Senin, 16 Juni 2014

Makalah Ilmu Hadis, Periwayatan & Penerimaan Hadis


Makalah Ilmu Hadis
Periwayatan & Penerimaan Hadis


UIN Alauddin Makassar
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam
Jurusan Akuntansi
2013/2014

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hadis adalah salah satu hukum  kita sebagai umat islam selain Al-qur’an, oleh karena itu kita diajarkan untuk mengamalkan keduanya sehingga tetap berada di jalan yang di ridhai oleh Allah SWT. Terkhusus dalam hal hadis terkadang Dalammenyampaikansuatuhadits,kebanyakan orang tidakpeduliterhadap yang meriwayatkannya. Yang merekalihathanyalahisinya.sedangkandiketahui,bahwauntukmencapaiisidarisuatuhadits,makadibutuhkanadanyaperawi. Adanyaperawi,belumbisamenjaminbahwahaditstersebutkualitasnyashahihatautidak.Makadibutuhkanpengetahuan yang mengantarkankitamengetahuikondisiperawitersebut.Maka,diperlukanbagikitamengetahuisyarat-syaratperawi yang tsiqah.Tidaklahmenyampaikanhaditstersebutkepadakhalayak,tanpamengetahuikondisihaditstersebut.
Berbicaratentanghadits, makatidakadasalahnyakitamemandangkebelakang.Melihatkeadaandancaraseorangmuridmengambilhaditsdariseorang guru.
Rumusan Masalah
Berdasarkanlatarbelakangdiatasmakadapatdiuraikanrumusanmasalahsebagaiberikut :
Apakahsyarat-syarat periwayatan hadis?
Bagaimanakah cara penerimaan hadis?



BAB II
PEMBAHASAN
Syarat-SyaratPeriwayatanHadis
Raawimenurutbahasaberasaldari kata riwaayahyang merupakanbentukmashdardari kata kerjarawaa-yarwii,yangberarti”memindahkanataumeriwayatkan”. Bentuk plural dari kata raawiiadalahruwaat.Jadiraawiiadalah orang yang meriwayatkanataumenuliskandalamsuatukitabapa-apa yang pernahdidengarnyadanditerimanyadariseseorang.
Secaradefenisi,kata riwaayahadalahkegiatanpenerimaanataupenyampaianhadits, sertapenyandaranhaditsitukepadarangkaiandariperiwayatnyadalambentuk-bentuktertentu. Orang yang telahmenerimahaditsdariseorangperiwayat ,tetapidiatidakmenyampaikanhaditsitukepada orang lain,makadiatidakdapatdisebutsebagaiseorang yang telahmelakukanperiwayatnhadits. Demikian pula halnyadengan orang menyampaikanhadits yang diterimanyakepada orang lain,tetapiketikaiamenyampaikanhaditsitu, iatidakmenyebutkanrangkaianparaperawinya, maka orang tersebutjugatidakdapatdinyatakansebagai orang yang telahmelakukanperiwayatanhadits.[1]
Salah satufaktor yang dapatmempengaruhidapatatautidakditerimanyasuatuhaditsialahkualitasraawii.Tinggirendahnyasifatadildandabithparaperawimenyebabkankuatlemahnyamartabatsuatuhadits.Perbedaancaraparaperawimenerimhaditsdari guru merekamasing-masingmengakibatkanmunculnnyaperbedaanlafadz-lafadz yang dipakaidalamperiwayatanhadits. Karnaperbedaanlafadz yang dipakaidalampennyampaianhaditsmenyebabkanperbedaannilai (kualitas) darisuatuhadits.
penelitiandibidangraawiisangatpentingdalamupayamenentukankualitassuatuhadits. Suatuberitadianggapkuatkeasliannyakalaupembawaberitamemilikipersyaratankejujurandankemampuan yang dapatdipertanggungjawabkan.Karenaperawiharusmendapatsorotantajamsehinggalahirlahsebuahcabangilmuhadits yang terkenal,yaituilmujarhwa al ta’dil. Untukmelihatsejauhmanakualitasseorangperawidapatdilihatmelaluijarhdanta’dil.
Sebagaimana telah disebutkan,bahwa al-adla’ ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadist kepada orang lain. Oleh karenanya ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu menurut pertanggung jawaban yang cukup berat, sebab sah tidaknya suatu hadist juga sangat tergantung padanya.
Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli hadis, ahli uhsul, dan ahli fiqih menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadis[2], yakni sebagai berikut:
Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadis, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut ijma, periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja kita disuruh bertawaquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini bisa kita bandingkan dengan firman allah sebagai berikut :
Hai orang-orang yang beriman, jikadatingkepadamu orang fasikmembawasuatuberita, makaperiksalahdenganteliti agarkamutidakmenimpakansuatumusibahkepadasuatukaumtanpamengetahuikeadaannya yang menyebabkankamumenyesalatasperbuatanmuitu. (Q.S, Al-hujurat (49) : 6)
Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatka hadis, walau penerimanya sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada hadis rasul :
رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يبرا وعن الناءم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم
  hilangkan kewajibanmenjalankan syari’at islam dari tiga golongan, yaitu orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai ia bangun dan anak-anak sampai ia mimpi”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i).
‘Adalah
Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.[3]
Dhabit
Dhabit[4] ialah :
keterjagaanseorangperawipadasaatmenerimahadits,memahaminyaketikamendengarnya,danmenghafalnyasejakmenerimahaditssampaimenyampaikannyakepada orang lain.
“teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadis yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya”.
Jalannya mengetahui ke-dhabit-an perawii dengan jalan i’tibar terhadap berita beritanya dengan berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan.
Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat yang disebutkan diata, antara satu peraqi  dengan perawi yang lain harus  bersambung, hadis yang disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang lebih kuat ayat-ayat al-quran.
Dari uraian di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa al tahammul danal-ada’ merupakan masalahyang cukup berat, baik berkaitan dengan cara bertahammul maupun syarat-syarat yangharus dipenuhi dalam al-ada’.

Cara penerimaan hadis
Para ulama hadis menggolongkan metode menerima suatu periwayatan hadis menjadi delapan macam.
Al-sima’
Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya dengan cara didektekan baikdari hafalannya maupun dari tulisannya, sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikannya tersebut[5]. Menurut jumhur ahli hadis bahwa cara ini merupakan penerimaan hadis yang paling tinggi tingakatannya. Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa al-sama’ yang di barengi dengan al-kitabah mempunyai nilai paling tinggi dan paliong kuat. Karena terjuamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibanding dengan cara- cara yang lainnya, disamping para sahabat juga menerima hadis dari nabi SAW dengan cara seperti ini.
Termasuk dalam kategori sama’ juga seseorang yang mendengarkan hadis dari syeikh dari balik sattar ( semacam kain pembatas/penghalang). Jumhur ulama membolehkannya dengan berdasar pada para sahabat yang juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadis-hadis rasulullah SAW melalui  ummuhat al-mu’minun (para istri nabi)[6].
Menurut al-qadhi iyad, yang dikutip oleh Al-Suyuthi, didalam cara (sama’) ini, para ulama tidak memperselisihkan kebolehan rawy dalam meriwayatkannya, menggunakan kata-kata:
Haddatsanaa (حدثنا) (telahmenceritakankepada kami),haddatsani(حدثني) (telahmenceritakankepadaku)
Sami’na(سمعنا)(kami mendengar), sami’tu (سمعت) (sayamendengar)
Anba’anaa(انبا نا)(telahmemberitakankepada kami), anba’anii (انبا ني)(telahmeberitakankepadaku)
Akhbaranaa(اخبرنا)(telahmemberitakankepada kami), akhbaranii(اخبرنى)(telahmemberitakankepadaku).
Al-qira’ah Ala Al-Syaikh atau ‘Aradh Al-Qiraah,
Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan hadis di hadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedang sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru hafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau mengetehui tulisannya atau dia tergolong tsiqqah.
Ajjab Al-Khatib dengan mengutip pendapat imam ahmad mensyaratkan orang yang membaca (qari’) itu mengetahui dan memahami apa yang dibaca. Sementara syarat bagi syeikh dengan mengutip pendapat imam Haramain- hendaknya yang ahli dan teliti ketika mendengar atau menyimak dari apa yang dibacakan oleh qari’, sehingga tahrif maupun tashif dapat terhindarkan. Jika tidak demikian maka proses tahammul tidak sah.
Para ulama sepakat bahwa cara seperti ini dianggap sah, namun mereka berbeda pendapat mengenai deraja al-qiraah. Diantara mereka berbeda pendapat mengenai derajat al-qira’ah. Di antara mereka, seperti Al-Lais bin sa’ad, syu’ban, ibnu jura’ah lebih baik jika dibanding al-sama’, sebab dalam al-sama’ bila bacaan guru salah, murid tidak leluasa menolak kesalahan. Tetapi, dalam al-qira’ah bila bacaan murid salah, guru segera membenarkannya. Imam malik, bukhari, sebagian besar ulama Hijaz dan kufah menganggap bahwa antara al-qira’ah dengan al-sama’ mempunyai derajat yang sama. Ibnu Abbas mengatakan (kepada muridnya) “bacakanlah kepadaku, sebab bacaan kalian kepadaku seperti bacaanku kepada kalian”. Sementara Ibnu Al-Shalah, imam namawi dan jumhur ulama memandang bahwa al-sama’ lebih tinggi derajatnya dibandang dengan cara al-qira’ah. Adapun kata yang digunakan yaitu :

قرات على فلا ن:sayatelahmembacapadafulan
قرء على فلان:dibacakankepadafulandansayamendengarnya
:حدثني بقراءة عليهTelahmeceritakankepadakubacaannya
حدثني قراءة عليه وانا اسمع:telahmenceritakanbacaannyadansayamendengar.
اخبرني بقراءة عليه:telahdiberitakankepadakubacaannya.
اخبرني قراءة عليه:telahmengkhabarkankepadakubacaannyadansayamendengarnya.
اخبرني بقراءة عليه:telahmengkhabarkanbacaannyakepadaku.
:اخبرنى قراءة عليه وانا اسمعTelahmengkhabarkanbacaannyakepadakudansayamendengarnya.
Al-ijazah[7]
Yakini seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti :
حدثني اجازة:telahmenceritakankepadakumelaluiijaazah.
اخبرني اجازة:telahmenceritakankepadakumelaluiijaazah.
انباني اجازة:telah member tahukepadaku.
 (saya mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku)
Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai cara untuk meriwayatkan hadis dengan menggunakan ijazah ini dianggap bid’ah dan tidaak diperbolehkan dan bahkan ada sebagian ulama yang menambahkan bahwa ijazah ini benar-benar diingkari. Sedangkan ulama yang memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat hendaknya sang guru benar-benar mengerti tentang apa yang diijazahkan dan naskah muridnya menyamai dengan yang lain, sehingga seolah-olah naskah tersebut adalah asslinya serta hendaknya guru Yang memberi ijazah itu benar-benar ahli ilmu.
Al-Qadhi ‘iyad membagi ijazah ini menjadi enam macam, sedang Ibnu Al-Shalah menambah satu macam lagi, sehingga menjadi tujuh macam. Ketujuh macam al-ijazah tersebut sebagai berikut:
Pertama, seorang guru mengijazahkan kepada seseorang tertentu atau kepada beberapa orang tertentu sebuah kitab atau beberapa kitab yang dia sebutkan kepada mereka. Al-Ijazah seperti ini diperbolehkan menurut jumhur.
Kedua, bentuk ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu, seperti “saya ijazahkan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan dariku”. Cara ini menurut jumhur juga tergolong yang diperbolehkan.
Ketiga, bentuk ijazah secara umum, seperti diungkapkan “saya ijazahkan kepada kaum muslim atau kepada orang-orang yang ada (hadir)”.
Keempat, bentuk al-ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Cara ini dianggap fasid (rusak).
Kelima,  bentuk ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan. Bentuk ijazah seperti ini tidak sah.
Keenam, bentuk al-ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan atau dibacakan kepada penerima ijazah, seperti ungkapan “saya ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dari sesuatu yang akan kudengarnya”. Cara seperti ini dianggap batal.
Ketujuh, bentuk al-ijazah al-munaz seperti perkataan guru “saya ijazahkan kepadamu ijazahku”. Bentuk yang seperti ini termasuk yang diperbolehkan.
Al-munawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau sebuah kitab kepada muridnya untuk di riwayatkan. Ada juga yang mengatakan, bahwa al-munawalah ialah seorang yang guru yang memberi kepada seorang murid, kitab asli yang didengar dari gurunya, atau suatu naskah yang telah dicocokkan, sambil berkata “ inilah hadis-hadis yang sudah saya dengar dari seseorang, maka riwayatkanlah hadis itu dariku dan saya ijazahkan kepadamu untuk diriwayatkan”.
Al-munawalah itu mempunyai dua bentuk, yakni :
Pertama, Al-munawalah dibarengi dengan ijazah. Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitabnya yang telah ia riwayatkan atau naskahnya yang telah ia cocokkan atau beberapa hadis yang telah ditulis, laludia katakan kepada muridnya  “ini riwayat saya, maka riwayatkanlah diriku”. Kemudian menyerahkannya dan sang murid menerima sambil sang guru berkata “saya telah ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku”. Termasuk Al-munawalah dalam bentuk ini ialah sang murid membacakan nsakah yang diperoleh dari gurunya , kemudian sang guru mengakui dan mengijazahkan kepada muridnya untuk diriwayatkan darinya. Cara seperti ini, menurut Al-Qadhi’iyad termasuk periwayatan yang dianggap sah oleh para ulama ahli hadis.hadis yang berdasarkan munawalah tanpa dibarengi ijazah ini biasanya menggunakan redaksi :
  حدثني مناولة:telahmenceritakankepadakudenganmunaawalah.
Kedua, Al-munawalh tanpa dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru kepada muridnya “ini hadis saya” atau “ini hasil pendegaranku atau dari periwayatanku” dan tidak mengatakan “riwayatkanlah dariku atau saya ijazahkan kepadamu”. Menurut kebanyakan ulama al-munawalah dalam bentuk ini tidak diperbolehkan. Hadis yang diriwayatkan berdasarkan munawalah tanpa dibarengi ijazah ini biasanya menggunakan redaksi :
اخبرني مناولة:telahmengkhavarkankepadakudengancaramunaawalah.
Al-mutakabah
Yakni seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadisnya guna diberikan kepada murid yang ada di hadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan yang dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya[8].
Kalauriwayatitudenganjalanini,shighatnyaadalahsebagaiberikut:
a.      حدثني خطابة:telah men-ceritakankepadakudengankhitaabah.
b.      اخبرني خطابة:telahmengkhabarkankepadakudengankhitaabah.

Al-Mukatabah ada dua macam, yakni:
Pertama, al-mutakabah yang dibarengi dengan dengan ijazahyakni guru yang menuliskan beberapa hadis untuk diberikan kepada muridnya disertai dengan kata-kata “ini adalah hasil dari periwayatanku, maka riwayatkanlah “ atau “saya ijazah (izin)-kan kepadamu untuk kamu riwayatkan kepada orang lain”. Kedudukan al-mukatabah dalam bentuk ini sama halnya dengan al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yakni dapat diterima.
Kedua, al-mukatabah yang tidak dibarengi dengan ijazah, yakni guru menuliskan hadis untuk diberikan kepada muridnya atau mengijazahkan. Al-mukatabah dalam bentuk ini diperdelisihkan oleh para ulama. Ayyub, Mansur, Al-Lais, dan tidak sedikit dari ulama Syafi’iyah dan ulama usul menganggap sah periwayatan dengan cara ini. Sedangkan Al-Mawardi menganggap tidak sah.

Al-I’lam
Yakni pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa kitab atau hadis yang diriwayatkannya dia terima dari seseorang (guru), dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkannya atau menyuruhkannya. Sebagian ahliulama ushul dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Al-Shalah menetapkan tidak sah meriwayatkan hadis dengan cara ini. Karena dimungkinkan bahwa sang guru sudah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan kebanyakan ulama ahli hadis, ahli fiqih, dan ahli ushul memperbolehkannya[9].
Contohnya:
حدثني اعلاما:telahmenceritakankepadakudenganpemberitahuan.
اخبرني اعلا ما:telahmengkhabarkankepadakumelaluicarapemberitahuan.
Al-wasyiah
Yakni seorang guru, ketika akan meninggal atau bepergian, meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis atau kitabnya, setelah sang guru meninggal atau bepergian. Periwayatan hadis dengan cara ini oleh jumhur dianggap lemah. Sementara Ibnu Sirin memperbolehkan mengamalkan hadis yang diriwayatkan atas jalan wasiat ini[10]. Orang yang diberi wasiat ini tidak boleh meriwayatkan hadis dari si pemberi wasiat dengan redaksi:
a.      حدثني وصية:telahmenceritakankepadakudenganwasiat.
b.      اخبرني وصية:telahmengkhabarkankepadakudengancarawasiat.
karena si penerima wasiat tidak bertemu dengannya.
Al-wijadah
Yakni seorang yang memperoleh hadis orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadis dengan tidak melalui cara al-sama’, al-ijazah atau al-munawalah. Para ulama berselisih pendapat mengenai cara ini. Kebanyakan ahli hadis dan ahli fiqih dari mazhab malikiyah tidak memperbolehkan meriwyatakan hadis dengan cara ini. Imam Syafi’i dan segolongan pengikutnya meperbolehkan beramal dengan hadis yang periwayatannya melalui cara ini. Ibnu Al-Shallah mengatakan bahwa sebagian ulama muhaqiqin mewajibkan mengamalkannya bila diyakini kebenarannya.
Adapun shigat-shigatnya[11] yaitu :
a.      وجد ت بخط فلان قا ل اخبرني:sayamendapatimelaluitulisanfulan yang berkatabahwaiamengkhabarkankepadaku.
b.      وجد بخطاب ذكر انه لفلان قال اخبرني:iamendapattulisandaniamenyebutkanbahwauntukfulaniaberkataiamengkhabarkankepadaku.
c.       وجدت بخط قيل انه لفلان قال اخبرني:sayamendapatkantulisan,dikatakanuntukfulan,iaberkata, iaamengkhabarkankepadaku.






BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasandiatas, makadapatdisimpulkanbahwa, dalam periwayatan hadis dibutuhkanadanyaperawi.Selain itu dalam periwayatan hadis terdapat syarat-syarat dan metode yang harus dipenuhi agar suatu hadis dapat dikatakan sahih atau sah.

Saran
Berdasarkankesimpulan yang dikemukakandiatas, makapenulismenyarankanhal-halberikut:
Marilah kita memperdalam ilmu kita dengan banyak membaca.
Marilah belajar lebih jauh mengenai hukum islam kita sebagai umat islam.
Jadikanlah al-quran dan Hadis sebagai pedoman dan petunjuk hidup.


Daftar Pustaka
Suparta, Munzier. 2001. Syarat-syarat periwayatan hadis. Jakarta. Rajawali Pers
Suparta, Munzier. 2001. Cara periwayatan hadis. Jakarta. Rajawali Pers
Sabir maidin, Muhammad. 2012. Ingkar sunnah/hadisI. Makassar. Alauddin University Pers
Ismail, M. Syuhudi. 1987. PengantarIlmuHadis. Ujung Pandang. Angkasa
Ash-Shadieqy, Hasbi.Opcit.
Syahraeni, A. KritikSanadDalamPerspektifSejarah. Samata: Alauddin Press. 2011.
Yahya, Muhammad. Kaedah-KaedahPeriwayatanHadisNabi.Samata: Alauddin University Press. 2011.
Suparta, Munzier. Ilmuhadis. Jakarta: Rajawali Pers. 2013.
Sabir, Muhammad. Ingkarsunnah/ hadis 1. Makassar: Alauddin University Press. 2012.
Mudasir.h. IlmuHadis. Bandung: cv.pustakasetia. 1999







[1]M. Syuhudi Ismail, KaedahKesahihanSanad Dan Hadis, (Jakarta; PT BulanBintang) hlm. 23

[2]Syhudi Ismail. Opcit.Hlm. 24
[3]A. syahraeni, KritikSanaddalamPersfektifSejarah, (Samata: Alauddinpers, th. 2011), h.135
[4]A. syahraeni, KritikSanaddalamPersfektifSejarah, (Samata: Alauddinpers, th. 2011), h.128
[5]Drs. H. Muhammad Yahya, M.Ag, Kaedah-kaedahPeriwayatanHadisNabi, (Samata: Alauddin University Press, th 2012), hlm 55

[6]Hasbi Ash-Shadieqy, opcit. Hlm. 42


[7]Munziersuparta. Syarat-syarat periwayatan hadis. (Jakarta: Rajawali Pers)

[8]MunsairSuparta. Cara periwayatan hadis. (Jakarta:Rajawali Pers)

[9]Muhammad Sabir maidin.2012. Ingkar sunnah/hadisI.(Makassar:Alauddin University Pers)
[10]M. Syuhudi Ismail. 1987. PengantarIlmuHadis.(Ujung Pandang:Angkasa)
[11]Mudasir.h. IlmuHadis. (Bandung: cv.pustakasetia).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar