Makalah
Ilmu Hadis
Pembukuan
Hadis
Jurusan
Akuntansi
Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Islam
UIN
Alauddin Makassar
2013/2014
I.
Latar Belakang
Setelah Rasul
SAW wafat, al-Qur’an mulai dibukukan dan pembukuan secara keseluruhan selesai
pada khalifah Utsman bin Affan. Muhadditsun tertuntut untuk memulai pembukuan
hadis karena al-Qur’an hanya bisa dipahami secara utuh jika bergandengan dengan
hadis sebagai pengukuh hukum, penjelasan isi global, serta pembuat hukum yang
menyempurnakan hukum al-Qur’an. Selain itu, lahirnya rencana dan usaha
pembukuan hadis merupakan bentuk pengaruh positif dari peristiwa perpecahan
politik dan pemalsuan hadis yang terjadi sejak masa sahabat. Usaha pembukuan
hadis tersebut diagendakan sebagai upaya penyelamatan dari kemusnahan dan pemalsuan
hadis.
Sebagai
generasi penerus Islam hendaknya kita mengetahui dan mempelajari tentang
sejarah pembukuan hadis, dimana hal ini merupakan salah satu bagian dari Ilmu
Hadis. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan
beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pembukuan hadis. Permasalahan
tersebut yaitu pengertian pembukuan atau tadwin
hadis, latar belakang diadakannya pembukuan hadis, masa penulisan dan pembukuan
hadis, cara memperoleh data pembukuan hadis, tokoh-tokoh yang berperan dalam pembukuan
hadis, dan macam-macam kitab hadis serta metode penyusunannya.
II.
PEMBAHASAN
Kodifikasi atau tadwin hadis
artinya pencatatan, penulisan, atau pembukuan hadis. Tadwin yang dimaksud dalam pembahasan disini ialah kodifikasi
secara resmi berdasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil
yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakukan oleh perorangan atau untuk
kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada masa sebelumnya. Kegiatan ini
dimulai pada masa pemerintahan Islam dipimpin oleh khalifah Umar bin Abd
al-Aziz.
Ada tiga faktor yang menjadikan khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil
kebijaksanaan mengumpulkan hadis. Pertama,
yang sangat ia khawatirkan adalah hilangnya hadis-hadis dengan meninggalnya
para ulama di medan perang, sebagaimana terlihat pada naskah surat-surat yang
dikirimkan kepada para ulama, sebab peranan ulama pada saat sebelumnya bukan
hanya mengajarkan ilmu agama, melainkan turut ke medan perang atau bahkan
mengambil peranan penting dalam suatu pertemuan.
Kedua, Ia khawatir akan tercampurnya hadis-hadis yang sahih dengan hadis-hadis
palsu. Ketiga, bahwa dengan
semakin meluasnya daerah kekuasaan islam sementara kemampuan para tabiin antara
satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan usaha kodifikasi.[2]
Usaha pengumpulan dan pembukuan hadis tersebut merupakan tindakan yang
dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai upaya penyelamatan hadis dari
kemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat terjadinya pergolakan politik pada
saat itu.
Dalam bukunya yang berjudul Aktualisasi Hadis Nabi di Era Teknologi Informasi,
Prof. Dr. H.M. Erfan Soebahar, M.A. menyebutkan bahwa terdapat dua pandangan
terhadap proses penulisan dan pembukuan naskah hadis yang merupakan agenda
kodifikasi hadis ini. Pertama,
kodifikasi dipandang bermula sejak abad ke-2 Hijriyah, sejak beredar perintah
menulis hadis secara formal melalui Surat Perintah Khalifah Umar bin Ibn ‘Abdil
Aziz.[3] Kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn
Hazm (Gubernur Madinah) dan para ulama Madinah, ia mengirim intruksi yang
antara lain berbunyi:
أُنْظُرْ
مَاكَانَ مِنْ حَدِيْثِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَاكْتُبُهُ فَإِنِّي خِفْتُ دُرُوْسَ الْعِلْمِ وَذَهَابَ العُلَمَاءِ
وَلاَتَقْبَلْ إِلاَّحَدِيْثَ الرَّسُوْلِ صَلَي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَلِتَفْشُوْا العِلْمَ
وَلِتَجْلِسُوْا حَتَّى
يَعْلَمُ مَنْ لاَيَعْلَمُ فَإِنَّ العِلْمَ لاَيَهْلِكُ حَتَّى يَكُوْنَ
سِتْرَا.
“Lihat dan periksalah apa yang
dapat diperoleh dari hadtis Rasul, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap
ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan Anda terima selain hadits Rasul
dan hendaklah Anda tebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis ilmu supaya
orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu
hingga dijadikannya barang rahasia.
Melalui
instruksi tersebut muhadditsun mendapatkan ghiroh untuk melakukan penelitian
dalam rangka mengumpulkan naskah-naskah hadis, menyeleksi, dan kemudian
menulisnya. Akan tetapi, dalam proses yang berlangsung hadis-hadis tersebut
harus diuji dari segi otentisitasnya.
Kedua, kodifikasi itu sudah berproses sejak masa Nabi SAW,
karena Nabi pernah menyuruh hadis ditulis oleh sahabat untuk menghadapi
kehidupan umat. Mula-mula ia berbentuk respons kesadaran individu-individu
sahabat, yang diwujudkan dalam penulisan hadis demi hadis di dalam catatan
pribadinya berwujud shahifah-shahifah atau
nama-nama lain dari agenda menuskripnya.[5]
Akhirnya,
bentuk dari respons-respons tersebut menjadi satu kesatuan sebagai bahan
pembukuan hadis. Dari agenda kodifikasi tersebut dapat disimpulkan bahwa
penulisan dan pembukuan hadis merupakan suatu proses yang sangat panjang untuk
menghasilkan karya, yaitu kitab-kitab hadis.
1. Mencari guru
atau menghubungi muhaddits lain
Mencari data
hadis dibeberapa guru sambil menuntut ilmu atau menghubungi muhaddits lain
merupakan cara yang lazim dilakukan muhaddits dalam rangka memperoleh data
hadis yang diperlukan. Guru dalam konteks ini ialah setiap orang yang
memberikan keterangan mengenai data hadis yang dicari oleh muhaddits.
Muhaddits yang
mencari guru untuk memperoleh data hadis, diantaranya adalah al-Bukhari, Abu
Daud, dan al-Turmudzi. Diantara guru-guru al-Bukhari yang memberikan data hadis
kepadanya yaitu Abu Ashim al-Nabil, Makki bin Ibrahim, Muhammad bin Isa bin
at-Thobba, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Manshur, dan Ahmad bin Isykab.
Diantara
guru-guru Abu Daud yang darinya diperoleh data hadis yaitu al-Qa’nabi, Sulaiman
bin Harb, Muslim bin Ibrahim, Abu al-Walid al-Asayalitsi, Sofwan bin Salih,
serta Hisam bin Ammar. Akhirnya diantara guru-guru al-Turmudzi
adalah al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Kutaibah bin Said, serta Muhammad Ibnu
Basyar. Al-Turmudzi termasuk pengagung al-Bukhari dan ia pernah dibawah asuhannya
2.
Melakukan kunjungan keilmuan (Rihlah Ilmiyah)
Rihlah merupakan salah
satu cara yang ditempuh oleh muhaddits untuk mendapatkan data-data hadis. Rihlah yang bentuk jamaknya Rihlaat berarti perjalanan, kunjungan dan
pengembaraan. Pelakunya disebut ar-ihhaal
atau al-rihhaalah, artinya pengunjung, penjelajah, atau pengembara.
Muhadditsun dalam rangka mendapatkan hadis-hadis mengadakan rihlah ke berbagai kota yaitu di negrinya hingga ke luar negri. Al-Bukhari misalnya, berkunjung ke berbagai kota seperti
ke Makkah untuk menuntut ilmu, ke Madinah yang di tempat itu disusun outline al-Jami’ al-shahihnya, juga ke Syam (Siria), Mesir, Basrah, Kuffah, dan Bagdad. Selama diperjalanan ia mengumpulkan dan menulis hadis.
Sedangkan Abu Daud mengadakan kunjungan dibeberapa negara, yaitu Irak, Kuffah, Basrah, Syam, Jazirah, Hijaz (Makkah), Mesir, Iran, dan Sijistan. Sementara al-Turmudzi yaitu berkunjung di Khuarasan, Basrah, Kuffah, Wasith, Bagdad, Makkah, Madinah, serta Iran.
3.
Adab Interaksi Muhadditsun
Ada beberapa etika yang biasa dipegangi oleh Muhadditsun, yaitu:
a.
Keikhlasan niat yang diarahkan
semata-mata karena Allah.
b.
Usia penyampaian hadis adalah yang
tergolong mampu menyampaikan riwayat yang dibutuhkan bekisar usia 40-50 an.
c.
Muhaddits wajib berbudi yang baik,
terpuji perilakunya, dan berpenampilan baik.
d.
Bila hendak mendatangi majlis
dianjurkan bersuci, mengenakan wewangian, membersihkan gigi, berpakaian bersih, sopan,
anggun, dan dapat duduk dengan tenang dan berwibawa karena menghormati Nabi.
e.
Menanggapi seluruh siswa yang
dihadapi dan tidak menghususkan suatu riwayat kepada sebagian saja.
f.
Harus memberikan riwayat secara utuh
sesuai daya jangkau siswa, termasuk penyebutan tokoh-tokoh yang harus diucapkan
secara baik.[9]
1. Umar ibn Abdul
Al Aziz (61-101 H)
Seorang
Khalifah dari Bani Umayah yang berkuasa pada tahun 99-101 H. Dialah sang
pelopor yang memerintahkan para ulama untuk mendirikan majelis-majelis hadis
dan membukukan hadis Nabi. Para Ulama yang mendapat perintah untuk mengumpulkan
dan membukukan hadis tersebut diantaranya Ibn Syihab al-Zuhri, Amarah binti Abd
Arrahman dan Abu Bakar Ibn Hazm.[10]
2. Abu Bakr ibn
Muhammad ibn Hamz (w. 117 H)
Ia adalah
gubernur Madinah yang berhasil mengumpulkan hadis dari para penghafalnya atas
instruksi khalifah Umar ibn Abd Aziz. Dalam kapasitasnya sebagai ahli hadis,
para ulama memasukannya ke dalam Al-tsiqah.[11]
3. Ibn Syihab
Al-Zuhri (50-125 H)
Sebagaimana Abu
Bakr ibn Hamz, ia mendapat kepercayaan dari khalifah Umar ibn Abd Aziz untuk
mengumpulkan hadis-hadis. Menurut para ulama, hadis karyanya dinilai lebih
lengkap dari pada hasil karya Abu Bakr ibn Hamz. Namun sayang hasil karya
keduanya hilang, sehingga tidak sampai ke tangan generasi berikutnya.
4. Al-Ramahurmuzi
(265-360H)
Nama lainnya
yaitu Abu Muhammad Al-Khalad. Ia adalah orang yang pertama menyusun satu ilmu
hadis secara lengkap sebagai disiplin ilmu.[12]
5. Imam Malik Ibn
Anas (93-179 H)
Selain ahli
hadis, Imam Malik juga seorang faqih. Ia mendapat gelar kehormatan “Sayyidi Fuqaha Al-Hijaz”. Imam Malik
mengambil hadis secara qira’ah dari Nafi’ ibn Nu’aim, Al-Zuhry, Nafi’ pelayan
Ibnu ‘Umar ra. dan lain sebagainya.[13]
6. Imam Al-Syafi’i
(150-204 H)
Disamping
menguasai dalam bidang Al-Kitab, Ilmu Balaghah, Ilmu Fiqh, ilmu berdebat juga
terkenal sebagai muhaddits. Orang-orang Mekkah memberikan gelar kepadanya “Nashir Al-Hadits” (penolong
memahamkan hadis).[14]
7. Imam Ahmad ibn
Hanbal (164-241 H)
Ia banyak
meriwayatkan hadis yang berasal
dari tokoh kenamaan. Riwayat itu diantaranya berasal dari bisyiral-Mufdal al-Raqqasi, Sufyan Ibn
Uyainah, Yahya
Ibn Said al-Qatani, Abdul al-Razaq, dan lainnya. Sedangkan orang
yang meriwayatkan hadis yang berasal darinya (murid), diantaranya al-Bukhari, Muslim, Abu daud, dan lainnya.[15] Salah satu keistimewaannya adalah
mempunyai tulisan sebanyak 12 macam yang semuanya sudah dikuasai diluar kepala.
8. Imam Bukhari (194-256 H)
Imam Bukhari
merupakan salah satu ulama muda yang sejak umur kurang lebih 10 tahun, sudah
mempunyai perhatian terhadap ilmu-ilmu hadis. Ia juga terkenal dengan kepandaian,
ketelitian, dan hafalannya dalam ilmu hadis.[16]
9. Imam Muslim (204-261 H)
Imam Muslim
adalah salah seorang muhadditsin, hafidh lagi terpercaya terkenal sebagai ulama
yang gemar bepergian mencari hadis. Banyak sekali hasil karyanya, salah satunya
ia telah menyusun tiga kitab musnad.[17]
10. Imam Abu Daud (202-275 H)
Abu Daud senang
merantau (Rihlah) mengelilingi
negeri-negeri tetangga untuk mencari hadis dan ilmu-ilmu yang lain. Kemudian
mengumpulkan, menyusun, dan menulisnya yang telah diterima dari para ulama yang
ditemuinya.[18]
11. Imam
Al-Tirmidzi (209-279
H.)
Ia adalah
seorang imam, hafidz, dan kritikus hadis. Al-Tirmidzi telah menulis banyak
kitab yang hadis-hadisnya telah diberi keterangan dan penjelasan, sehingga bisa
dicapai oleh setiap orang.
12. Imam Al-Nasa’i (215-303 H.)
Sebagian
Muhadditsin menilai bahwa ia lebih hafidz dan lebih tinggi pengetahuannya
dibanding dengan Imam Muslim di bidang hadis.
13. Imam Ibnu Majah
(209-273 H.)
Sebagaimana
para muhadditsin lainnya, Ibnu Majah memerlukan perantauan ilmiah untuk menemui
dan berguru hadis pada para ulama hadis.[19]
Terdapat 9 hingga 15 kitab yang sudah dikenal di Indonesia. Kesembilan kitab
dikenal sebagai Kutub al-Tis’ah,
sedang yang enam menyebar menjadi kitab yang juga dipergunakan sebagai rujukan
yang membantu untuk menopang kepada sembilan kitab yang ada.[20] Diantara sembilan kitab (Kutub al-Tis’ah) tersebut, terdapat
enam kitab yang berstatus sebagi kitab hadis induk atau oleh ulama hadis
disebut dengan al-Kutub al-Sittah.
Kitab Hadis Induk yang Enam yaitu Shahih
al-Bukhari karya Imam al-Bukhari, Shahih
Muslim karya Imam Muslim, Sunan
Abi Daud karya Imam Abu Daud, Sunan
al-Turmudzi karya Imam al-Turmudzi, Sunan al-Nasa’i karya Imam al-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah karya Ibnu Majah.
Kitab hadis lainnya yaitu Sunan
al-Darimi karya Imam al-Darimi, al-Mu-waththa’
Malik karya Imam Malik, Musnad Ahmad
karya Imam ahmad, Sunan al-Shaghir
karya Imam al-Baihaqi, Shahih Ibn
Khuzaimah karya Abu Bakar al-Naisaburi, al-Mustadrak’ala al-Shahihain al-Hakim karya Muhammad al-Hakim
al-Naisaburi, Kitab al-Mu’jam
al-Shaghir al-Thabrani karya Sulaiman bin Ahmad al-Thabrani, Kitab al-Umm karya Imam Syafi’i, dan Kitab al-Kafi karya Muhammad bin Yakkub
al-Kulaini al-Razi.
Sedangkan beberapa metode yang digunakan untuk menyusun kitab hadis yaitu
metode juz dan athraf, metode tabwib, metode muwaththa, metode mushannaf, metode musnad, metode jami’, metode mustakhraj, metode mustadrak,
metode sunan, metode mu’jam, metode majma’, dan metode zawaid.[21] Masing-masing metode memiliki ciri khas
sendiri dan saling berkaitan antara satu dengan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar