Makalah Ilmu Hadis
Periwayatan & Penerimaan Hadis
UIN Alauddin Makassar
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam
Jurusan Akuntansi
2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hadis adalah salah
satu hukum kita sebagai umat islam
selain Al-qur’an, oleh karena itu kita diajarkan untuk mengamalkan keduanya
sehingga tetap berada di jalan yang di ridhai oleh Allah SWT. Terkhusus dalam
hal hadis terkadang Dalammenyampaikansuatuhadits,kebanyakan
orang tidakpeduliterhadap yang meriwayatkannya. Yang
merekalihathanyalahisinya.sedangkandiketahui,bahwauntukmencapaiisidarisuatuhadits,makadibutuhkanadanyaperawi.
Adanyaperawi,belumbisamenjaminbahwahaditstersebutkualitasnyashahihatautidak.Makadibutuhkanpengetahuan
yang
mengantarkankitamengetahuikondisiperawitersebut.Maka,diperlukanbagikitamengetahuisyarat-syaratperawi
yang
tsiqah.Tidaklahmenyampaikanhaditstersebutkepadakhalayak,tanpamengetahuikondisihaditstersebut.
Berbicaratentanghadits, makatidakadasalahnyakitamemandangkebelakang.Melihatkeadaandancaraseorangmuridmengambilhaditsdariseorang
guru.
Rumusan Masalah
Berdasarkanlatarbelakangdiatasmakadapatdiuraikanrumusanmasalahsebagaiberikut
:
Apakahsyarat-syarat
periwayatan hadis?
Bagaimanakah cara
penerimaan hadis?
BAB II
PEMBAHASAN
Syarat-SyaratPeriwayatanHadis
Raawimenurutbahasaberasaldari
kata riwaayahyang merupakanbentukmashdardari kata kerjarawaa-yarwii,yangberarti”memindahkanataumeriwayatkan”.
Bentuk plural dari kata raawiiadalahruwaat.Jadiraawiiadalah
orang yang meriwayatkanataumenuliskandalamsuatukitabapa-apa yang
pernahdidengarnyadanditerimanyadariseseorang.
Secaradefenisi,kata riwaayahadalahkegiatanpenerimaanataupenyampaianhadits,
sertapenyandaranhaditsitukepadarangkaiandariperiwayatnyadalambentuk-bentuktertentu.
Orang yang telahmenerimahaditsdariseorangperiwayat
,tetapidiatidakmenyampaikanhaditsitukepada orang
lain,makadiatidakdapatdisebutsebagaiseorang yang
telahmelakukanperiwayatnhadits. Demikian pula halnyadengan orang menyampaikanhadits
yang diterimanyakepada orang lain,tetapiketikaiamenyampaikanhaditsitu,
iatidakmenyebutkanrangkaianparaperawinya, maka orang
tersebutjugatidakdapatdinyatakansebagai orang yang
telahmelakukanperiwayatanhadits.[1]
Salah satufaktor yang dapatmempengaruhidapatatautidakditerimanyasuatuhaditsialahkualitasraawii.Tinggirendahnyasifatadildandabithparaperawimenyebabkankuatlemahnyamartabatsuatuhadits.Perbedaancaraparaperawimenerimhaditsdari
guru merekamasing-masingmengakibatkanmunculnnyaperbedaanlafadz-lafadz yang
dipakaidalamperiwayatanhadits. Karnaperbedaanlafadz yang
dipakaidalampennyampaianhaditsmenyebabkanperbedaannilai (kualitas)
darisuatuhadits.
penelitiandibidangraawiisangatpentingdalamupayamenentukankualitassuatuhadits.
Suatuberitadianggapkuatkeasliannyakalaupembawaberitamemilikipersyaratankejujurandankemampuan
yang
dapatdipertanggungjawabkan.Karenaperawiharusmendapatsorotantajamsehinggalahirlahsebuahcabangilmuhadits
yang terkenal,yaituilmujarhwa al ta’dil.
Untukmelihatsejauhmanakualitasseorangperawidapatdilihatmelaluijarhdanta’dil.
Sebagaimana telah
disebutkan,bahwa al-adla’ ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadist kepada
orang lain. Oleh karenanya ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah
barang tentu menurut pertanggung jawaban yang cukup berat, sebab sah tidaknya
suatu hadist juga sangat tergantung padanya.
Mengingat hal-hal
seperti ini, jumhur ahli hadis, ahli uhsul, dan ahli fiqih menetapkan beberapa
syarat bagi periwayatan hadis[2],
yakni sebagai berikut:
Islam
Pada waktu
meriwayatkan suatu hadis, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut ijma,
periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja kita
disuruh bertawaquf, maka lebih-lebih
perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini bisa kita bandingkan dengan
firman allah sebagai berikut :
Hai orang-orang yang beriman,
jikadatingkepadamu orang fasikmembawasuatuberita, makaperiksalahdenganteliti
agarkamutidakmenimpakansuatumusibahkepadasuatukaumtanpamengetahuikeadaannya
yang menyebabkankamumenyesalatasperbuatanmuitu. (Q.S, Al-hujurat (49) : 6)
Baligh
Yang
dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatka hadis,
walau penerimanya sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada hadis rasul :
رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون
المغلوب على عقله حتى يبرا وعن الناءم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم
“ hilangkan kewajibanmenjalankan syari’at islam
dari tiga golongan, yaitu orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai
ia bangun dan anak-anak sampai ia mimpi”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i).
‘Adalah
Yang
dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang
menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga
kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri
dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang
mubah, tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.[3]
Dhabit
keterjagaanseorangperawipadasaatmenerimahadits,memahaminyaketikamendengarnya,danmenghafalnyasejakmenerimahaditssampaimenyampaikannyakepada
orang lain.
“teringat
kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadis yang ia dengar dan
hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya”.
Jalannya
mengetahui ke-dhabit-an perawii dengan jalan i’tibar terhadap berita beritanya
dengan berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan.
Ada
yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat yang disebutkan diata, antara
satu peraqi dengan perawi yang lain
harus bersambung, hadis yang disampaikan
itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang
lebih kuat ayat-ayat al-quran.
Dari
uraian di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa al tahammul danal-ada’
merupakan masalahyang cukup berat, baik berkaitan dengan cara bertahammul
maupun syarat-syarat yangharus dipenuhi dalam al-ada’.
Cara penerimaan
hadis
Para ulama hadis
menggolongkan metode menerima suatu periwayatan hadis menjadi delapan macam.
Al-sima’
Yakni suatu cara
penerimaan hadis dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya dengan
cara didektekan baikdari hafalannya maupun dari tulisannya, sehingga yang
menghadirinya mendengar apa yang disampaikannya tersebut[5].
Menurut jumhur ahli hadis bahwa cara ini merupakan penerimaan hadis yang paling
tinggi tingakatannya. Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa al-sama’ yang
di barengi dengan al-kitabah mempunyai nilai paling tinggi dan paliong kuat.
Karena terjuamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibanding dengan
cara- cara yang lainnya, disamping para sahabat juga menerima hadis dari nabi
SAW dengan cara seperti ini.
Termasuk dalam
kategori sama’ juga seseorang yang mendengarkan hadis dari syeikh dari balik
sattar ( semacam kain pembatas/penghalang). Jumhur ulama membolehkannya dengan
berdasar pada para sahabat yang juga pernah melakukan hal demikian ketika
meriwayatkan hadis-hadis rasulullah SAW melalui
ummuhat al-mu’minun (para
istri nabi)[6].
Menurut al-qadhi
iyad, yang dikutip oleh Al-Suyuthi, didalam cara (sama’) ini, para ulama tidak
memperselisihkan kebolehan rawy dalam meriwayatkannya, menggunakan kata-kata:
Haddatsanaa (حدثنا) (telahmenceritakankepada
kami),haddatsani(حدثني) (telahmenceritakankepadaku)
Sami’na(سمعنا)(kami mendengar), sami’tu (سمعت)
(sayamendengar)
Anba’anaa(انبا نا)(telahmemberitakankepada kami), anba’anii
(انبا ني)(telahmeberitakankepadaku)
Akhbaranaa(اخبرنا)(telahmemberitakankepada kami),
akhbaranii(اخبرنى)(telahmemberitakankepadaku).
Al-qira’ah Ala
Al-Syaikh atau ‘Aradh Al-Qiraah,
Yakni suatu cara
penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan hadis di hadapan gurunya,
baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, baik dia sendiri yang
membacakan maupun orang lain, sedang sang guru mendengarkan atau menyimaknya,
baik sang guru hafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau mengetehui
tulisannya atau dia tergolong tsiqqah.
Ajjab Al-Khatib
dengan mengutip pendapat imam ahmad mensyaratkan orang yang membaca (qari’) itu
mengetahui dan memahami apa yang dibaca. Sementara syarat bagi syeikh dengan
mengutip pendapat imam Haramain- hendaknya yang ahli dan teliti ketika
mendengar atau menyimak dari apa yang dibacakan oleh qari’, sehingga tahrif
maupun tashif dapat terhindarkan. Jika tidak demikian maka proses tahammul
tidak sah.
Para ulama sepakat
bahwa cara seperti ini dianggap sah, namun mereka berbeda pendapat mengenai
deraja al-qiraah. Diantara mereka berbeda pendapat mengenai derajat al-qira’ah.
Di antara mereka, seperti Al-Lais bin sa’ad, syu’ban, ibnu jura’ah lebih baik
jika dibanding al-sama’, sebab dalam al-sama’ bila bacaan guru salah, murid
tidak leluasa menolak kesalahan. Tetapi, dalam al-qira’ah bila bacaan murid
salah, guru segera membenarkannya. Imam malik, bukhari, sebagian besar ulama
Hijaz dan kufah menganggap bahwa antara al-qira’ah dengan al-sama’ mempunyai
derajat yang sama. Ibnu Abbas mengatakan (kepada muridnya) “bacakanlah
kepadaku, sebab bacaan kalian kepadaku seperti bacaanku kepada kalian”.
Sementara Ibnu Al-Shalah, imam namawi dan jumhur ulama memandang bahwa al-sama’
lebih tinggi derajatnya dibandang dengan cara al-qira’ah. Adapun kata yang
digunakan yaitu :
قرات على فلا ن:sayatelahmembacapadafulan
قرء على فلان:dibacakankepadafulandansayamendengarnya
:حدثني بقراءة عليهTelahmeceritakankepadakubacaannya
حدثني قراءة عليه وانا اسمع:telahmenceritakanbacaannyadansayamendengar.
اخبرني بقراءة عليه:telahdiberitakankepadakubacaannya.
اخبرني قراءة عليه:telahmengkhabarkankepadakubacaannyadansayamendengarnya.
اخبرني بقراءة عليه:telahmengkhabarkanbacaannyakepadaku.
:اخبرنى قراءة عليه وانا اسمعTelahmengkhabarkanbacaannyakepadakudansayamendengarnya.
Al-ijazah[7]
Yakini seorang guru
memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab kepada
seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kepada
gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya atau tidak mendengar bacaan
gurunya, seperti :
حدثني اجازة:telahmenceritakankepadakumelaluiijaazah.
اخبرني اجازة:telahmenceritakankepadakumelaluiijaazah.
انباني اجازة:telah member tahukepadaku.
(saya mengijazahkan kepadamu untuk
meriwayatkan dariku)
Para ulama berbeda
pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai cara untuk meriwayatkan hadis
dengan menggunakan ijazah ini
dianggap bid’ah dan tidaak diperbolehkan dan bahkan ada sebagian ulama yang
menambahkan bahwa ijazah ini
benar-benar diingkari. Sedangkan ulama yang memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat hendaknya
sang guru benar-benar mengerti tentang apa yang diijazahkan dan naskah muridnya
menyamai dengan yang lain, sehingga seolah-olah naskah tersebut adalah asslinya
serta hendaknya guru Yang memberi ijazah itu benar-benar ahli ilmu.
Al-Qadhi ‘iyad
membagi ijazah ini menjadi enam macam, sedang Ibnu Al-Shalah menambah satu
macam lagi, sehingga menjadi tujuh macam. Ketujuh macam al-ijazah tersebut
sebagai berikut:
Pertama, seorang
guru mengijazahkan kepada seseorang tertentu atau kepada beberapa orang
tertentu sebuah kitab atau beberapa kitab yang dia sebutkan kepada mereka.
Al-Ijazah seperti ini diperbolehkan menurut jumhur.
Kedua, bentuk
ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu,
seperti “saya ijazahkan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu
riwayatkan dariku”. Cara ini menurut jumhur juga tergolong yang diperbolehkan.
Ketiga, bentuk
ijazah secara umum, seperti diungkapkan “saya ijazahkan kepada kaum muslim atau
kepada orang-orang yang ada (hadir)”.
Keempat, bentuk
al-ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang
tidak tertentu. Cara ini dianggap fasid (rusak).
Kelima, bentuk ijazah kepada orang yang tidak ada,
seperti mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan. Bentuk ijazah
seperti ini tidak sah.
Keenam,
bentuk al-ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan atau dibacakan
kepada penerima ijazah, seperti ungkapan “saya ijazahkan kepadamu untuk kamu
riwayatkan dari sesuatu yang akan kudengarnya”. Cara seperti ini dianggap
batal.
Ketujuh, bentuk
al-ijazah al-munaz seperti perkataan guru “saya ijazahkan kepadamu ijazahku”.
Bentuk yang seperti ini termasuk yang diperbolehkan.
Al-munawalah
Yakni seorang guru
memberikan hadis atau sebuah kitab kepada muridnya untuk di riwayatkan. Ada
juga yang mengatakan, bahwa al-munawalah ialah seorang yang guru yang memberi
kepada seorang murid, kitab asli yang didengar dari gurunya, atau suatu naskah
yang telah dicocokkan, sambil berkata “ inilah hadis-hadis yang sudah saya
dengar dari seseorang, maka riwayatkanlah hadis itu dariku dan saya ijazahkan
kepadamu untuk diriwayatkan”.
Al-munawalah itu
mempunyai dua bentuk, yakni :
Pertama, Al-munawalah
dibarengi dengan ijazah. Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitabnya yang
telah ia riwayatkan atau naskahnya yang telah ia cocokkan atau beberapa hadis
yang telah ditulis, laludia katakan kepada muridnya “ini riwayat saya, maka riwayatkanlah
diriku”. Kemudian menyerahkannya dan sang murid menerima sambil sang guru
berkata “saya telah ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku”. Termasuk
Al-munawalah dalam bentuk ini ialah sang murid membacakan nsakah yang diperoleh
dari gurunya , kemudian sang guru mengakui dan mengijazahkan kepada muridnya
untuk diriwayatkan darinya. Cara seperti ini, menurut Al-Qadhi’iyad termasuk
periwayatan yang dianggap sah oleh para ulama ahli hadis.hadis yang berdasarkan
munawalah tanpa dibarengi ijazah ini biasanya menggunakan redaksi :
حدثني مناولة:telahmenceritakankepadakudenganmunaawalah.
Kedua, Al-munawalh
tanpa dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru kepada muridnya “ini
hadis saya” atau “ini hasil pendegaranku atau dari periwayatanku” dan tidak mengatakan
“riwayatkanlah dariku atau saya ijazahkan kepadamu”. Menurut kebanyakan ulama
al-munawalah dalam bentuk ini tidak diperbolehkan. Hadis yang diriwayatkan
berdasarkan munawalah tanpa dibarengi ijazah ini biasanya menggunakan redaksi :
اخبرني مناولة:telahmengkhavarkankepadakudengancaramunaawalah.
Al-mutakabah
Yakni seorang guru
menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadisnya
guna diberikan kepada murid yang ada di hadapannya atau yang tidak hadir dengan
jalan yang dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya[8].
Kalauriwayatitudenganjalanini,shighatnyaadalahsebagaiberikut:
a. حدثني خطابة:telah
men-ceritakankepadakudengankhitaabah.
b. اخبرني خطابة:telahmengkhabarkankepadakudengankhitaabah.
Al-Mukatabah ada
dua macam, yakni:
Pertama, al-mutakabah
yang dibarengi dengan dengan ijazahyakni guru yang menuliskan beberapa hadis
untuk diberikan kepada muridnya disertai dengan kata-kata “ini adalah hasil
dari periwayatanku, maka riwayatkanlah “ atau “saya ijazah (izin)-kan kepadamu
untuk kamu riwayatkan kepada orang lain”. Kedudukan al-mukatabah dalam bentuk
ini sama halnya dengan al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yakni dapat
diterima.
Kedua, al-mukatabah
yang tidak dibarengi dengan ijazah, yakni guru menuliskan hadis untuk diberikan
kepada muridnya atau mengijazahkan. Al-mukatabah dalam bentuk ini
diperdelisihkan oleh para ulama. Ayyub, Mansur, Al-Lais, dan tidak sedikit dari
ulama Syafi’iyah dan ulama usul menganggap sah periwayatan dengan cara ini.
Sedangkan Al-Mawardi menganggap tidak sah.
Al-I’lam
Yakni pemberitahuan
seorang guru kepada muridnya, bahwa kitab atau hadis yang diriwayatkannya dia
terima dari seseorang (guru), dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya
untuk meriwayatkannya atau menyuruhkannya. Sebagian ahliulama ushul dan
pendapat ini dipilih oleh Ibnu Al-Shalah menetapkan tidak sah meriwayatkan
hadis dengan cara ini. Karena dimungkinkan bahwa sang guru sudah mengetahui ada
sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan kebanyakan ulama ahli hadis, ahli
fiqih, dan ahli ushul memperbolehkannya[9].
Contohnya:
حدثني اعلاما:telahmenceritakankepadakudenganpemberitahuan.
اخبرني اعلا ما:telahmengkhabarkankepadakumelaluicarapemberitahuan.
Al-wasyiah
Yakni seorang guru,
ketika akan meninggal atau bepergian, meninggalkan pesan kepada orang lain
untuk meriwayatkan hadis atau kitabnya, setelah sang guru meninggal atau
bepergian. Periwayatan hadis dengan cara ini oleh jumhur dianggap lemah.
Sementara Ibnu Sirin memperbolehkan mengamalkan hadis yang diriwayatkan atas
jalan wasiat ini[10].
Orang yang diberi wasiat ini tidak boleh meriwayatkan hadis dari si pemberi
wasiat dengan redaksi:
a. حدثني وصية:telahmenceritakankepadakudenganwasiat.
b. اخبرني وصية:telahmengkhabarkankepadakudengancarawasiat.
karena si penerima
wasiat tidak bertemu dengannya.
Al-wijadah
Yakni seorang yang
memperoleh hadis orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadis dengan tidak
melalui cara al-sama’, al-ijazah atau al-munawalah. Para ulama berselisih
pendapat mengenai cara ini. Kebanyakan ahli hadis dan ahli fiqih dari mazhab
malikiyah tidak memperbolehkan meriwyatakan hadis dengan cara ini. Imam Syafi’i
dan segolongan pengikutnya meperbolehkan beramal dengan hadis yang
periwayatannya melalui cara ini. Ibnu Al-Shallah mengatakan bahwa sebagian
ulama muhaqiqin mewajibkan mengamalkannya bila diyakini kebenarannya.
Adapun
shigat-shigatnya[11]
yaitu :
a. وجد ت بخط فلان قا ل اخبرني:sayamendapatimelaluitulisanfulan
yang berkatabahwaiamengkhabarkankepadaku.
b. وجد بخطاب ذكر انه لفلان قال اخبرني:iamendapattulisandaniamenyebutkanbahwauntukfulaniaberkataiamengkhabarkankepadaku.
c. وجدت بخط قيل انه لفلان قال اخبرني:sayamendapatkantulisan,dikatakanuntukfulan,iaberkata,
iaamengkhabarkankepadaku.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasandiatas,
makadapatdisimpulkanbahwa, dalam periwayatan hadis dibutuhkanadanyaperawi.Selain itu dalam periwayatan hadis terdapat syarat-syarat
dan metode yang harus dipenuhi agar suatu hadis dapat dikatakan sahih atau sah.
Saran
Berdasarkankesimpulan yang
dikemukakandiatas, makapenulismenyarankanhal-halberikut:
Marilah
kita memperdalam ilmu kita dengan banyak membaca.
Marilah
belajar lebih jauh mengenai hukum islam kita sebagai umat islam.
Jadikanlah
al-quran dan Hadis sebagai pedoman dan petunjuk hidup.
Daftar Pustaka
Suparta, Munzier. 2001. Syarat-syarat periwayatan hadis. Jakarta. Rajawali Pers
Suparta, Munzier. 2001. Cara periwayatan hadis. Jakarta. Rajawali Pers
Sabir maidin, Muhammad. 2012. Ingkar sunnah/hadisI. Makassar. Alauddin University Pers
Ismail, M. Syuhudi. 1987. PengantarIlmuHadis. Ujung Pandang. Angkasa
Ash-Shadieqy, Hasbi.Opcit.
Syahraeni, A. KritikSanadDalamPerspektifSejarah.
Samata: Alauddin Press. 2011.
Yahya, Muhammad. Kaedah-KaedahPeriwayatanHadisNabi.Samata:
Alauddin University Press. 2011.
Suparta, Munzier. Ilmuhadis. Jakarta: Rajawali Pers.
2013.
Sabir, Muhammad. Ingkarsunnah/ hadis 1. Makassar:
Alauddin University Press. 2012.
Mudasir.h. IlmuHadis. Bandung: cv.pustakasetia. 1999
[1]M. Syuhudi Ismail, KaedahKesahihanSanad Dan Hadis, (Jakarta;
PT BulanBintang) hlm. 23
[2]Syhudi
Ismail. Opcit.Hlm. 24
[3]A.
syahraeni, KritikSanaddalamPersfektifSejarah, (Samata: Alauddinpers, th. 2011),
h.135
[4]A.
syahraeni, KritikSanaddalamPersfektifSejarah, (Samata: Alauddinpers, th. 2011),
h.128
[5]Drs.
H. Muhammad Yahya, M.Ag, Kaedah-kaedahPeriwayatanHadisNabi,
(Samata: Alauddin University Press, th 2012), hlm 55
[10]M. Syuhudi Ismail. 1987. PengantarIlmuHadis.(Ujung Pandang:Angkasa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar