti Jahsy juga terlibat dalam perang Uhud yang berperan dalam logistik dan mengobati yang terluka. Syahidah pertama dalam islam adalah Sumayyah binti Khubbat, seorang perempuan yang dibunuh Abu jahal di Mekkah, karena tidak mau melepaskan islam.

A. Peranan Perempuan di Masa Khulafaur Rasyidin
1) Aisyah
Aktivitas Aisyah dalam periwayatan hadits sudah dibahas dalam periode Rasul. Pada masa khulafaur rasyidin, aktivitas publik Aisyah terus berlanjut. Ia sering menyampaikan gagasan-gagasannya kepada para penguasa dalam urusan kenegaraan. Pada masa pemerintahan Ali, Aisyah juga terlibat dalam peperangan, ketika terjadi perpecahan politik dalam islam, yang dikenal dengan perang Jamal (perang unta, karena Aisyah terjun ke medan perang menggunakan unta).
2) Ummu Salamah, istri Rasul
Ummu Salamah merupakan turunan keluarga bangsawan yang dihormati. Sosok wanita yang cantik, memiliki harga diri yang tinggi, dan cerdas. Ayahnya merupakan orang yang terkenal kedermawanannya, sehingga dijuluki Zaadur Rokbi (pemberi bekal kafilah).
3) Al-Khunasa
Ia berasal dari keluarga Arab terpandang dan mulia, selain dikenal dengan keperwiraan putra-putranya serta kepiawaian dirinya dalam berpuisi. Al-Khunasa terlibat aktif bersama para muslimah lainnya, berjuang mengembangkan islam, bahkan turut perang bersama-sama dengan keempat putranya. Ketika perang Qadisiyah melawan Persia yang terjadi pada tahun ke-14 Hijriah. Al-Khunasa berperang mendampingi putra-putranya yang sedang bertenpur. Ia memompa semangat dan membangkitkan keberanian mereka.
Dia adalah sosok perempuan yang tegar dan gigih memperjuangkan islam, juga figur perempuan mulia yang mencintai dan setia terhadap saudaranya, istri dan ibu yang tegas, selalu membiasakan putranya dengan kesabaran, kebajikan dan keimanan bahkan mendorong anak-anaknya ke medan perang dan menerima syahid anaknya denga ikhlas.
Pada periode khulafaur rasyidin yang cukup singkat, belum banyak diungkapkan nama-nama perempuan yang terlibat dalam berbagai peran publik, seperti dalam peristiwa pembaiatan para khulafaur rasyidin, padahal baiat ini merupakan sunnah yang lurus dan dapat diamalkan, tidak dikenal dalam berbagai kajian kontemporer, tentang berbagai pemahaman politik, yang merupakan refleksi budaya yang berasal dari barat, dalam upaya mereka memahami khazanah peninggalan peradaban islam.

B. Kedudukan Perempuan di Masa Dinasti Mamluk
Di kalangan Dinasti Mamluk di Mesir (1250-1517), mempunyai tradisi memelihara harem-harem dengan jumlah besar, disamping banyaknya istri. Barangkali hal ini mengekspresikan kelas dan kekuasaan seorang pria. Dengan adanya persaingan intrinsik dalam situasi mereka, istri berlomba-lomba meraih posisi dan status yang lebih tinggi dari selir-selir lainnya, sehingga selir tersebut mencapai keamanan.
Nama-nama wanita yang disebutkan dalam hampir 30% dari dokumen-dokumen Waqf yang masih ada hingga kini, umumnya berperan sebagai administrator. Penyebutan nama-nama wanita sebagai administrator barangkali luar biasa tinggi di kalangan Mamluk. Karena hubungan khusus yang tercipta tersebut, banyak beberapa harem yang bergelimang harta, diberi tanah dan berhak menikmati pungutan pajak darinya. Kaum wanita dari kelas ini seringkali menguasai kekayaan yang sangat banyak jumlahnya dan kadang-kadang harus mengelola kekayaan mereka sendiri.
Di samping itu, wanita-wanita Mamluk mengurus rumah tangga mereka sendiri, yang berupa rumah besar. Seorang putri mempunyai tujuh ratus staf rumah tangga. Staf rumah tangga seluruhnya terdiri atas wanita, termasuk bendahara dan pengawas umum. Seperti kaum pria, kaum wanita di kelas ini menetapkan berbagai sumbangan untuk sekolah, penginapan, mausoleum dan mengadakan sumbangan-sumbangan untuk kepentingan budak-budak perempuan mereka.
C. Kedudukan Perempuan di Masa Dinasti Safawi
Kehidupan perempuan di Persia pada umumnya di abad pertengahan tampaknya sama dengan yang dialami oleh sebagian besar perempuan di belahan dunia lainnya. Peranan mereka ditentukan oleh adat-istiadat, gaya hidup, dan minimnya keterlibatan mereka dalam ekonomi. Terdapat empat hal yang menentukan kedudukan perempuan, yaitu: adat-istiadat dan hukum yang mengatur perkawinan, khususnya yang membolehkan poligami,perseliran dan perceraian sepihak oleh suami. Kedua, pemingitan bagi perempuan. Ketiga, hak peempuan untuk memiliki kekayaan dan keempat, posisi perempuan dalam sistem kelas sosial.
D. Kedudukan Perempuan di Masa Dinasti Mughal
Pada masa pemerintahan Dinasti Mughallah perempuan India menikmati kebebasan yang berdasar keadilan dari ajaran agama islam. Perempuan dimuliakan kedudukannya dan pendapatnya dihormati. Pada masa Shah Jehan dibangun makam yang megah untuk istri tercintanya yang wafat dan diberi nama Taj Mahal. Perempuan memperoleh hak-haknya sebagai pribadi dan anggota masyarakat.
Namun demikian, suasana umum dari kedudukan perempuan di masa ini masih belum seluruhnya baik. Agama sinkretisme yang dikembangkan sering bertentangan dengan ajaran islam, seperti dikeluarkannya larangan untuk mandi junub dan dilarang kawin dengan sepupu atau famili dekat karena merusak cinta kasih.
E. Bidang Pemberdayaan Perempuan di Masa Turki Ismani dan Turki Usmani
Kaum perempuan di wilayah kekuasaan Dinasti Usmani memiliki keterlibatan dalam berbagai aktifitas publik dan akses untuk mengaktualisasikan hak-hak kepemilikan mereka. Mereka tidak hanya berhak aktif di forum umum, mereka membuka peluang untuk menjadi partisipan di dunia usaha. Berbagai data menunjukkan bahwa banyak perempuan yang terlibat dalam dunia usaha. Mereka cenderung lebih banyak menjadi penjual dari pada pembeli. Statistik volume transaksi jual beli di wilayah kekuasaan dinasti usmani menunjukkan bahwa aktifitas mereka sebagai penjual tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan aktifitas pembelian mereka. Namun keterlibatan mereka di sektor usaha ini tidak dapat mengimbangi intensitas kelompok laki-laki. Setidaknya dengan menunjukkan adanya akses bagi perempuan untuk memasuki kegiatan usaha. Hal senada juga dikemukakan oleh Gokalp untuk mereduksi kebudayaan Turki dalam berbagai aspek. Ia memprakarsai persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, sehingga mereka dapat berperan untuk kemajuan bangsa mereka.
Dalam bidang pendidikan, perempuan Turki cukup mendapat perhatian, tuntutan terhadap pentingnya pendidikan semakin meningkat. Meningkatnya kebebasan keuangan perempuan terdidik Turki, membawa pengaruh terhadap hubungan perkawinan dan kekeluargaan, seperti masalah poligami dalam struktur masyarakat islam dianggap sebagai kelaziman sosial. Data sejarah tentang kasus poligami di Turki abad XVII, menunjukkan bahwa dari sekitar dua ribu kelas menengah, hanya dua puluhan saja yang melakukan poligami.
Mustafa Kamal juga mengajukan dan melakukan reformasi, termasuk untuk pemberdayaan perempuan dalam bidang politik dengan memberikan hak untuk memilih dan dipilih sebagai anggota parlemen sejak bulan Desember 1934. Kantor-kantor pemerintah dan organisasi sosial menaruh perhatian dalam melakukan program kesejahteraan sosial. Beberapa organisasi perempuan aktif dalam kerja sosial untuk meningkatkan pemberdayaan, kedudukan dan kesejahteraan perempuan. Hal tersebut tidak mereka peroleh pada masa sebelumnya.
F. Peranan Wanita dalam Pendidikan
Musthafa Kamil seorang tokoh penggerak kebebasan Mesir, pada masa 1900-an mengatakan bahwa ilmu adalah unsur paling penting yang harus dimiliki oleh elemen masyarakat, karena ilmu adalah satu-satunya penyelamat dari jurang kebodohan. Wanita adalah bagian dari masyarakat, ia memiliki peran penting dalam ikut serta membangun masyarakat. Setiap elemen masyarakat, entunya memiliki tanggungjawab besar untuk memajukan dan mengembangkan kehidupan masyarakat. Perkembangan dan kemajuan suatu masyarakat tidak akan tercapai jika tidak menyandarkan asasnya pada wanita, hal itu karena wanita tidak hanya menjadi setengah dari masyarakat akan tetapi wanita bahkan menjadi pengasuh dan pengayom bagi semua masyarakat. Hal ini seirama dengan keyakinan masyarakat umum, bahwa peran pengayoman dan pendidikan anak disandarkan atau diserahlan pada wanita. Oleh karena itu, wanita sebagai unsur masyarakat harus memiliki keahlian dan ilmu pengetahuan, dimana keduanya itu hanya bisa ditempuh melalui jalur pendidikan. Wanita berpendidikan memiliki kemampuan lebih dalam ketika mengetahui sesuatu dibanding laki-laki. Kelebihan dan kemampuan itulah yang pada akhirnya akan memikat laki-laki. Namun jika wanita tidak memiliki kelebihan dan kemampuan tersebut, maka ia akan dicampakkan oleh laki-laki. Hal ini terbukti dalam sejarah bagaimana kaum adam memarjinalkan atau menelantarkan kaum hawa yang tidak berpendidikan.
Pendidikan bagi wanita yang diberikan sejak dini akan berdampak positif bagi terciptanya kehidupan rumah tangga yang baik. Seorang wanita yang terdidik untuk membaca, menulis, menghitung dan sebagainya akan menjadikan dia mampu mengimbangi dan mendampingi kemampuan yang dimiliki laki-laki. Disinilah Rifa’ al-Thatawiy mengusung tentang pentingnya pendidikan bagi kaum hawa dengan memberikan kebebasan dan kesempatan sebagaimana kaum adam.
Menurut Abduh, wanita dalam islam sebenarnya mempunyai kedudukan yang tinggi, akan tetapi adat istiadat yang berasal dari luar islamiah yang mengubah hal itu, sehingga wanita islam mempunyai kedudukan rendah di mata masyarakat. Dan ide inilah yang di kupas Qasim Amin dalam bukunya Tahrir Al-Mar’ah. Menurut pendapatnya, umat islam mundur karena kaum wanita yang berasal dari negara Mesir separuh dari mereka yang tidak memperoleh pendidikan sekolah. Pendidikan wanita sangat diperlukan bukan hanya agar mereka bisa mengatur rumah tangga dengan baik, akan tetapi lebih dari itu, yaitu agar mereka bisa memberikan pendidikan dasar bagi anak-anak mereka.
Masyarakat Mesir memang pada awalnya seakan tidak memberlakukan dan tidak memperdulikan pendidikan bagi kaum wanita. Mereka, wanita Mesir, hanya dianggap sebagai “wanita rumahan” yang tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya dianggap sebagai pelayan dan bagi kaum laki-laki. Wanita dijadikan pelengkap saja. Jadi, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam dunia pendidikan memang benar-benar diabaikan. Mereka seakan-akan tidak perlu untuk dibekali pendidikan tinggi.
G. Peranan Wanita dalam Wilayah Politik dan Ekonomi
Pada abad ke-XVII M, kolonialisme dengan kekuatannya mampu menguasai perekonomian dan politik dunia, khususnya di Timur Tengah. Pada awal abad itu pula, kaum hawa telah memberikan peranannya di segala bidang, terutama pertanian. Sebagaimana yang terjadi di Mesir dan Syuria. Masa pasca perang dunia, pergolakan nasionalisme dan kebebasan wanita menjadi tema utama pada abad tersebut. Gerakan wanita yang menuntut hak dan persamaan dalam bidang keagamaan, sosial, politik dan hak di parlemen telah dikumandangkan sejak tahun 1923 M.
Bagi Abdul Wahab, ia menganggap tempat wanita itu di rumah (mengerjakan tugas rumah tangga) dan negara (berkativitas dalam kancah politik) itu merupakan keluarganya dan pekerjaan yang ia lakukan semata-mata untuk menyambung kehidupan dan demi menolong dirinya, suami dan anak-anaknya. Oleh karenanya, tidak ada suatu masalah apapun tentang dunia politik dan ekonomi bagi kaum perempuan, selama wanita tersebut sudah melaksanakan kewajibannya di rumah sebelum terjun ke dunia luar.
Muhammad Abduh menegaskan bahwa kebebasan ekonomi dan politik sesuai dengan asas hukum islam. Bagi Muhammad Abduh, islam telah menganjurkan umatnya tanpa membedakan antara laki-laki dan wanita untuk memproduksi segala bentuk barang yang dibutuhkan oleh kehidupan masyarakat. Anjuran itu bersifat fardhu kifayah. Islam juga menganjurkan umatnya, baik laki-laki maupun wanita untuk memperjualbelikan hasil produksinya.
Qasim Amien yang goal menyuarakan pendidikan bagi wanita mengatakan bahwa tidak ada satu penghalang pun bagi wanita Mesir untuk menyibukkan diri mereka dengan pekerjaan, perdagangan, kesenian, ketrampilan dan sebagainya sebagaimana wanita barat, kecuali kebodohan dan ketidakpedulian terhadap pendidikan mereka. Para pemikir islam, seperti halnya Qasim Amin, menyatakan bahwa tidak ada satu hal pun yang melarang para perempuan Mesir untuk melakukan kesibukan dan melakukan segala jenis pekerjaan di luar rumah, sebagaimana wanita-wanita barat. Oleh karenanya, begitu pentingnya bagi mereka untuk mengetahui lebih dalam tentang segala macam ilmu pengetahuan, agar bisa dan mampu bergerak di segala bidang, baik itu bidang ekonomi, pendidikan, perdagangan, kesenian dan lain sebagainya. Karena menurutnya kebodohanlah yang sebenarnya melarang dan membelenggu para perempuan tersebut melakukan aktifitasnya dan kebodohan itulah yang menghalangi gerak-geriknya di dunia bebas. Wanita sebagai warga negara tentu memiliki kewajiban untuk membangun negara sebagai rasa cinta terhadap tanah air. Kontribusi anak bangsa kepada negara tentu disesuaikan dengan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki. Peran penting kaum hawa dalam keberlangsungan negara bisa dimasukkan dalam bidang politik, ekonomi dan sebagainya.
Kalau kita berbicara tentang ekonomi dan politik, maka pikiran kita akan diajak untuk berpikir tentang suatu hal yang keras dan hanya bisa dilakukan oleh kaum laki-laki. Memang hal itulah yang dianggap sebagian besar penduduk dunia, oleh karenanya merasa perlu untuk menjauhkan semuanya dari wanita, karena mereka menganggap seorang wanita tidak akan mampu terjun dalam dunia politik. Wanita yang menurut mereka lemah tidak akan mampu terjun dalam dunia politik yang keras. Dalam kondisi yang sangat diperlukan, seorang wanita pada masa Nabi juga bisa untuk bergerak menyamai laki-laki, sebagaimana keikutsertaan sebagian wanita-wanita muslimah berjihad ke medan perang. Dan hal itu tidak akan mengurangi identitas mereka sebagai muslimah yang kaffah (sempurna).
Oleh karenanya, tidak ada larangan bagi kaum wanita untuk bekerja di luar rumah, berkiprah di dunia politik menyamai laki-laki. Sekalipun di sana ada sedikit batasan-batasan bagi wanita muslimah yang mengharuskan dirinya terjun ke dunia luar seperti halnya politik dan ekonomi. Bagi mereka yang sudah bersuami, diharapkan izin dari suaminya dan juga tidak melalaikan tugas-tugasnya sebagai ibu rumah tangga, seperti mendidik anak dan melayani suami, dan di luar sana ia harus mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya. Dan bagi seorang wanita single diharapkan ada persetujuan dari orang tuanya dan ia bisa mempertanggungjawabkan pekerjaan itu, baik bagi dirinya dan keluarganya serta bisa menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya.
Sebenarnya islam sangat mudah dan tidak menyulitkan pemeluknya. Dan yang paling penting bahwa islam mulai dari awal diturunkannya sampai saat ini telah memberlakukan dan mengangkat derajat dan hak-hak kaum wanita. Sekalipun kadang-kadang masih banyak dari hak-hak kaum perempuan tersebut dijadikan sebagai “batu loncatan” penghancur islam oleh musuh-musuhnya dengan tafsir, penilaian dan tanggapan yang salah terhadap islam dan al-Qur’an.
H. Kepemimpinan Perempuan
Kepemimpinan merupakan sebuah terma yang tidak bisa dinafikan dalam kancah sosial, dengan piranti inilah sebuah tatanan sosial mampu diciptakan dengan tertib. Dari titik tolak ini, figur pimpinan menjadi sorotan tajam dari semua pihak, sehingga pola, karakter, kapabel dan kemampuan menjadi sisi-sisi urgen untuk menentukan sosok pemimpin. Sebenarnya tidak ada kriteria yang sulit dalam permasalahan ini. Tapi yang menjadi kendala adalah bagaimana pemimpin mampu memimpin, mengayomi dan memberi solusi atas problematika yang ada. Maka, keahlian pemimpin menjadi tuntutan keras dalam mewujudkan cita-cita ini. Karena dengan keahlian dan kemampuanlah pemimpin bisa menjadi tetap eksis dalam dunianya dan mempunyai kharisma di semua lini kehidupannya.
Jika membicarakan perihal kepemimpinan, tidak bisa luput dari nuansa-nuansa sosial politik, karena entitas inilah yang mampu menciptakan dan mengatur segala urusan-urusan yang ada. Sebenarnya, dalam permaslahan wanita dan politik sudah ada sejak zaman nabi, bahkan pemeberian hak berpolitik sudah diberikan langsung oleh al-Qur’an kepada wanita.
Dalam perbedaan dunia politik, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Semua sama-sama mempunyai hak untuk berpolitik, bahkan sampai dalam medan peperangan. Pada zaman sahabat, banyak terjadi wanita-wanita ikut berpartisipasi dalam medan peperangan seperti saudara wanitanya Umar bin Khatab. Dalam sejarah dipaparkan bentuk perjuangan yang dilakukan wanita untuk memperjuangkan islam, baik dalam bentuk materi ataupun non materi. Adapun wanita yang ikut serta dalam hal ini adalah Samiyyah, sosok ini bergabung dalam hijrah dari Habasah ke Yatsrib, selain itu ia juga ikut serta dalam bai’ah aqabah pertama dan kedua.
Di sisi lain, ditemukan juga seorang pahlawan wanita yang menjadi pemimpin peperangan, walaupun akhirnya meninggal dunia ditengah medan peperangan didepan mata suaminya sendiri. Akhirnya, suaminya pun menyusul dengan mati syahid di jalan Allah SWT. Yang menjadi pertimbangan, bahwa mereka juga ikut peduli dengan fenomena sosial yang bergejolak dengan keikutsertaannya berpartisipasi. Tapi, ironisnya sejarah emas mereka tidak diketahui di khalayak umum. Banyak kelompok yang menyeruka supaya mengaplikasikan nilai-nilai keislaman. Baik dalam permasalahan sosial, ekonomi, negara dan perpolitikan. Tapi yang menjadi permasalahan, mereka tidak mampu menciptakan balancing dalam nilai-nilai islam itu sendiri. Karena secara umum, justru mereka membatasi ruang lingkup gerak wanita. Mereka tidak memberi kesempatan kepada wanita untuk ikut serta dalam dunia pemerintahan ataupun parlemen.
Di pihak lain, jika memang para kelompok masih kuat melarang wanita untuk terjun ke dunia politik atau menahannya menjadi seorang pemimpin dengan alasan hadits ”tidak akan berhasil suatu kaum jika kaum itu dipimpin seorang wanita”, maka perlu dicermati ulang karena kadang hal-hal yang selama ini kita percaya ternyata adalah hal-hal yang harus dijauhi. Lebih jelasanya, bahwa hadits ini diriwayatkan Bukhari, dari Abu Bakrah Ra. berkata:
“Semoga Allah memeberi manfaat kepadaku dari kalimat yang saya dengar dari Rasulullah Saw. pada hari Jamal, setelah saya bersusah payah menyusul ashabul jamal untuk berperang bersama mereka, sahabat berkata: ketika Rasulullah Saw. datang, penduduk Persi dipimpin oleh anak wanita Kisra. Rasulullah Saw. berkata tidak akan berhasil suatu kaum jika kaum itu dipimpin seorang wanita”.
Selanjutnya, jika memang hadits ini benar, maka kita pun tidak bisa menganalogikan dengan masa sekarang, karena hadits ini diperuntukkan kepada pemimpin Roma kala itu, yang mana pada saat itu raja Roma meninggal dunia dan digantikan dengan putrinya yang bernama Nauran binti Kisra. Dari fenomena ini Rasulullah Saw. menyatakan haditas yang mana telah disebutkan diatas. Di sisi lain, jika memang hadits ini benar-benar sahih, itupun tidak bisa dijadikan landasan syari’at karena turunnya hadits tersebut dikhususkan kepada kondisi saat itu yang tidak masuk pada had, etika dan ibadah. Maka statemen “in saha al Hadits fahuwa madzhabi” tidak bisa dijadikan sebagai kaidah dalam permasalahan ini.
Selain itu, hadits diatas adalah hadits infirad. Karena terdapat perawi yang bernama “Abu Bakrah”, yang mana perawi ini pernah melakukan persaksian bohong dalam permasalahan zina yang ditunjukan kepada sahabat Mughirah bin Syu’bah pada zaman Khalifah Umar bin Khatab. Kesimpulannya haditas yang selama ini digembor-gemborkan oleh kelompok-kelompok misognis (sebuah kelompok yang merendahkan harkat dan martabat wanita) adalah hadits yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Karena terdapat satu perawi yang bohong.
Alasan lain yang mengindikasikan mereka untuk mengharamkan wanita menjadi pemimpin adalah dalam Firman Allah Swt:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS.An-Nisa:34).
Mereka (interprener) menyatakan bahwa wanita berada dibawah laki-laki. Maka, laki-lakilah yang mempunyai tanggung jawab dan wajib memelihara wanita, artinya wanita harus runduk patuh dan dilarang menjadi pemimpin terhadap laki-laki. Maka dari itu, mereka mengambil kongklusi, bahwa kaum hawa tidak punya hak untuk menjadi pimpinan terhadap kaum adam. Sebenarnya, penafsiran ayat ini perlu didaur ulang. Karena, bila pemahamannya seperti, seakan-akan terjadi penyetiran makna dan maksud dalam pemahaman ayat ini.
Perlu dipahami, “al-qawwamah” mempunyai maksud hanya pada tataran tanggung jawab sebagai pemimpin dalam sebuah keluarga. Sebagaimana yang diceritakan Rasulullah Saw., “Laki-laki terhadap keluarganya adalah pemimpin dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. Artinya hendaklah seorang istri taat dan mempunyai etika terhadap suaminya. Adapun kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan yang termaktub dalam al-Qur’an hanyalah difokuskan dalam konteks keluarga saja. Pernyataan ini tidak ada perbedaan pendapat yang sudah tertera dalam syari’at dan kehidupan sehingga menuai kemaslahatan di kedua belah pihak.
Dalam ayat tersebut juga menunjukkan kepada pemberian mahar dan nafkah dari suami kepada istri, dengan firman Allah yang artinya “dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. Ayat ini juga mengisyaratkan kewajiban terhadap suami untuk mengemban amanh dengan firman Allah “maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah Swt. lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah memelihara mereka”. Dan ayat ini memberi isyarat atas kekuasaan suami terhadap istri dengan firman Allah SWT “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka”. Maka ayat ini menunjukkan bahwa yang dimaksud “kepemimpinan” disini adalah kepemimpinan suami terhadap istrinya, bukanlah kepemimpinan yang bersifat pada kekuasaan umum seperti kepala negara, qadha’ dan lain sebagainya.
Kelayakan wanita mempimpin hal-hal yang khusus, seperti mengemban wasiat atas anak yatim dan diperbolehkannya menjadi pengawas terhadap harta waqaf, karena mereka (para wanita) mampu mengemban tugas-tugas yang dibebankan mereka. Maka dari itu, seorang wanita diperbolehkan memimpin hal-hal yang bersifat umum juga. Dengan catatan mereka (para wanita) mampu melaksanakan tugas-tugasnya. Dari sini, tidak ada pengaruh apakah kepemimpinannya bersifat umum atau khusus dan yang menjadi fokus utama adalah kemampuan seorang wanita melaksanakan kewajibannya. Dari uraian diatas, tidak ada larangan terhadap wanita untuk menjadi pemimpin, baik pemimpin formal atau non formal, negara sekalipun dengan syarat mereka mampu mengemban amanah yang ada dengan kapabilitas yang mereka miliki. Jika melihat realitas pemerintahan sekarang, kebanyakan menggunakan sistem pemerintahan yang demokrasi dibawah pengawasan parlemen atau diwakilidengan para menteri-menteri. Artinya, urusan-urusan yang ada tidak ditanggung secara mutlak oleh seorang pemimpin.
Sebenarnya dalam permasalahan kepemimpinan (menjadi Qadhi) terdapat perbedaan pendapat antara para ulama. Pendapat pertama, (seperti mayoritas ulama Maliki, Syafi’i, Hanbali, Syi’ah Imamiyyah, Syi’ah Zaidiyyah dan Ibadiyyah) menyatakan bahwa syarat pemimpin harus laki-laki, maka haram bagi wanita menjadi pemimpin dalam sebuah Qadhi, baik dalam kasus harta benda, qishash dan pidana. Jika wanita tetap memimpin dalam sebuah Qadha’ maka hukumnya adalah dosa. Pendapat kedua, (dari madzhab Hanafi) menyatakan diperbolehkan seorang wanita memimpin dalam sebuah Qadha’, tapi dalam kasus-kasus yang diperbolehkannya menjadi saksi yaitu selain qishash dan tindak pidana. Artinya, laki-laki dalam sebuah kepemimpinan bukan menjadi syarat kecuali dalam masalah hukuman pidana dan qishash. Adapun selain tindak pidana,wanita boleh menjadi pemimpin. Pendapat ketiga, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Qayim dari mazhab Maliki, Hasan Basri, Ibnu Hazm al-zhahiri. Ibnu Hazm menyatakan bahwa laki-laki bukanlah syarat untuk menjadi qadhi. Artinya, wanita diperbolehkan menjadi pemimpin qadha’ (hakim) di dalam segala urusan sampai dalam urusan qishash dan pidana. Karena menurutnya seorang wanita diperbolehkan menjadi saksi tindak pidana dan qishash.
Dari rancang bangun ini, walaupun secara ijma’ menyatakan dilarangnya wanita menjadi pemimpin negara atau gubernur, tapi dengan beberapa alasan diatas wanita tetap bisa menjadi pemimpin dalam tataran kekuasaan umum atau khusus. Jadi, wanita muslimah tetap mempunyai hak untuk dipilih dan memilih, menjalankan tugas agung pada suatu kenegaraan dan bahkan menjadi kepala negara. Selain itu, wanita tetap mempunyai hak untuk ikut serta dalam shalat jama’ah bersama laki-laki, kepemimpinan syari’at dengan catatan mereka mampu melakukannya.

SUMBER BACAAN REFERENSI:
  • Ali,Mukti.”AUFKLARUNG ISLAM Dialektika Agama, Politik dan Kolonialisme”.2007. Atase Pendidikan dan Kebudayaan: Kairo.
  • Shaleh,Nur Ihsan. “Saatnya Wanita Memilih,Upaya Syariat Melindungi Martabat”.2007. Atase Pendidikan dan Kebudayaan: Kairo.
  • Lubis, Dr.Amany dkk.”Sejarah Peradaban Islam”.2005.Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar