Kamis, 19 Juni 2014

Makalah Ilmu Hadis, Pembukuan Hadis


Makalah Ilmu Hadis
Pembukuan Hadis


Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
UIN Alauddin Makassar
2013/2014
      

I.                   Latar Belakang
Setelah Rasul SAW wafat, al-Qur’an mulai dibukukan dan pembukuan secara keseluruhan selesai pada khalifah Utsman bin Affan. Muhadditsun tertuntut untuk memulai pembukuan hadis karena al-Qur’an hanya bisa dipahami secara utuh jika bergandengan dengan hadis sebagai pengukuh hukum, penjelasan isi global, serta pembuat hukum yang menyempurnakan hukum al-Qur’an. Selain itu, lahirnya rencana dan usaha pembukuan hadis merupakan bentuk pengaruh positif dari peristiwa perpecahan politik dan pemalsuan hadis yang terjadi sejak masa sahabat. Usaha pembukuan hadis tersebut diagendakan sebagai upaya penyelamatan dari kemusnahan dan pemalsuan hadis.
Sebagai generasi penerus Islam hendaknya kita mengetahui dan mempelajari tentang sejarah pembukuan hadis, dimana hal ini merupakan salah satu bagian dari Ilmu Hadis. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pembukuan hadis. Permasalahan tersebut yaitu pengertian pembukuan atau tadwin hadis, latar belakang diadakannya pembukuan hadis, masa penulisan dan pembukuan hadis, cara memperoleh data pembukuan hadis, tokoh-tokoh yang berperan dalam pembukuan hadis, dan macam-macam kitab hadis serta metode penyusunannya.

II.      PEMBAHASAN
           Kodifikasi atau tadwin hadis artinya pencatatan, penulisan, atau pembukuan hadis. Tadwin yang dimaksud dalam pembahasan disini ialah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakukan oleh perorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada masa sebelumnya. Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan Islam dipimpin oleh khalifah Umar bin Abd al-Aziz.

                        Ada tiga faktor yang menjadikan khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijaksanaan mengumpulkan hadis. Pertama, yang sangat ia khawatirkan adalah hilangnya hadis-hadis dengan meninggalnya para ulama di medan perang, sebagaimana terlihat pada naskah surat-surat yang dikirimkan kepada para ulama, sebab peranan ulama pada saat sebelumnya bukan hanya mengajarkan ilmu agama, melainkan turut ke medan perang atau bahkan mengambil peranan penting dalam suatu pertemuan.
                        Kedua, Ia khawatir akan tercampurnya hadis-hadis yang sahih dengan hadis-hadis palsu. Ketiga, bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam sementara kemampuan para tabiin antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan usaha kodifikasi.[2]
           Usaha pengumpulan dan pembukuan hadis tersebut merupakan tindakan yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai upaya penyelamatan hadis dari kemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat terjadinya pergolakan politik pada saat itu.

           Dalam bukunya yang berjudul Aktualisasi Hadis Nabi di Era Teknologi Informasi, Prof. Dr. H.M. Erfan Soebahar, M.A. menyebutkan bahwa terdapat dua pandangan terhadap proses penulisan dan pembukuan naskah hadis yang merupakan agenda kodifikasi hadis ini. Pertama, kodifikasi dipandang bermula sejak abad ke-2 Hijriyah, sejak beredar perintah menulis hadis secara formal melalui Surat Perintah Khalifah Umar bin Ibn ‘Abdil Aziz.[3] Kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm (Gubernur Madinah) dan para ulama Madinah, ia mengirim intruksi yang antara lain berbunyi:
أُنْظُرْ مَاكَانَ مِنْ حَدِيْثِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاكْتُبُهُ فَإِنِّي خِفْتُ دُرُوْسَ الْعِلْمِ وَذَهَابَ العُلَمَاءِ وَلاَتَقْبَلْ إِلاَّحَدِيْثَ الرَّسُوْلِ صَلَي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِتَفْشُوْا العِلْمَ         
 وَلِتَجْلِسُوْا حَتَّى يَعْلَمُ مَنْ لاَيَعْلَمُ فَإِنَّ العِلْمَ لاَيَهْلِكُ حَتَّى يَكُوْنَ سِتْرَا.                
“Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadtis Rasul, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan Anda terima selain hadits Rasul dan hendaklah Anda tebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.

Melalui instruksi tersebut muhadditsun mendapatkan ghiroh untuk melakukan penelitian dalam rangka mengumpulkan naskah-naskah hadis, menyeleksi, dan kemudian menulisnya. Akan tetapi, dalam proses yang berlangsung hadis-hadis tersebut harus diuji dari segi otentisitasnya.
Kedua, kodifikasi itu sudah berproses sejak masa Nabi SAW, karena Nabi pernah menyuruh hadis ditulis oleh sahabat untuk menghadapi kehidupan umat. Mula-mula ia berbentuk respons kesadaran individu-individu sahabat, yang diwujudkan dalam penulisan hadis demi hadis di dalam catatan pribadinya berwujud shahifah-shahifah atau nama-nama lain dari agenda menuskripnya.[5]
Akhirnya, bentuk dari respons-respons tersebut menjadi satu kesatuan sebagai bahan pembukuan hadis. Dari agenda kodifikasi tersebut dapat disimpulkan bahwa penulisan dan pembukuan hadis merupakan suatu proses yang sangat panjang untuk menghasilkan karya, yaitu kitab-kitab hadis.
1.      Mencari guru atau menghubungi muhaddits lain
Mencari data hadis dibeberapa guru sambil menuntut ilmu atau menghubungi muhaddits lain merupakan cara yang lazim dilakukan muhaddits dalam rangka memperoleh data hadis yang diperlukan. Guru dalam konteks ini ialah setiap orang yang memberikan keterangan mengenai data hadis yang dicari oleh muhaddits.
Muhaddits yang mencari guru untuk memperoleh data hadis, diantaranya adalah al-Bukhari, Abu Daud, dan al-Turmudzi. Diantara guru-guru al-Bukhari yang memberikan data hadis kepadanya yaitu Abu Ashim al-Nabil, Makki bin Ibrahim, Muhammad bin Isa bin at-Thobba, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Manshur, dan Ahmad bin Isykab.
Diantara guru-guru Abu Daud yang darinya diperoleh data hadis yaitu al-Qa’nabi, Sulaiman bin Harb, Muslim bin Ibrahim, Abu al-Walid al-Asayalitsi, Sofwan bin Salih, serta Hisam bin Ammar. Akhirnya diantara guru-guru al-Turmudzi adalah al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Kutaibah bin Said, serta Muhammad Ibnu Basyar. Al-Turmudzi termasuk pengagung al-Bukhari dan ia pernah dibawah asuhannya

2.      Melakukan kunjungan keilmuan (Rihlah Ilmiyah)
Rihlah merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh muhaddits untuk mendapatkan data-data hadis. Rihlah yang bentuk jamaknya Rihlaat berarti perjalanan, kunjungan dan pengembaraan. Pelakunya disebut ar-ihhaal atau al-rihhaalah, artinya pengunjung, penjelajah, atau pengembara.
Muhadditsun dalam rangka mendapatkan hadis-hadis mengadakan rihlah ke berbagai kota yaitu di negrinya hingga ke luar negri. Al-Bukhari misalnya, berkunjung ke berbagai kota seperti ke Makkah untuk menuntut ilmu, ke Madinah yang di tempat itu disusun outline al-Jami’ al-shahihnya, juga ke Syam (Siria), Mesir, Basrah, Kuffah, dan Bagdad. Selama diperjalanan ia mengumpulkan dan menulis hadis. Sedangkan Abu Daud mengadakan kunjungan dibeberapa negara, yaitu Irak, Kuffah, Basrah, Syam, Jazirah, Hijaz (Makkah), Mesir, Iran, dan Sijistan. Sementara al-Turmudzi yaitu berkunjung di Khuarasan, Basrah, Kuffah, Wasith, Bagdad, Makkah, Madinah, serta Iran.

3.      Adab Interaksi Muhadditsun
Ada beberapa etika yang biasa dipegangi oleh Muhadditsun, yaitu:
a.       Keikhlasan niat yang diarahkan semata-mata karena Allah.
b.      Usia penyampaian hadis adalah yang tergolong mampu menyampaikan riwayat yang dibutuhkan bekisar usia 40-50 an.
c.       Muhaddits wajib berbudi yang baik, terpuji perilakunya, dan berpenampilan baik.
d.      Bila hendak mendatangi majlis dianjurkan bersuci, mengenakan wewangian, membersihkan gigi, berpakaian bersih, sopan, anggun, dan dapat duduk dengan tenang dan berwibawa karena menghormati Nabi.
e.       Menanggapi seluruh siswa yang dihadapi dan tidak menghususkan suatu riwayat kepada sebagian saja.
f.       Harus memberikan riwayat secara utuh sesuai daya jangkau siswa, termasuk penyebutan tokoh-tokoh yang harus diucapkan secara baik.[9]

1.        Umar ibn Abdul Al Aziz (61-101 H)
Seorang Khalifah dari Bani Umayah yang berkuasa pada tahun 99-101 H. Dialah sang pelopor yang memerintahkan para ulama untuk mendirikan majelis-majelis hadis dan membukukan hadis Nabi. Para Ulama yang mendapat perintah untuk mengumpulkan dan membukukan hadis tersebut diantaranya Ibn Syihab al-Zuhri, Amarah binti Abd Arrahman dan Abu Bakar Ibn Hazm.[10]
2.        Abu Bakr ibn Muhammad ibn Hamz (w. 117 H)
Ia adalah gubernur Madinah yang berhasil mengumpulkan hadis dari para penghafalnya atas instruksi khalifah Umar ibn Abd Aziz. Dalam kapasitasnya sebagai ahli hadis, para ulama memasukannya ke dalam Al-tsiqah.[11]
3.        Ibn Syihab Al-Zuhri (50-125 H)
Sebagaimana Abu Bakr ibn Hamz, ia mendapat kepercayaan dari khalifah Umar ibn Abd Aziz untuk mengumpulkan hadis-hadis. Menurut para ulama, hadis karyanya dinilai lebih lengkap dari pada hasil karya Abu Bakr ibn Hamz. Namun sayang hasil karya keduanya hilang, sehingga tidak sampai ke tangan generasi berikutnya.
4.        Al-Ramahurmuzi (265-360H)
Nama lainnya yaitu Abu Muhammad Al-Khalad. Ia adalah orang yang pertama menyusun satu ilmu hadis secara lengkap sebagai disiplin ilmu.[12]
5.        Imam Malik Ibn Anas (93-179 H)
Selain ahli hadis, Imam Malik juga seorang faqih. Ia mendapat gelar kehormatan “Sayyidi Fuqaha Al-Hijaz”. Imam Malik mengambil hadis secara qira’ah dari Nafi’ ibn Nu’aim, Al-Zuhry, Nafi’ pelayan Ibnu ‘Umar ra. dan lain sebagainya.[13]
6.        Imam Al-Syafi’i (150-204 H)
Disamping menguasai dalam bidang Al-Kitab, Ilmu Balaghah, Ilmu Fiqh, ilmu berdebat juga terkenal sebagai muhaddits. Orang-orang Mekkah memberikan gelar kepadanya “Nashir Al-Hadits” (penolong memahamkan hadis).[14]
7.        Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H)
Ia banyak meriwayatkan hadis  yang berasal dari tokoh kenamaan. Riwayat itu diantaranya berasal dari bisyiral-Mufdal al-Raqqasi, Sufyan Ibn Uyainah, Yahya Ibn Said al-Qatani, Abdul al-Razaq, dan lainnya. Sedangkan orang yang meriwayatkan hadis yang berasal darinya (murid), diantaranya al-Bukhari, Muslim, Abu daud, dan lainnya.[15] Salah satu keistimewaannya adalah mempunyai tulisan sebanyak 12 macam yang semuanya sudah dikuasai diluar kepala.
8.        Imam Bukhari (194-256 H)
Imam Bukhari merupakan salah satu ulama muda yang sejak umur kurang lebih 10 tahun, sudah mempunyai perhatian terhadap ilmu-ilmu hadis. Ia juga terkenal dengan kepandaian, ketelitian, dan hafalannya dalam ilmu hadis.[16]
9.        Imam Muslim (204-261 H)
Imam Muslim adalah salah seorang muhadditsin, hafidh lagi terpercaya terkenal sebagai ulama yang gemar bepergian mencari hadis. Banyak sekali hasil karyanya, salah satunya ia telah menyusun tiga kitab musnad.[17]
10.    Imam Abu Daud (202-275 H)
Abu Daud senang merantau (Rihlah) mengelilingi negeri-negeri tetangga untuk mencari hadis dan ilmu-ilmu yang lain. Kemudian mengumpulkan, menyusun, dan menulisnya yang telah diterima dari para ulama yang ditemuinya.[18]
11.    Imam Al-Tirmidzi (209-279 H.)
Ia adalah seorang imam, hafidz, dan kritikus hadis. Al-Tirmidzi telah menulis banyak kitab yang hadis-hadisnya telah diberi keterangan dan penjelasan, sehingga bisa dicapai oleh setiap orang.
12.    Imam Al-Nasa’i (215-303 H.)
Sebagian Muhadditsin menilai bahwa ia lebih hafidz dan lebih tinggi pengetahuannya dibanding dengan Imam Muslim di bidang hadis.
13.    Imam Ibnu Majah (209-273 H.)
Sebagaimana para muhadditsin lainnya, Ibnu Majah memerlukan perantauan ilmiah untuk menemui dan berguru hadis pada para ulama hadis.[19]

           Terdapat 9 hingga 15 kitab yang sudah dikenal di Indonesia. Kesembilan kitab dikenal sebagai Kutub al-Tis’ah, sedang yang enam menyebar menjadi kitab yang juga dipergunakan sebagai rujukan yang membantu untuk menopang kepada sembilan kitab yang ada.[20] Diantara sembilan kitab (Kutub al-Tis’ah) tersebut, terdapat enam kitab yang berstatus sebagi kitab hadis induk atau oleh ulama hadis disebut dengan al-Kutub al-Sittah. Kitab Hadis Induk yang Enam yaitu Shahih al-Bukhari karya Imam al-Bukhari, Shahih Muslim karya Imam Muslim, Sunan Abi Daud karya Imam Abu Daud, Sunan al-Turmudzi karya Imam al-Turmudzi, Sunan al-Nasa’i karya Imam al-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah karya Ibnu Majah.
           Kitab hadis lainnya yaitu Sunan al-Darimi karya Imam al-Darimi, al-Mu-waththa’ Malik karya Imam Malik, Musnad Ahmad karya Imam ahmad, Sunan al-Shaghir karya Imam al-Baihaqi, Shahih Ibn Khuzaimah karya Abu Bakar al-Naisaburi, al-Mustadrak’ala al-Shahihain al-Hakim karya Muhammad al-Hakim al-Naisaburi, Kitab al-Mu’jam al-Shaghir al-Thabrani karya Sulaiman bin Ahmad al-Thabrani, Kitab al-Umm karya Imam Syafi’i, dan Kitab al-Kafi karya Muhammad bin Yakkub al-Kulaini al-Razi.
           Sedangkan beberapa metode yang digunakan untuk menyusun kitab hadis yaitu metode juz dan athraf, metode tabwib, metode muwaththa, metode mushannaf, metode musnad, metode jami’, metode mustakhraj, metode mustadrak, metode sunan, metode mu’jam, metode majma’, dan metode zawaid.[21] Masing-masing metode memiliki ciri khas sendiri dan saling berkaitan antara satu dengan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar