Senin, 16 Juni 2014

Makalah Ilmu Alquran, Qiro’ah


Makalah Ilmu Alquran
Qiro’ah


Jurusan Akuntansi
UIN Alauddin Makassar
Fakultans Ekonomi dan Bisnis Islam
2013/2014




BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiro’ah
Berdasarkan etimologi (bahasa), qiro’at merupakan kata kajian (masdar) dari kata kerja “qara’a” yang berarti membaca. Bila dirujuk berdasarkan pengertian terminology (istilah), ada beberapa definisi yang diintrodusirkan ulama :
1.    Menurut az-Zarqani.
Az-Zarqani mendefinsikan qiraah dalam terjemahan bukunya yaitu : mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya.
2.    Menurut Ibn al Jazari :
Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.
3.    Menurut al-Qasthalani :
Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.
4.    Menurut az-Zarkasyi :
Qiraat adalah perbedaan cara mengucapkan lafaz-lafaz al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.[1]
5.    Menurut Ibnu al-Jazari
Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakaanya kepada penukilnya .
Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama bahwa ada beberapa cara melafalkan al-quran walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu nabi Muhammad SAW.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa qira’ah adalah cara membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang dipilih dari salah seorang imam ahli qira’ah yang berbeda dengan cara ulama’ lain serta didasarkan atas riwayat-riwayat yang mutawatir sanadnya yang selaras dengan kaidah-kaidah bahasa Arab yang terdapat dalam salah satu mushaf Usmani.

B. Sejarah Qiraatil Qur’an
Pada periode awal  kaum muslimin memperoleh ayat-yat Al- Qur’an lansung dari Nabi Saw. kepada para sahabat, dan dari para sabat ini kemudian kepada para tabi’in serta para imam-imam Qira’at pada masa selanjutnya. Pada masa Nabi Saw. ayat-ayat ini diperoleh dari Nabi dengan cara mendegarkan, membaca lalu beberapa sahadat menhafalkannya.  pada periode ini Alqur’an belum dibukukan, pedoman dasar bacaan dan pelajarannya langsung bersumber dari Na         bi Saw. Serta para sahabat yang hafal Al-Qur’an . hal ini berlangsung hingga masa para sahabat yang pada perkembangannya Al-Qur’an dibukukan atas dasar ikhtiar Abu Bakar dan inisiatif Umar bin Khattab. pada perkembangan berikutnya, al-qur’an justru tertata lebih karena kholifah  usman berinisiatif untuk menyalin mushaf dan dicetak lebih banyak untuk kemudiyan disebarkan kepada kaum muslimindi berbagai kawasan. Langkah ini ditempuh oleh utsman bin affan karena pada waktu itu terjadi perselisihan diantara kaum muslimin tentang perbedaan bacaan yang mereka terima, maka dengan dasar inilah sejarah awal terjadinya perdebatan Qira’at yang kemudiyan dipadankan oleh Utsman bin Affan dengan menyalin mushaf itu menjadi satu bentuk yang sama dan mengirimnya ke berbagai daerah.. Dengan cara seperti ini maka tidak akan ada lagi perbedaan, karena seluruh mushaf yang ada di daerah-daerah kaum muslimin semuanya sama, yaitu mushaf yang berasal dari kholifah utsman bin affan.
Setelah masa itu, maka muncullah para qurra’ (para ahli dalam Membaca Al-Qur’an), merekalah yang menjadi penutan di daerahnya masing-masing dan dari bacaan mereka di jadikan pedoman serta cara-cara membaca Al-Qur’an.
Di madinah, misalnya terdapat banyak qurro’ diantaranya Ibnul Musayyab, Urwah, bin Abdul Aziz, Said bin Aslam. Di mekkah terdapat Ubaid bin Umar, Thoush, Mujahid dan Ikrimah. Di kufah terdapat Alqomah, Masruq, dan Ubaidah. Di Basrah ada Abu ‘Aliyah, Abu Roja’, dan Nasir bin Asir. Di Syam juga terdapat para qurro’ diantaranya: Mughiroh bin Abi Syihab, Kholifah bin Sa’id, Sahibu abi Darda’. Mereka semua adalah tokoh-tokoh yang ahli dalam qira’ah Al-Qur’an yang termasyhur.
Selain itu qira’ah Al-Quran juga dikenal bacaan yang teori membacanya berasal dari imam tujuh (qiro’ah sab’ah) mereka adalah : Imam Abu  ‘Amr, Nafi’, Ashim, Khamzah, Kisai, Ibnu Amir dan Ibnu Kasir.
Tetapi ilmu qiro’ah ini muncul pada abad IV H. Imam sayuthi menyatakan bahwa yang pertama kali mengkaji  dan membukukannya dalam sebuah kitab adalah Abu Ubaid Al-Qasim bin salam, lalu imam Ahmad bin Jubair Al-Kufi  dan Ismail bin Ishaq Al-Maliki.
Adapun beberapa kitab yang membahas Qiro’ah sab’ah adalah At-tafsir fi Qira’ati Sab’Ikarya imam Abu amr’ Ad-dhani. Sedang yang membahas Qira’at asyrah adalah  Al-misbahud dzahir fi qira’atil asyir Dzawahir karya abduk kirom mubarak bin hasan asy-Syahraqarzy.
Latar belakang timbulnya perbedaan qira’at karena para sahabat berbeda dalam mendengarkan atu mengambil bacaan rasulullah. Sebagian mereka ada yang merasa cukup dengan satu qiraat saja sementara yang lain mengambil beberapa qiraat. Kemudian para sahabat ini berpencar ke seluruh penjuru dunia dengan tetap menggunakan qiraat yang hanya dia dapati dari rasul


C. Macam –Macam Qira’ah
Dalam pembahasan tentang macam-macam qira’at ini akan di jelaskan pendapat para Ulama’ mengenai hal ini diantaranya:
a.    Dalam kitab mahabis fii’ ulumil Qur’an, prof. Dr . manna’ul Qatthan membagi jenis qira’at menjadi:        
Pertama:  Qira’ah mutawatir, yaitu qira’ah yang periwayatannya melalui beberapa orang, seperti Qira’ah sab’ah yang menurut jumhhur ulama’ Qira’ah sab’ah ini semua riwatnya adalah mutawatir.. para imam yang termasuk dalam Qira’ah sab’ah adalah:
         Nafi’ bin Abdurrahman (w.169 H.) di Madinah
         Ashim bin Abi Najud Al-asdy (w. 127 H.) di Kufah
         Hamzah bin Habib At-Taymy (w. 158 H.) di Kufah
         Ibnu amir al- yahuby (w. 118 H.) di Syam
         Abdullah Ibnu Katsir (w. 130 H.) di Makkah
         Abu Amer Ibnul Ala (w. 154 H) di Basrah
         Abu Ali Al- Kisa’i (w. 189 H) di Kufah
Kedua : Qiroat Ahad, yaitu qiro’at yang sanatnya soheh tetapi tulisannya tidak cocok dengan tulisan mushap usmani yang juga tidak selaras dengan kaidah bahasa arab. Qiro’at ini tidak boleh untuk membaca al-qur’an.
Ketiga : Qiro’at Syadz, yaitu qiro’at yang sanatnya tidak soheh, seperti bacaan ……………. Dengan bentuk fi’il  madi yang berasa dari bacaaan ibnu sumaifai.
  Dalam kitab Zubdah Al- Itqon Fii Ulumil Qur’an Karya  Dr. Muhammad bin Alwi Al-Maliki bahwa imam Al-Jaziri mengelompokkan Qiro’at dalam lima bagian, yaitu:
1.      Qiro’ah Mutawatir, yakni Qiro’at yang disampaikan oleh sekelompok orang mulai dari awal sampai sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
2.      Qiroa’at Masyhur, yaitu qiro’ah yang memiliki sanad sohih, tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf Usmani, masyhur di kalangan ahli qiro’ah dan tidak termasuk qiro’ah yang keliru dan menyimpang. Misalnya qiro’at dari imam yang tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda. Sebagian perawi misalnya meriwayatkan dari Imam Tujuh , sementara yang lainnya tidak. Qiro’at semacam ini banyak di jumpai kitab-kitab Qiro’ah misalnya At-taisir karya Ad-dani, Qashidah karya As-Syatibi, Au’iyyah Annasr Fi Qiro’ah Al-Asyr dan Taqrib An-Nasyr, keduanya karya Ibnu Al-Jaziri.
3.      Qira’at Ahad, yaitu qira’ah yang memiliki sanad sohih, tetapi menyalahi tulisan mushaf Usmani, dan kaidah bahasa Arab, tidak masyhur, seperti riwayat dari Al-Hakim Al-Jahdiri dari Abu Bakrah yang menyebutkan bahwa Nabi saw. Membaca ayat:
متكئين عاي رفارف خضر وعباقري حسان
Dari Abu Hurairah, Al-Hakim meriwayatkan bahwa Nabi saw. Membaca:
فلا تعلم نفس ما اخفي لهم من قرات اعين
Juga dari Abu Hurairoh, Al-Hakim meriwatkan bahwa Nabi saw membaca:
                        لقد جاءكم رسول من انفسكم
(Huruf fa’ dibaca dlommah: anfasikum)
Dari ‘Aisyah, Alhakim meriwayatkan bahwa Nabi saw. Membaca:
فروح وريحا ن
((huruf fa’ di baca dlommah: faruuhun)
4.      Qiro’ah syadz, yaitu qiro’ah yang sanadnya tidak sohih. Contoh:ملك يوم الدين  (di baca malaka yauma)
5.      Qira’ah maudlu’ (palsu) seperti qira’ah Al-Khazza’i.
Imam Suyuthi menambah jenis qira’ah yng keenam, yaituyang menyerupai hadits Mudroj, yaitu adanya sisipan pada baca’an dengan tujuh penafsiran seperti qiro’ah Abi Waqqash yang berbunyi: وله اخ او اخت من ام      
Juga sperti qiro’ah Ibnu Abbas yang berbunyi:
ليس عليكم جناح ان تبتعوا فضلا من ربكم في موسم الحج
b.      Sedang menurut Prof. Dr.H. Abdul Djalal HA.dalam bukunay ulumul qur’an membagi qiroat beberapa kritria, yaitu:
1. Qiro’ah ditinjau dari segi para pembacanya ( qurrok ):
a)  Qiro’ah Sab’ah yang di sandarkan pada Imam Tujuh ahli qira’a, yaitu qira’ah yang       telah disebutkan diatas.
Ada dua alasan kenapa di sebut qira’ah sab’ah:
      Pertama: ketika kholifah Utsman menirim ke berbagai daerah itu berjumlah tujuh buah yang masing-masing disertai dengan ahli qira’ah yang mengajarkan. Nama Sab’ah berasal dari jumlah qurro’ yang mengajarkan yaitu Sab’ah (tujuh).
      Kedua: tujuh qira’ah itu adalah qira’at yang sama dengan tujuh cara (dialek) bacaan diturunkannya Al-qur’an. Dua pendapat diatas di sampaikan oleh Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A. yang mengutip dari pendapat Imam Al-Maliki.
b)  Qir’ah Asyrah: qira’ah yang di sandarkan kepada sepuluh orang ahli qra’ah, yaitu tujuh orang yang sudah tersebut dalam qira’ah sab’ah di tambah dengan tiga orang, yaitu:
        -  Abu Ja’far Yazid Ibnul Qa’qa Al-qari (w. 130 H.) di Madinah
        -  Abu Muhammad Ya’ Qub bin Ishaal-Hadhary (w. 205 H.) di Basrah
        -  Abu Muhammad Kholf bin Hisyam Al-A’masyy (w. 229 H.)
Menurut sebagian ulama’, pembatasan terhadap tujuh ahli qira’at kurang tepat, karna masih banyak orang (ulama’) lain yang juga mamahami dan pandai tentang qira’at.
c)  Qira’ah Arba’a Asyrata: yaitu qira’ah yang di sandarkan kepada 14 ahli qira’ah yang megajarkannya, sepuluh ahli qira’ah yang telah di tulis di tambah dengan empat orang, yaitu:
        -  Hasan Al-Bashri (w. 110 H.) di Basrah
        -  Ibnu Muhaish (w. 123 H.)
        -  Yahya Ibnu Mubarok Al- Yazidy (w. 202 H.) di Baghdad
        -  Abu Faroj Ibnul Ahmad Asy-Syambudzy (w. 388 H.) di Baghdad
2. Di tinjau dari para perawi
        Qira’at dilihat dari perawinya di bagi menjadi enam kelompok yang sudah di jelaskan pembagiannya pada pembahasan yang terdahulu, yaitu qira’ah mutawatiroh, Qira’ah Masyhurah, Qira’ah Ahad, Qira’ah Syadz, Qira’ah maudlu’ dan Qira’ah Mudroj.
3. Ditinjaudari segi nama jenis
        Sebagian ulama’ berpendapat bahwa jika qira’ah itu ditinjau dari sisi nama jenis, maka qira’ah itu di bagi menjadi:
a.       Qira’ah, yaitu untuk nama bacaan yan telah memenuhi tiga syarat sebagaimana penjelasan di atas, seperti Qira’ah Sab’ah, Qira’ah Asyrah dan Qira’ah Arba’a Asyrata.
b.      Riwayat,  nama bacaan yang hanya berasal dari salah sorang perawinya sendiri.
c.       Thariq, yaitu nama untuk bacaan yang sanadnya terdiri  dari orang-orang yang sesudah para perawinya sendiri.
d.      Wajah, yaitu nama untuk bacaan Al-qur’an yang tidak di dasarkan sifat-sifat tersebut di atas, melainkan berdasarkan pilihan pembacanya sendiri.

D. Syarat di Terimanya Qira’ah
Dengan banyaknya periwayatan dalam qira’ah, maka ada beberapa syarat, agar qira’ah tersebut shahih dan dapat di baca oleh umat. Syarat –syarat itu adalah:
a.    Qira’ah tersebut harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab,
b.    Sanad dari riwayat yang menceritakan qira’ah-qira’ah tersebut haru shahih,
c.    Bacaan yang di terapkan adalah bacan yang cocok dengn salah satu mushaf Utsmani.
Oleh sebab itu maka qira’ah yang shahih harus memenuhi syarat-syarat di atas, meskipun diriwayatkan kurang dari tujuh oang perawi Al-qur’an. Dengan pengertin lain, bahwa apabila sebuah qira’ah sudah memenuhi persyaratan tersebut diatas, maka qira’at tersebut dinyatkan Shahih yang harus di imani dan tidak bole di pungkiri keberadaannya.
Berdasarkan persyaratan tersebut, maka setiap qira’at yang sudah terpenuh tiga hal di atas , maka dikatakan qira’ah shahih, baik berasal dari Qira’ah Sab’ah, Qir’ah Asyrah Ataupun Qira’ah Arba’a Asyrata.
Prof. Dr. H.A. Djalal juga menegaskan bahwa menurut Al-kawassy, semua qira’ah yang shahih sanadnya, selaras dengan kaidah bahasa arab, dan sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, itu adalah termasuk qira’ah sab’ah yang dinash dalam hadits Nabi Muhammad saw.
E. Metode Penyampaian Qira’ah
Menurut Dr. Muhammad bin alawial-maliki dalam bukunya berjudul zubdah al-itqan fi ulumil qur’an mengatakan, bahwa di kalanga ahli hadits ada beberapa periwayatan atau penyampaian qira’ah di antaranya:
a.       Mendengr langsung dari guru (al-sima’)
b.      Membacakan teks atau hafalan di depan guru (al-qira’ah `ala al-syaikh)
c.       Melalui ijazah dari guru kepada murid
d.      Guru memberikan sebuh naskah asli kepada muridnya atau salinan yang di koreksinya untuk di riwayatkan(al-munalah)
e.       Guru menuliskan sesuatu untuk di berikan di berikan kepada muridnya(mukatabah)
f.       Wasiat dari guru kepada para murid-muridnya
g.      Peberitahuan tentang qira’ah tertentu(al-I’lam)
h.      Hasil temuan (al-wijadah)
Para imam qira’ah, baik salaf maupun kholafmeriwayatkan lebih banyak menggunakan metode qira’ah `al al-syaikh. Metode ini juga di gunakan oleh nabi saw. Ketika beliau menyodorkan bacaan al-qur’an di hadapan jibril pada seiap bulan ramadhan. Adapun al-sima’tidak di gunakan oleh para imam qira’ah dengan beberapa alasan:
      Pertama: karna yang mendengar langsung dari nabi hanyalah para sahabat. sedang mayoritas para imam qir’ah tidak pernah mendengarkan secara langsung dari nabi saw.
*      Kedua: setiap murid yang mendengar langsung dari gurunya tidak mampu secara persis meriwayatkan apayang telah di dapat dari gurunya. Sedang para sahabat dengan kulitas kefasihan yng baik, mereka mampu menyampaikan al- qur’an sama persis seperti ynag mereka dengarkan dari nabi.
*       
F.  Manfaat Dari Keberagaman Qira’at:
                 1.     Menunjukkan kemurnian al qur’an
                 2.     Mempermudah mempelajari al-qur’an
                 3.     Menunjukkan keagungan dan kemukjisatan al-qur’an
                 4.     Dapat membaca al-qur’an dengan metode qira’ah yang berbeda..


[1] Rosihon anwar,Ulum Al-Quran,2010,Pustaka Setia,hlm.140-141

Tidak ada komentar:

Posting Komentar