Diresensi oleh :
MUSHYANUR, S.Pd
IDENTITAS BUKU
FILSAFAT ILMU
Sebuah Pengantar Populer
Oleh : Jujun S. Suriasumantri
Dengan Kata Pengantar : Andi Hakim Nasution
ISBN 978-979-416-899-8
84 UM 02
Disain sampul : Natasa T
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan,
Anggota IKAPI Jakarta
BIOGRAFI PENULIS
JUJUN SUPARJAN SURIASUMANTRI
Lahir di Tasikmalaya tanggal 9 April 1940. Setelah melalui pendidikan SD V, SMP III dan SMA II yang semuanya berada di Bandung, kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor (IPB), dan lulus dalam tahun 1969. Selama menjadi mahasiswa aktif dalam berbagai kegiatan nonkeilmuan seperti ketua teater, sutrdara drama, ketua MAPRAM IPB, dirigen orkes angklung IPB dan aksi-aksi mahasiswa. Pada tahun 1971 melanjutkan studi ke Harvard University dengan beasiswa Unesco dan lulus sebagai doctor dalam Perencanaan Pendidikan dengan spesialisasi system analisis dan PPBS dalam tahu 1975.
Pengalaman dalam pekerjaan antara lain sebagai teaching assistant (1972) dan research assistant (1973) di Harvard University, dosen tataniaga (1969-1971) dan manajemen (1975-1980) di IPB, staf ahli pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) Departemen P dan K (1975-1980) dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Panitia Penyusunan Rencana Strategi (1976) dan Repelita – II (1976-1978) Depdikbud, anggota Kelompok Kerja bidang Kebudayaan Mendikbud (1984), anggota kelompok kerja Pengumpulan Materi GBHN 1988, Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1985) serta dosen Metodologi Penelitian di Sekolah (sejak 1981) dan Lemhannas (sejak . 1982). Sekarang menjabat sebagai Pembantu Rektor bidang Akademik dan Ketua Program dokto Fakultas Pascasarjana IKIP Jakarta.
Buku yang telah diterbitkan adalah ilmu dalam perspektif (Jakarta: Gramedia, 1978), System Thinking (Bandung: Binacipta, 1981) dan A Lesson from Experience (Bandung : Binacipta, 1984). Keanggotaan professional teramsuk Operations research Society of America (ORSA), Phideta Kappa, International Society of Educational Planner, the institute of management Science dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu social.
Menikah dengan Nina Dachliana dan berputra Donni Iqbal Suriasumatri.
Dengan kecintaan yang sama
Kutulis sajak-sajak
Bagi profesor-profesor metafisika
Seperti kesungguhan
Membualkannya
Pada seorang kanak-kanak..........
(Jujun S. Suriasumantri, ”A Gift of Love”,
Alma Mater, majalah Keluarga Mahasiswa
IPB, Nomor 6, April 1970.
Dalam buku yang ditulis Jujun Suparjan Suriasumantri ini, ia menujukan kepada :
Profesor Arthur Smitheis (Harvard University) dan
Donnial Iqbal Suriasumantri (Taman Kanak-Kanak Bhakti Idhata, Cilandak Kebayoran Baru, Jakarta).
I
KE ARAH PEMIKIRAN FILSAFAT
Pada bagian ini dijelaskan bahwa seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri dipuncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik berfikir filsafat adalah bersifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam kontelasi pengetahuan lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral,. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
Sering kita melihat ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa lebih tinggi daripada lulusan IPS. Atau lebih sedih lagi, seorang ilmuwan memandang rendah kepada pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral, agama, dan nilai estetika. Mereka, p;ara ahli yang berada di bawah tempurung disiplin ilmunya masing-masing, sebaiknya tengadah ke bintang-bintang dan tercengang : Loh, kok masih ada langit di luar tempurung kita. Lalu kita pun menyadari kebodohan kita sendiri. Yang kita tahu simpul sokrates, ialah bahwa saya tidak tahu apa-apa!
Kerendahan hatian Sokrates ini bukanlah verbalisme yang hanya sekedar basa-basi. Seorang yang berfikir filsafati bukan hanya tengadah ke bintang-bintang tapi ia juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berfikir fils afati yang kedua yaitu bersifat mendasar. Dia tidak lagi percaya bahwa ilmu itu benar mengapa ilmu dapat disebut benar ? bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan ? apaka kriteria sendiri itu benar ? Lalu benar itu sendiri apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus memulai dari satu titik, yang awal dan pun yang sekaligus akhir. Lalu bagaimana menentukan tiitik awal yang benar?
Filsafat, menjamin pemikirankan Will durant, dapat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantreri. Pasukan infanteri ini aadalah sebagai petahuan yang di antara-nya adalah ilmu. Filsafatlah yang mmenagkan tempat barpijak elah bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan maka filsafat pun pergi. Dia kembali menjelajah lat lepas.; berspekulasidan meneratas. Seorang yang skeptis akan berkate: sudah lebih dari dua ribu tahun orang berfilsafat namun selangkah pun dia tidak maju. Sepintas lalu kelihatanya memang demikian, dan kesalah pahaman ini dapat segera dihilangkan , sekiranya kita sadar bahwa filsafat adalah marinir yang merupakan ponir, bukan pengetahuan yang bersifat memerinci.Filsafat menyerahkan daerah yang pengembanganya bermula sebagai filsafat. Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum filsafatnya sebagai philosophae Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam smith (1723-1790) bapak ilmu ekonomi menulis buku The wealth of Nations (1776) dalam fungsinya sebagai professor of moral philoshopy di Universitas Glasgow.
Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural phisolophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu terjadi peralihan. Dalam taraf peraliha ini maka bidang penjelajahan filsafat ini menjadi lebih sempit. Tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Di sini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan bahkan dikaitkan dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya dan kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi. Walaupun demikian dalam taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan kepada norma-norma filsafat. Upamanya ekonomi masih merupakan penerapan etika (applied ethic) dalam kehidupan manusia dalam memenuhi hidupnya. Metode yang dipakai adalah normatif dan deduktif berdasarkan asas- asas moral yang filsafati.
Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pioni dia mempermasalahkan hal-hal yang pokok : terjawab masalah yang satu, dia pun mula merambah dengan pertanyaan lain. Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logka), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang filsafat ini bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada : tentang hakekat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; dan, kedua, poloitik : yakni kajian mengenai organisasi sosial/ pemerintahan yang ideal. Kelima cabang utama ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik di antaranya filsafat ilmu. Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain mencakup :
(1) Epsitemologi (Filsafat Pengetahuan)
(2) Etika (Filsafat Moral)
(3) Estetika (Filsafat Seni)
(4) Metafisika
(5) Politik (Filsafat Pemerintahan)
(6) Filsafat Agama
(7) Filsafat Ilmu
(8) Filsafat Pendidikan
(9) Filsafat Hukum
(10) Filsafat Sejarah
(11) Filsafat Metematika
II
DASAR – DASAR PENGETAHUN
Dijelaskan bahwa dasar-dasar pengetahuan yaitu :
PENALARAN
Penalaran merupakan suatu proses berfikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berfikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya yang bersumber dari pengetahuan yang didaptkan lewat merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan, meskipun dikatakan pascal, hatipun memiliki logika tersendiri.
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilakn pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya masing-masing.
MUSHYANUR, S.Pd
IDENTITAS BUKU
FILSAFAT ILMU
Sebuah Pengantar Populer
Oleh : Jujun S. Suriasumantri
Dengan Kata Pengantar : Andi Hakim Nasution
ISBN 978-979-416-899-8
84 UM 02
Disain sampul : Natasa T
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan,
Anggota IKAPI Jakarta
BIOGRAFI PENULIS
JUJUN SUPARJAN SURIASUMANTRI
Lahir di Tasikmalaya tanggal 9 April 1940. Setelah melalui pendidikan SD V, SMP III dan SMA II yang semuanya berada di Bandung, kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor (IPB), dan lulus dalam tahun 1969. Selama menjadi mahasiswa aktif dalam berbagai kegiatan nonkeilmuan seperti ketua teater, sutrdara drama, ketua MAPRAM IPB, dirigen orkes angklung IPB dan aksi-aksi mahasiswa. Pada tahun 1971 melanjutkan studi ke Harvard University dengan beasiswa Unesco dan lulus sebagai doctor dalam Perencanaan Pendidikan dengan spesialisasi system analisis dan PPBS dalam tahu 1975.
Pengalaman dalam pekerjaan antara lain sebagai teaching assistant (1972) dan research assistant (1973) di Harvard University, dosen tataniaga (1969-1971) dan manajemen (1975-1980) di IPB, staf ahli pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) Departemen P dan K (1975-1980) dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Panitia Penyusunan Rencana Strategi (1976) dan Repelita – II (1976-1978) Depdikbud, anggota Kelompok Kerja bidang Kebudayaan Mendikbud (1984), anggota kelompok kerja Pengumpulan Materi GBHN 1988, Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1985) serta dosen Metodologi Penelitian di Sekolah (sejak 1981) dan Lemhannas (sejak . 1982). Sekarang menjabat sebagai Pembantu Rektor bidang Akademik dan Ketua Program dokto Fakultas Pascasarjana IKIP Jakarta.
Buku yang telah diterbitkan adalah ilmu dalam perspektif (Jakarta: Gramedia, 1978), System Thinking (Bandung: Binacipta, 1981) dan A Lesson from Experience (Bandung : Binacipta, 1984). Keanggotaan professional teramsuk Operations research Society of America (ORSA), Phideta Kappa, International Society of Educational Planner, the institute of management Science dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu social.
Menikah dengan Nina Dachliana dan berputra Donni Iqbal Suriasumatri.
Dengan kecintaan yang sama
Kutulis sajak-sajak
Bagi profesor-profesor metafisika
Seperti kesungguhan
Membualkannya
Pada seorang kanak-kanak..........
(Jujun S. Suriasumantri, ”A Gift of Love”,
Alma Mater, majalah Keluarga Mahasiswa
IPB, Nomor 6, April 1970.
Dalam buku yang ditulis Jujun Suparjan Suriasumantri ini, ia menujukan kepada :
Profesor Arthur Smitheis (Harvard University) dan
Donnial Iqbal Suriasumantri (Taman Kanak-Kanak Bhakti Idhata, Cilandak Kebayoran Baru, Jakarta).
I
KE ARAH PEMIKIRAN FILSAFAT
Pada bagian ini dijelaskan bahwa seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri dipuncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik berfikir filsafat adalah bersifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam kontelasi pengetahuan lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral,. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
Sering kita melihat ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa lebih tinggi daripada lulusan IPS. Atau lebih sedih lagi, seorang ilmuwan memandang rendah kepada pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral, agama, dan nilai estetika. Mereka, p;ara ahli yang berada di bawah tempurung disiplin ilmunya masing-masing, sebaiknya tengadah ke bintang-bintang dan tercengang : Loh, kok masih ada langit di luar tempurung kita. Lalu kita pun menyadari kebodohan kita sendiri. Yang kita tahu simpul sokrates, ialah bahwa saya tidak tahu apa-apa!
Kerendahan hatian Sokrates ini bukanlah verbalisme yang hanya sekedar basa-basi. Seorang yang berfikir filsafati bukan hanya tengadah ke bintang-bintang tapi ia juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berfikir fils afati yang kedua yaitu bersifat mendasar. Dia tidak lagi percaya bahwa ilmu itu benar mengapa ilmu dapat disebut benar ? bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan ? apaka kriteria sendiri itu benar ? Lalu benar itu sendiri apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus memulai dari satu titik, yang awal dan pun yang sekaligus akhir. Lalu bagaimana menentukan tiitik awal yang benar?
Filsafat, menjamin pemikirankan Will durant, dapat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantreri. Pasukan infanteri ini aadalah sebagai petahuan yang di antara-nya adalah ilmu. Filsafatlah yang mmenagkan tempat barpijak elah bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan maka filsafat pun pergi. Dia kembali menjelajah lat lepas.; berspekulasidan meneratas. Seorang yang skeptis akan berkate: sudah lebih dari dua ribu tahun orang berfilsafat namun selangkah pun dia tidak maju. Sepintas lalu kelihatanya memang demikian, dan kesalah pahaman ini dapat segera dihilangkan , sekiranya kita sadar bahwa filsafat adalah marinir yang merupakan ponir, bukan pengetahuan yang bersifat memerinci.Filsafat menyerahkan daerah yang pengembanganya bermula sebagai filsafat. Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum filsafatnya sebagai philosophae Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam smith (1723-1790) bapak ilmu ekonomi menulis buku The wealth of Nations (1776) dalam fungsinya sebagai professor of moral philoshopy di Universitas Glasgow.
Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural phisolophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu terjadi peralihan. Dalam taraf peraliha ini maka bidang penjelajahan filsafat ini menjadi lebih sempit. Tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Di sini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan bahkan dikaitkan dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya dan kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi. Walaupun demikian dalam taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan kepada norma-norma filsafat. Upamanya ekonomi masih merupakan penerapan etika (applied ethic) dalam kehidupan manusia dalam memenuhi hidupnya. Metode yang dipakai adalah normatif dan deduktif berdasarkan asas- asas moral yang filsafati.
Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pioni dia mempermasalahkan hal-hal yang pokok : terjawab masalah yang satu, dia pun mula merambah dengan pertanyaan lain. Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logka), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang filsafat ini bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada : tentang hakekat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; dan, kedua, poloitik : yakni kajian mengenai organisasi sosial/ pemerintahan yang ideal. Kelima cabang utama ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik di antaranya filsafat ilmu. Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain mencakup :
(1) Epsitemologi (Filsafat Pengetahuan)
(2) Etika (Filsafat Moral)
(3) Estetika (Filsafat Seni)
(4) Metafisika
(5) Politik (Filsafat Pemerintahan)
(6) Filsafat Agama
(7) Filsafat Ilmu
(8) Filsafat Pendidikan
(9) Filsafat Hukum
(10) Filsafat Sejarah
(11) Filsafat Metematika
II
DASAR – DASAR PENGETAHUN
Dijelaskan bahwa dasar-dasar pengetahuan yaitu :
PENALARAN
Penalaran merupakan suatu proses berfikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berfikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya yang bersumber dari pengetahuan yang didaptkan lewat merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan, meskipun dikatakan pascal, hatipun memiliki logika tersendiri.
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilakn pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya masing-masing.
Defenisi
Kemampuan menalar menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa, dan setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuannya itu. Dia mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Secara terus menerus dia selalu hidup dalam pilihan.
Manusia adalah satu-satunya mahluk yang mengembangkan pengetahuan ini sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya. Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dan memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidupnya, namun lebih dari pada itu. Manusia mengembangkan kebudayaan; memberi makna bagi kehidupan; manusia memanusiakan” diri dalam dalam hidupnya. Intinya adalah manusia di dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang membuat manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuan ini mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan oleh dua hal utama;
a. Bahasa; manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut.
b. Kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran.
Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu menalar.
Hakikat Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakan yang bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itupun berbeda-beda dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenaran masing-masing.
Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika, dan tiap penalaran mempunyai logika tersendiri atau dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir logis, dimana berpikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu. Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah merupakan kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari suatu pola berpikir tertentu.
LOGIKA
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir ituharus dilakukan cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, di mana logika secara luas dapat didefenisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara sahih.”1 Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, namun untuk sesuai dengan dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran maka hanya difokuskan kepada dua jenis penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan bersifat umum. Sedangkan logika deduktif, menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umu menjadi kasus yang bersifat individual (khusus).
a. Induksi
Induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik dari suatau kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individu. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang bersifat khas dan dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Kesimpulan yang bersifat umum ini penting artinya karena mempunyai dua keuntungan.
• Bersifat ekonomis.
• Dimungkinkannya proses penalaran selanjutnya.
b. Deduksi
Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pertanyaan dan satu kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut. Jadi ketepatan penarikan kesimpulan tergantung pada tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan penarikan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak dipenuhi maka kesimpulan yang akan ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif.
SUMBER PENGETAHUAN
Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu! Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan
ini membawa kita kepada pertanyaan; bagaimana kita mendapatkan pengetahuan yang benar itu? Pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mendasarkan diri kepada rasio dan kaum empirisme mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang dianggapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia memikirkannya. Paham ini dikenal dengan nama idealisme. Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasionil itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori
dan pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional. Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran yang abstrak namun lewat penalaran yang konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indra.
Disamping rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting untuk kita ketahui adalah intuisi dan wahyu. Sampai sejauh ini, pengetahuan yang didapatkan secara rasional dan empiris, kedua-duanya merupakan induk produk dari sebauh rangkaian penalaran. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba mendapat jawaban atas permasalah tersebut. Tanpa melaui proses berliku-liku dia sudah mendapatkan jawabannya.. intuisi juga bisa bekerja dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan jawabannya tidak pada saat sesorang
itu secara sadar sedang menggelutinya. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak dapat diandalkan. Pengetahuan inuitif dapat digunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar atau tidaknya suatu penalaran.
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah yang bersifat transedental kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai suatu pengantara dan kepercayaan
terhadap suatu wahyu sebagai cara penyampaian merupakan titik dasar dari penyusunan pengetahuan ini.. kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Suatau pernyataan harus dipercaya dulu baru bisa diterima. Dan pernyataan ini bisa saja dikaji lewat metode lain. Secara rasional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung didalamnya konsisten atau tidak.di pihak lain secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut.
KRITERIA KEBENARAN
Tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar. Oleh sebab itu ada beberapa teori yang dicetuskan dalam melihat kriteria kebenaran. Yang pertama adalah teori koherensi. Teori ini merupakan menyatakan bahwa pernyataan dan kesimpulan yang ditarik harus konsinten dengan pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang dianggap benar. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdsarkan teori koherensi suatu pernyatan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdsarkan teori koheren. Paham lain adalah kebenaran yang didasarkan pada teori korespondensi. Bagi penganut teori korespondensi, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Maksudnya jika seseorang menyatakan bahwa “ ibukota republik Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat factual yakni Jakarta memang ibukota republik Indonesia.
Teori Pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1924) dalam sebuah makalah yang terbit tahun 1878 yang berjudul “How to make Our Ideas Clear.” Teori ini kemudian dikembangkan oleh para filsuf
Amerika. Bagi seorang pragmatis, kebenaran suatau pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungisional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan umat manusia. Kaum pragmatis berpaling kepada metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan tentang alam ini yang dianggapnya fungisional dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala alamiah. Kriteria pragmatisme ini juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran dilihat dari perspektif waktu.
III
ONTOLOGI : HAKIKAT APA YANG DIKAJI
Pada bagian ini telah dijelaskan :
METAFISIKA
Beberapa Tafsiran Metafisika
Tafsiran yang paling utama yang diberikan manusia terhadap ala mini adalah bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat gaib (super-natural) dan uju-ujud ini lebih tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme merupakan aliran kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernatulisme diman manusia percaya bahwa terdapat roh-roh yang bersifat goib yang terdapat pada benda-benda seperti batu, phon dan air terjun. Animisme ini merupakan kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejarah perkembangan budaya manusia dan masih dipeluk oleh masyarakat di muka bumi.
Sebagai lawan dari supernatulisme, maka terdapat pula paham naturalism yang menolak pendapat bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat super-naturalisme ini. Materialism, yang merupakan paham berdasarkan naturalism ini, berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui.
Perinsip-perinsip materialism ini dikembangkan oleh Democritos (460-370 S.M). Dia mengembangkan materi tentang atom yang dipelajarinya dari gurunya Leucippus. 2). Bagi Democritos unsure dasar dari ala mini adalah atom.
ASUMSI
Salah satu permasalah didalam dunia filsafat yang menjadi perenungan para filsuf adalah masalah gejala alam. Mereka menduga-duga apakah gejala dalam alam ini tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam
yang bersifat universal, ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan pilihan bebas, ataukah keumuman itu memang ada namun berupa peluang, sekedar tangkapan probabilistik? Ketiga masalah ini yakni determinisme, pilihan bebas dan probabilistik merupakan permasalahan filasafati yang rumit namun menarik.. tanpa mengenal ketiga aspek ini, serta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah yang merupakan kompromi, akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan dengan baik. Jadi, marilah kita asumsikan saja bahwa hukum yang mengatur berbagai kejadian itu memang ada, sebab tanpa asumsi ini maka semua pembicaraan akan sia-sia. Hukum disini diartikan sebagai suatu aturan main atau pola kejadian yang diikuti oleh sebagian besar peserta, gejalanya berulangkali dapat diamati yang tiap kali memberikan hasil yang sama, yang dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hukum seperti itu
berlaku kapan saja dan dimana saja. Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu. Demikian juga paham determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang mentyatakan bahwa semua manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat kepada hokum alam yang tidak memberikan pilihan alternatif. Untuk meletakkan ilmu dalam perspektif filsafat ini marilah kita bertanya kepada diri sendiri apakah yang sebenarnya yang ingin dipelajari ilmu. Apakah ilmu ingin mempelajari hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia seperti yang dicoba dijangkau dalam ilmu-ilmu sosial, ataukah cukup yang berlaku bagi sebagian besar dari mereka ? Atau bahkan mungkin kita tidak mempelajari hal-hal yang berlaku umum melainkan cukup mengenai tiap individu belaka?
Konsekuensi dari pilihan adalah jelas, sebab sekiranya kita memilih hukum dari kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme. Sekiranya kita memilih hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka kita berpaling kepada paham pilihan bebas. Sedangkan posisi tengah yang terletak di antara keduanya mengantarkan kita kepada paham yang bersifat probabilistik. Sebelum kita menentukan pilihan marilah kita merenung sejenak dan berfilsafat. Sekiranya ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realitas untuk dicapai ilmu? Sekiranya Ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realistis untuk dicapai ilmu? Mungkin kalau sasaran ini yang dibidik ilmu maka khasanah pengetahuan ilmiah hanya terdiri dari beberapa gelintir pernyataan yang bersifat universal saja. Demikian juga, sekiranya sifat universal semacam ini disyaratkan ilmu bagaimana kita dapat memenuhinya, disebabkan kemampuan manusia yang tidak mungkin mengalami semua kejadian. Namun para ilmuwan memberi suatu kompromi, artinya ilmu merupakan pengetahuan yang berfungsi
membantu manusia dalam memecahkan kehidupan praktis sehari-hari, dan tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dalam kehidupan ini. Walaupun demikian sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi, sebab pengetahuan yang bersifat personal dan individual seperti upaya seni, tidaklah bersifat praktis. Jadi diantara kutub determinisme dan pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya terhadap penafsiran probabilistik.
PELUANG
Peluang secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8 secara sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari 10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut memberikan suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikan maka kata akhir dari suatu keputusan terletak ditangan manusia pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori keilmuan.
BEBERAPA ASUMSI DALAM ILMU
Ilmu yang paling termasuk paling maju dibandingkan dengan ilmu lain adalah fisika. Fisika merupakan ilmu teoritis yang dibangun di atas sistem penalaran deduktif yang meyakinkan serta pembuaktian induktif yang
mengesankan. Namun sering dilupakan orang bahwa fisika pun belum merupakan suatu kesatuan konsep yang utuh. Artinya fisika belum merupakan pengetahuan ilmiah yang tersusun secara semantik, sistematik, konsisten dan analitik berdasarkan pernyataan-pernyataan ilmiah yang disepakati bersama. Di mana terdapat celahcelah perbedaan dalam fisika? Perbedaannya justru terletak dalam fondasi dimana dibangun teori ilmiah diatasnya yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya. Begitu juga sebaliknya dengan ilmu-ilmu lain yang juga termasuk
ilmu-ilmu sosial.
Kemudian pertanyaan yang muncul dari pernyataan diatas adalah apakah kita perlu membuat kotakkotak dan pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit? Jawabannya adalah sederhana sekali; sekiranya
ilmu ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam pengalaman manusia, maka pembatasan ini adalah perlu. Suatu permasalahan kehidupan manusia seperti membangun pemukiman Jabotabek, tidak bisa dianalisis secara cermat dan seksama oleh hanya satu disiplin ilmu saja. Masalah yang rumit ini , seperti juga rumitnya kehidupan yang dihadapi manusia, harus dilihat sepotong demi sepotong dan selangkah demi selangkah. Berbagai displin keilmuan , dengan asumsinya masing-masing tentang manusia mencoba mendekati permasalahan tersebut. Ilmu-ilmu ini bersfat otonom dalam bidang pengkajiannya masing-masing dan “berfederasi” dalam suatu pendekatan
multidispliner. (Jadi bukan “fusi” dengan penggabungan asumsi yang kacau balau). Dalam mengembangkan asumsi ini maka harus diperhatikan beberapa hal:
1. Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian displin keilmuan. Asumsi ini harus oprasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis.
2. Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya ‘bukan’ bagaimana keadaan yang
seharusnya.” Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah, sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasari telaah moral Seorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang digunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas
lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas. Sesuatu yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat. Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada ruginya, sebab sekiranya kemudian ternyata asumsinya adalah cocok maka kita tinggal memberikan informasi, sedangkan jika ternyata mempunyai asumsi yang berbeda maka dapat diusahakan pemecahannya.
BATAS-BATAS PENJELAJAHAN ILMU
Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan meyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik obyek ontologi ilmu
yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawab dari semua pertanyaan itu adalah sangat sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak mempelajari masalah surga dan neraka dan juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya manusia, sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Mengapa ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam pengalaman kita? Jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia; yakni sebagai alat pembantu manusia dalam
menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita
melakukan suatu kontradiksi yang menghilangkan kesahihan metode ilmiah? Kalau begitu maka sempit sekali batas jelajah ilmu, kata seorang, Cuma sepotong dari sekian permasalahan kehidupan. Memang demikian, jawab filsuf ilmu,bahkan dalam batas pengalaman manusiapun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek semua berpaling kepada pengkajian estetik.
IV
EPISTEMOLOGI : CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN YANG BENAR
JARUM SEJARAH PENGETAHUAN
Pada masyarakat primitif, perbedaan diantara berbagai organisasi kemasyarakatan belum tampak, yang diakibatkan belum adanya pembagian pekerjaan. Seorang ketua suku umpamanya, bisa merangkap
hakim, panglima perang, penghulu yang menikahkan, guru besar atau tukang tenung. Sekali kita menempati status tertentu dalam jenjang masyarakat maka status itu tetap, kemanapun kita pergi, sebab organisasi
kemasyarakatan pada waktu itu, hakikatnya hanya satu. Jadi jika seseorang menjadi ahli maka seterusnya dia akan menjadi ahli. Jadi kriteria kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat jarak yang jelas antara satu obyek dengan obyek yang lain. Antara ujud yang satu dengan ujud yang lain.
Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental dengan berkembangnya abad penalaran (The Age of Reason) pada
pertengahan abad XVII.BDengan berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepadan pembedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan. Pohon pengetahuan dibeda-bedakan paling tidak berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan. Salah satu cabang pengetahuan itu yang berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dari metodenya. Metode keilmuan adalah jelas sangat berbeda dengan ngelmu yang merupakan paradigma dari Abad Pertengahan. Demikian juga ilmu dapat dibedakan dari apa yang ditelaahnya serta untuk apa ilmu itu dipergunakan. Difrensiasi dalam bidang ilmu cepat terjadi. Secara metafisisk ilmu mulai dipisahkan dengan moral. Berdasarkan obyek yang ditelaah mulai dibedakan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Perbedaan yang makin terperinci ini maka menimbulkan keahlian yang lebih spesifik pula. Makin ciutnya kapling masing-masing displin keilmuan itu bukan tidak menimbulkan masalah, sebab dalam kehidupan nyata seperti pembangunan pemukiman manusia, maka masalah yang dihadapi makin banyak dan makin njelimet. Menghadapi kenyataan ini terdapat lagi orang dengan memutar jam sejarah kembali dengan mengaburkan batas-batas masing-masing displin ilmu. Dengan dalih pendekatan inter-displiner maka berbagai displin keilmuan dikaburkan batas-batasnya, perlahan-lahan menyatu ke dalam kesatuan yang berdifusi.
Pendekatan interdispliner memang merupakan keharusan, namun tidak dengan mengaburkan otonomi masing-masing displin keilmuan yang telah berkembang berdasarkan routenya masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma baru. Paradigma ini adalah bukan ilmu melainkan sarana berpikir ilmiah seperi logika, matematika, statistika dan bahasa. Setelah perang dunia II muncullah paradigma “konsep sistem” yang diharapkan sebagai alat untuk mengadakan pengakajian bersama antar displin-keilmuan. Jelaslah bahwa pendekatan interdispliner bukan merupakan fusi antara berbagai displin keilmuan yang akan menimbulkan
anarki keilmuan, melainkan suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu, dimana tiap displin keilmuan dengan otonominya masing-masing, saling menyumbangkan analisisnya dalam mengkaji objek yang menjadi telahan bersama.
PENGETAHUAN
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara maksimal maka kita harus ketahui jawaban apa saja yang mungkin diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada pengetahuan mana suatu pertanyaan tertentu yang harus kita ajukan. Sekiranya kita bertanya “ apakah yang terjadi sesudah manusia mati?”, maka pertanyaan itu tidak bias diajukan kepada ilmu melainkan kepada agama, sebab secara ontologis ilmu membatasi diri kepada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangakan agama memasuki pula daerah penjelajahan yang bersifat transedental yang berada diluar pengalaman kita. Ilmu tidak bisa menjawab pertanyaan itu sebab
ilmu dalam tubuh pengetahuan yang disusunnya memang tidak mencakup permasalahan tersebut.
V
SARANA BERPIKIR ILMIAH
Dijelaskan bahwa Tujuan mempelajari sarana bepikir ilmiah:
1. Sarana ilmiah bukan merupakan ilmu dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmu (deduktif dan induktif), sarana berpikir ilmiah tidak menggunkan ini dalam mendapatkan pengetahuannya, melainkan mempunyai metode-metode tersendiri.
2. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaah ilmiah secara baiik, sarana berpikir ilmiah antara: bahasa logika matematika dan statistic.
Bahasa, manusia dapat berpikir dengan baik karena ada bahasa. Simbol bahasa yang bersifat abstrak memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut, bahasa adalah sarana komunikasi. Buah pikiran, perasaan dan sikap, mempunyai fungsi simbolik (komunikasi bahasa ilmiah), emotif (komunikasi estetik), dan ojektif.Bahasa merupakan serangkaian bunyi dan lambang dimana rangkaian bunyi tu membentuk suatu arti tertentu atau rangkaian bunyi=kata (melambangkan satu objek tertentu).
a. Bahasa
Fungsi bahasa secara umum dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
1. Alat komunikasi
2. Alat mengekspresikan diri
3. Alat berintegrasi dan beradaptasi social
4. Alat kontrol social.
Dalam filsafat keilmuan fungsi, memikirkan sesuatu dalam benaktanpa dalam objek yang sedang kita pikirkan, membuat manusia berpikir terus menerus dan teratur, mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan. Komunikasi ilmniah memberi informasi pengetahuan berbahasa dengan jelas bahwa makna yang
terkandung dalam kata-kata yang digunakan dan diungkapkan secara tersusun (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain. Karya ilmiah: tata bahasa, merupkan alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu. Mempunyai gaya penulisan yang pada hakekatnya merupakan usaha untuk mencoba menghindari kecenderumgan yang bersifat emosional bagi kegiatan seni namun merupakan kerugian bagi kegiatan ilmiah.
Beberapa kekurangan bahasa antara lain:
1. Sifat multi fungsi dari bahasa itu sendiri (emotif, ajektif, simbolik).
2. Arti yang tidak jelas dan bebas yang ikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa, kadangkadang lingkup rtinya terlalu lemas misalnya cinta, pengelola (usaha kerja sama yang bedominasi).
3. Sifat menjenuh bahasa dapat menimbulkan kekacauan semantic, dimana dua orang berkomunikasi mempergunakan sebuah kata yang sama untuk arti yang berbeda.
4. Konotasi yang bersifat emosional.
b. Matematika
Matemtika berfungsi :
1. Matematika sebagai bahasa: melambangkan serangkaian mkna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan.
2. Lambang bersifat “arti fisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya.
3. Matematika menutupi kekurangan bahasa verbal ( hanya satu arti = x).
Sifat Kuantitatif Dari Matematika
Kelebihan lain dari Matematikamengembangkan bahasa numeric yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran kuantitatif.
Matematika: Sarana Berpikir Deduktif, yaitu Proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan pada premispremis yang kebenarannya sudah ditentukan.
VI
AKSIOLOGI : KEGUNAAN ILMU
Mengalami zaman edan
Kita sulit menentukan sikap
Turut edan tidak tahan
Kalau tidak turut edan
Kita tidak kebagian
Menderita kelaparan
Tapi dengan bimbingan Tuhan
Betapa bahagia merekapun yang lupa
Lebih bahag ia yang ingat serta waspada
(Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora Tuhan
Yen tang melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dialah kersa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada)
Ranggawarsita (1802-1873)
ILMU DAN MORAL
Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sejarah kemanusiaan dihasi oleh semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya demi untuk mempertahankan apa yang dianggap benar. Peradaban telah menyaksikan Sokrates dipaksa meminum racunan John Huss dibakar. D sejarah tidak berhenti disini : kemanusiaan tidak pernah urung dihalangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan sekali dalam melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti drengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. ”Segalanya punya moral”, kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, ”asalkan kau mampu menemukannya.” (Adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avoktur intelektual.
TANGGUNG JAWAB SOSIAL ILMUWAN
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Sekiranya hasil-hasil karya itu memenuhi syarat keilmuan maka dia diterima sebagai bagia dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat tersebut. Atau dengaen perkataan lain, penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu bersifat sosial. Peranan individu inilah yang menonjol dalam kemajuan ilmu di mana penemuan seorang seperti Newton atau Edison dapat mengubah wajah peradaban. Kreativitas individu yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu yang berjalan sangat efektif
NUKLIR DAN PILIHAN MORAL
Seorang ilmuan secdara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakannnya itu adalah bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat bahwa ilmuan telah bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan. Ternyata bahwa dalam soal-soal menyangkut kemanusiaan para ilmuan tidak pernah bersifat netral. Mereka tegak dan bersuara sekiranya kemanusiaan memerlukan mereka. Suara mereka bersifat universal dalam mengatasi golongan, ras, sistem kekuasaan, agama dan rintangan-rintangan lainnya yang bersifat sosial.
REVOLUSI GENETIKA
Revolusi Genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaahan itu sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tiada ada penelaahan ilmiah yang berkaitan dengan jasad manusia, tentu saja banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik langsung manusia sebagai objek penelaahan mengenai jantung manusia, maka hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan penyakit jantung. Atau dengan perkataan lain, uapaya kita diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan yang memungkinkan kita dapat mengetahui segenap pengetahuan yang berkaitan dengan jantung, dan diatas pengetahuan itu dikembangkan teknologi yang berupa alat yang dapat memberi kemudahan bagi kita untuk menghadapi gangguan-gangguan jantung. Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi obyek penelahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri. Apakah perubahan-perubahan yang dilakukan diatas secara moral dapat dibenarkan.
VII
ILMU DAN KEBUDAYAAN
Ilmu hanya dapat maju apabila masyarakat berkembang dan berperadaban.
(Ibnu Khaldun (1332-1406 dalam muqaddimah)
MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
Kebudayaan didefenisikan untuk pertama kali oleh E.B Taylor pada tahun 1871, lebih dari seratus tahun yang lalu, dalam bukunya primitive Culture dimana kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Manusia dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan yang banyak sekali. Mendorong Adanya kebuhan hidup inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut. Dalam hal ini, menurut Ashley Montagu, kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya. Manusia berbeda dengan binantang bukan hanya dalam banyaknya kebutuhan namun juga dalam memenuhi kebutuhan tersebut’ kebudayaanlah, dalam konteks ini, yang memberikan garis pemisah antara manusia dengan binatang.
ILMU DAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN NASIONAL
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan disini merupakan seperangkat sistem nilai, tata hidup dan sarana bagi manusia dalam kehidupannya. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang diwujudkan dengan kehidupan bernegara. Pegembangan kebudayaan nasional merupakan bagian dari kegiatan suatu bangsa, baik disadari atau tidak maupun dinyatakan secara eksplisit atau tidak.
Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu pihak pengembangan ilmu dalam suat masayarakat tergantung dari kondisi kebudayaannya. Sedangkan dipihak lain, pengembangan ilmu akan mempengaruhi jalannya kebudayaan. Ilmu terapdu secara intim dengan keselurhan struktur sosial dan tradisi kebudayaan, kata Talcot Parsons, mereka saling mendukung satu sama lain: dalam beberapa tipe masayarakat ilmu dapat berkembang dengan pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat teresbut tidak dapat berfungsi dengan wajar tanpa didukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan.
DUA POLA KEBUDAYAAN
Bahwasanya secara sosiologi maka terdapat kelompok yang memberi nafas baru kepada ilmu-ilmu sosial. Mereka mengembangkan apa yang dinamakan ilmu-ilmu perilaku manusia (behavioral sciences) yang bertumpu kepada ilmu-ilmu sosial dimana perbedaan yang utama antara keduanya hanya terletak dalam keinginan untuk menjadikan ilmu-ilmu tentang manusia menjadi sesuatu yang lebih dapat diandalkan dan kuantitatif.
Adanya dua kebudayaan yang tebagi kedalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial ini sayangnya masih terdapat di Indonesia. Hal ini dicerminkan dengan adanya jurusan Pasti-Alam dan Sosial-Budaya dalam sistem pendidikan kita. Sekiranya kita menginginkan kemajuan dalam bidang keilmuan yang mencakup baik ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial maka dualisme kebudayaan ini harus dibongkar. Pembangkitan jursan berdasarkan Pasti-Alam dan Sosial-Budaya harus dihilangkan. Adanya pembagian jurusan ini merpakan hambatan psikologis dan intelektual bagi pengembangan keilmuan di negara kita. Sudah merupakan rahasia umum bahwa jurusan Pasti-Alam dianggap lebih mempunyai prestise dibandingkan dengan jurusan Sosial-Budaya. Hal ini menyebabkan kepada mereka yang mempunyai minta dan bakat baik dibidang ilmu-ilmu sosial akan terbujuk memilih ilmu-ilmu alam karena alasan-alasan sosial-psikologis. Dipihak lain merupaka yang sudah terkontrak dalam jurusan Sosial-Budaya dalam proses pendidikannya kurang mendapatkan bimbingan yang cukup dalam pengetahuan matematikanya untuk menjadi ilmuwan kelas satu yang sungguh-sungguh mampu.
VIII
ILMU DAN BAHASA
TENTANG TERMINOLOGI : ILMU, ILMU PENGETAHUAN DAN SAINS?
Dua Jenis Ketahuan
Manusia dengan segenap kemampuan kemanusiaannya seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pancaindra, dan intuisi mampu menangkap alam kehidupannya dan mengabstraksikan tangkapan tersebut dalam dirinya dalam berbagai bentuk ”ketahuan” umpamanya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Terminologi ketahuan ini adalah terminologi artifisal yang bersifat sementara sebagai alat analisis yang pada pokoknya diartikan sebagai kseluruhan bentuk dari produk kegiatan manusia dalam usaha untuk mengetahui sesuatu.
Ketahuan atau knowledge ini merupakan terminologi generik yang mencakup segenap bentuk yang kita tahu seperti filsafat, ekonomi, seni bediri, cara menyulam dan biologi itu sendiri. Jadi biologi termasuk kedalam ketahua (knowledge) seperti juga ekonomi, matematika dan seni. Untuk membedakan tiap-tiap bentuk dari anggota kelompok ketahuan (knowledge) ini terdapat tiga kriteria yakni :
(a) Objek Ontologis : Adalah objek yang ditelaah yang membuahkan ketahuan.
(b) Landasa Epistemologi : Cara yang dipakai untuk mendapatkan ketahuan (knowledge) tersebut ; atau dengan perkataan lain, bagaimana caranya mendapatkan ketahuan (knowledge) ini.
(c) Landasan Aksiologis : Untuk apa ketahuan itu digunakan (nilai)
POLITIK BAHASA NASIONAL
Bahasa pada hakekatnya mempunyai dua fungsi utama yaitu pertama sebagai sarana komunikasi antarmanusia, dan kedua, sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut. Fungsi yang pertama dapat kita sebutkan sebagai fungsi komunikatif dang fungsi yang kedua sebagai fungsi yang kohesif atau integratif. Pengembangan sebuah bahasa haruslah memperhatikan kedua fungsi ini agari terjadi keseimbangan yang saling menunjang dalam pertumbuhannya. Seperti juga manusia yang mempergunakan bahasa harus terus tumbuh dan berkembang seiring dengan pergantian zaman.
Pada tanggal 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia telah memilih basaha Indonesia sebagai bahasa nasional. Alasan yang paling utama pada waktu utama lebih ditekankan pada fungsi kohesif Bahasa Indonsia sebagai sarana untuk mengintegrasikan berbagai suku ke dalam satu bangsa yakni Indonesia. Tentu saja terdapat evaluasi yang berkonotasi dengan kemampuan bahasa Indonesia sebaga fungsi komunikatif yakni fakta bahwa Bahasa Indonesia merupakan lingua franca dari sebagian besar penduduk, namun kalau dikaji lebih mendalam, maka kriteria bahasa sebagai fungsi kohesif itulah kriteria yang menentukan. Perkembangan bahasa tentu saja tidak dapat dilepaska dari sektor-sektor lain yang juga tumbuh berkembang. Sekiranya bahasa berkembang terisolasikan dari perkembangan sektor-sektor lain maka bahasa mungkin bersifat tidak berfungsi dan bahkan kontra produktif (counter-productive).
IX
PENELITIAN DAN PENULISAN ILMIAH
Jujun Suparjan Suriasumantri menjelaskan tentang pengajuan masalah sebagai berikut :
1. Latar belakang masalah
2. Identifikasi masalah
3. Pembatasan masalah
4. Perumusan masalah
5. Tujuan penelitian
6. Kegunaan penelitian
PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
1. Pengkajian mengenai teori-teori ilmiah yang akan dipergunakan dalam analisis.
2. Pembahasan mengenaiulat, penelitian-penelitian yang relevan.
3. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis dengan mempergunakan premis-premis sebagai tercantum dalam butir (1) dan butir (2) dengan menyatakan secara tersurat postulat, asumsi dan prinsip yang dipergunakan (sekiranya diperlukan);
4. Perumusan hipotesis
METODOLOGI PENELITIAN
1. Tujuan penelitian secara lengkap dan operasional dalam bentuk pernyataan yang mengidentifikasikan variabel-variabel dan karakteristik hubungan yang akan diteliti;
2. Tempat dan waktu penelitian di mana akan dilakukan generalisasi mengenai variabel-variabel yang akan diteliti;
3. Metode penelitian ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian dan tingkat generalisasi yang diharapkan;
4. Teknik pengambilan contoh yang relevan dengan tujuan pnelitian, tingkat keumuman dan metode penelitian.
5. Teknik pengumpulan data yang mencakup identifikasi variabel yang akan dikumpulkan, sumber data, teknik pengukuran, instrumen dan teknik mendapatkan data.
6. Teknik analisis data yang mencakup langkah-lagkah dan teknik analisis yang dipergunakan yang ditetapkan berdasarkan pengajuan hipotesis (sekiranya mempergunakan statistika maka tuliskan hipotesis nol dan hipotesis tandingannya : H0 / H1)
HASIL PENELITIAN
Setelah perumusan masalah, pengajuan hipotesis dan penetapan metodologi penelitian maka sampailah kita kepada langkah berikutnya yakni melaporkan apa yang kita temukan berdasarkan hasil penelitian. Sebaiknya bagian ini betul-betul dipergunakan untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan selama penelitian untuk menarik kesimpulan penelitian. Deskripsi tentang langkah dan cara pengolahan data sebaiknya sudah dinyatakan dalam metodologi penelitian. Sering kita melihat bahwa bagian ini dipenuhi dengan pernyataan-pernyataan yang kurang relevan dan pembahasan hasil pnelitian yang menyebabkan menjadi kurang tajamnya fokus analisis dalam pengkajian.
Secara singkat maka hasil penelitian dapat dilaporkan dalam kegiatan sebagai berikut :
a) Menyatakan variabel-variabel yang diteliti;
b) Menyatakan teknik analisis data;
c) Mendeskripsikan hasil analisis data;
d) Memberikan penafsiran terhadap kesimpulan analisis data;
e) Menyimpulkan pengujian hipotesis apakah ditolak atau diterima.
RINGKASAN DAN KESIMPULAN
a) Deskripsi singkat mengenai masalah, kerangka teoretis, hipotesis, metodologi dan penemuan penelitian;
b) Kesimpulan penelitian yang merupakan sintesis berdasarkan keseluruhan aspek tersebut diatas ;
c) Pembahasan kesimpulan penelitian dengan melakukan perbandingan terhadap penelitian lain dan pengetahuan ilmiah yang relevan;
d) Mengkaji implikasi penelitian;
e) Mengajukan saran.
KERANGKA UMUM KARYA ILMIAH
a) Halama utama / halaman sampul
b) Kata pengantar
c) Abstrak
d) Sisi / usulan penelitian
e) Kesimpulan
f) Daftar Pustaka
g) Riwayat Hidu
h) Catatan akhir / lampiran
PENUTUP
Demikian resensi buku Filsafat Ilmu ini disajikan, mudah-mudahan mampu menggugah pe-resensi untuk terus mencari dan bertualang didunia ilmu dan akhirnya memutuskan dengan berpedoman pada moralistas universal. Dalam kegiatan me-resensi buku ini adapun yang menjadi penilaian umum (general evaluation) bagi pe-resensi yaitu :
1. Metode Penyajian : sangat detail, mudah dipahami dan disertai dengan contoh berupa gambar atau ceritera. (Keunggulan)
2. Penyusunan : penyusunan tidak ber-Bab / tidak seperti buku-buku lainnya. (Kelemahan)
Namun dibalik dari penilain yang pe-resensi paparkan, kami sangat berharap akan manfaat dari hasil resensi isi buku ini dan dapat menambah wawasan keilmuan kita khususnya dalam bidang ”Filsafat Ilmu”.
Pada akhirnya pe-resensi senantiasa mengharap semoga kegiatan me-resensi buku ini bernilai ibadah disisi Allah SWT. Amin Ya Robbal A’lamin.
Kemampuan menalar menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa, dan setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuannya itu. Dia mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Secara terus menerus dia selalu hidup dalam pilihan.
Manusia adalah satu-satunya mahluk yang mengembangkan pengetahuan ini sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya. Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dan memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidupnya, namun lebih dari pada itu. Manusia mengembangkan kebudayaan; memberi makna bagi kehidupan; manusia memanusiakan” diri dalam dalam hidupnya. Intinya adalah manusia di dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang membuat manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuan ini mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan oleh dua hal utama;
a. Bahasa; manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut.
b. Kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran.
Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu menalar.
Hakikat Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakan yang bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itupun berbeda-beda dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenaran masing-masing.
Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika, dan tiap penalaran mempunyai logika tersendiri atau dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir logis, dimana berpikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu. Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah merupakan kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari suatu pola berpikir tertentu.
LOGIKA
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir ituharus dilakukan cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, di mana logika secara luas dapat didefenisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara sahih.”1 Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, namun untuk sesuai dengan dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran maka hanya difokuskan kepada dua jenis penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan bersifat umum. Sedangkan logika deduktif, menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umu menjadi kasus yang bersifat individual (khusus).
a. Induksi
Induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik dari suatau kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individu. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang bersifat khas dan dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Kesimpulan yang bersifat umum ini penting artinya karena mempunyai dua keuntungan.
• Bersifat ekonomis.
• Dimungkinkannya proses penalaran selanjutnya.
b. Deduksi
Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pertanyaan dan satu kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut. Jadi ketepatan penarikan kesimpulan tergantung pada tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan penarikan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak dipenuhi maka kesimpulan yang akan ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif.
SUMBER PENGETAHUAN
Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu! Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan
ini membawa kita kepada pertanyaan; bagaimana kita mendapatkan pengetahuan yang benar itu? Pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mendasarkan diri kepada rasio dan kaum empirisme mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang dianggapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia memikirkannya. Paham ini dikenal dengan nama idealisme. Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasionil itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori
dan pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional. Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran yang abstrak namun lewat penalaran yang konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indra.
Disamping rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting untuk kita ketahui adalah intuisi dan wahyu. Sampai sejauh ini, pengetahuan yang didapatkan secara rasional dan empiris, kedua-duanya merupakan induk produk dari sebauh rangkaian penalaran. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba mendapat jawaban atas permasalah tersebut. Tanpa melaui proses berliku-liku dia sudah mendapatkan jawabannya.. intuisi juga bisa bekerja dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan jawabannya tidak pada saat sesorang
itu secara sadar sedang menggelutinya. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak dapat diandalkan. Pengetahuan inuitif dapat digunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar atau tidaknya suatu penalaran.
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah yang bersifat transedental kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai suatu pengantara dan kepercayaan
terhadap suatu wahyu sebagai cara penyampaian merupakan titik dasar dari penyusunan pengetahuan ini.. kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Suatau pernyataan harus dipercaya dulu baru bisa diterima. Dan pernyataan ini bisa saja dikaji lewat metode lain. Secara rasional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung didalamnya konsisten atau tidak.di pihak lain secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut.
KRITERIA KEBENARAN
Tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar. Oleh sebab itu ada beberapa teori yang dicetuskan dalam melihat kriteria kebenaran. Yang pertama adalah teori koherensi. Teori ini merupakan menyatakan bahwa pernyataan dan kesimpulan yang ditarik harus konsinten dengan pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang dianggap benar. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdsarkan teori koherensi suatu pernyatan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdsarkan teori koheren. Paham lain adalah kebenaran yang didasarkan pada teori korespondensi. Bagi penganut teori korespondensi, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Maksudnya jika seseorang menyatakan bahwa “ ibukota republik Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat factual yakni Jakarta memang ibukota republik Indonesia.
Teori Pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1924) dalam sebuah makalah yang terbit tahun 1878 yang berjudul “How to make Our Ideas Clear.” Teori ini kemudian dikembangkan oleh para filsuf
Amerika. Bagi seorang pragmatis, kebenaran suatau pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungisional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan umat manusia. Kaum pragmatis berpaling kepada metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan tentang alam ini yang dianggapnya fungisional dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala alamiah. Kriteria pragmatisme ini juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran dilihat dari perspektif waktu.
III
ONTOLOGI : HAKIKAT APA YANG DIKAJI
Pada bagian ini telah dijelaskan :
METAFISIKA
Beberapa Tafsiran Metafisika
Tafsiran yang paling utama yang diberikan manusia terhadap ala mini adalah bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat gaib (super-natural) dan uju-ujud ini lebih tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme merupakan aliran kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernatulisme diman manusia percaya bahwa terdapat roh-roh yang bersifat goib yang terdapat pada benda-benda seperti batu, phon dan air terjun. Animisme ini merupakan kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejarah perkembangan budaya manusia dan masih dipeluk oleh masyarakat di muka bumi.
Sebagai lawan dari supernatulisme, maka terdapat pula paham naturalism yang menolak pendapat bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat super-naturalisme ini. Materialism, yang merupakan paham berdasarkan naturalism ini, berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui.
Perinsip-perinsip materialism ini dikembangkan oleh Democritos (460-370 S.M). Dia mengembangkan materi tentang atom yang dipelajarinya dari gurunya Leucippus. 2). Bagi Democritos unsure dasar dari ala mini adalah atom.
ASUMSI
Salah satu permasalah didalam dunia filsafat yang menjadi perenungan para filsuf adalah masalah gejala alam. Mereka menduga-duga apakah gejala dalam alam ini tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam
yang bersifat universal, ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan pilihan bebas, ataukah keumuman itu memang ada namun berupa peluang, sekedar tangkapan probabilistik? Ketiga masalah ini yakni determinisme, pilihan bebas dan probabilistik merupakan permasalahan filasafati yang rumit namun menarik.. tanpa mengenal ketiga aspek ini, serta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah yang merupakan kompromi, akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan dengan baik. Jadi, marilah kita asumsikan saja bahwa hukum yang mengatur berbagai kejadian itu memang ada, sebab tanpa asumsi ini maka semua pembicaraan akan sia-sia. Hukum disini diartikan sebagai suatu aturan main atau pola kejadian yang diikuti oleh sebagian besar peserta, gejalanya berulangkali dapat diamati yang tiap kali memberikan hasil yang sama, yang dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hukum seperti itu
berlaku kapan saja dan dimana saja. Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu. Demikian juga paham determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang mentyatakan bahwa semua manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat kepada hokum alam yang tidak memberikan pilihan alternatif. Untuk meletakkan ilmu dalam perspektif filsafat ini marilah kita bertanya kepada diri sendiri apakah yang sebenarnya yang ingin dipelajari ilmu. Apakah ilmu ingin mempelajari hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia seperti yang dicoba dijangkau dalam ilmu-ilmu sosial, ataukah cukup yang berlaku bagi sebagian besar dari mereka ? Atau bahkan mungkin kita tidak mempelajari hal-hal yang berlaku umum melainkan cukup mengenai tiap individu belaka?
Konsekuensi dari pilihan adalah jelas, sebab sekiranya kita memilih hukum dari kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme. Sekiranya kita memilih hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka kita berpaling kepada paham pilihan bebas. Sedangkan posisi tengah yang terletak di antara keduanya mengantarkan kita kepada paham yang bersifat probabilistik. Sebelum kita menentukan pilihan marilah kita merenung sejenak dan berfilsafat. Sekiranya ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realitas untuk dicapai ilmu? Sekiranya Ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realistis untuk dicapai ilmu? Mungkin kalau sasaran ini yang dibidik ilmu maka khasanah pengetahuan ilmiah hanya terdiri dari beberapa gelintir pernyataan yang bersifat universal saja. Demikian juga, sekiranya sifat universal semacam ini disyaratkan ilmu bagaimana kita dapat memenuhinya, disebabkan kemampuan manusia yang tidak mungkin mengalami semua kejadian. Namun para ilmuwan memberi suatu kompromi, artinya ilmu merupakan pengetahuan yang berfungsi
membantu manusia dalam memecahkan kehidupan praktis sehari-hari, dan tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dalam kehidupan ini. Walaupun demikian sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi, sebab pengetahuan yang bersifat personal dan individual seperti upaya seni, tidaklah bersifat praktis. Jadi diantara kutub determinisme dan pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya terhadap penafsiran probabilistik.
PELUANG
Peluang secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8 secara sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari 10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut memberikan suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikan maka kata akhir dari suatu keputusan terletak ditangan manusia pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori keilmuan.
BEBERAPA ASUMSI DALAM ILMU
Ilmu yang paling termasuk paling maju dibandingkan dengan ilmu lain adalah fisika. Fisika merupakan ilmu teoritis yang dibangun di atas sistem penalaran deduktif yang meyakinkan serta pembuaktian induktif yang
mengesankan. Namun sering dilupakan orang bahwa fisika pun belum merupakan suatu kesatuan konsep yang utuh. Artinya fisika belum merupakan pengetahuan ilmiah yang tersusun secara semantik, sistematik, konsisten dan analitik berdasarkan pernyataan-pernyataan ilmiah yang disepakati bersama. Di mana terdapat celahcelah perbedaan dalam fisika? Perbedaannya justru terletak dalam fondasi dimana dibangun teori ilmiah diatasnya yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya. Begitu juga sebaliknya dengan ilmu-ilmu lain yang juga termasuk
ilmu-ilmu sosial.
Kemudian pertanyaan yang muncul dari pernyataan diatas adalah apakah kita perlu membuat kotakkotak dan pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit? Jawabannya adalah sederhana sekali; sekiranya
ilmu ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam pengalaman manusia, maka pembatasan ini adalah perlu. Suatu permasalahan kehidupan manusia seperti membangun pemukiman Jabotabek, tidak bisa dianalisis secara cermat dan seksama oleh hanya satu disiplin ilmu saja. Masalah yang rumit ini , seperti juga rumitnya kehidupan yang dihadapi manusia, harus dilihat sepotong demi sepotong dan selangkah demi selangkah. Berbagai displin keilmuan , dengan asumsinya masing-masing tentang manusia mencoba mendekati permasalahan tersebut. Ilmu-ilmu ini bersfat otonom dalam bidang pengkajiannya masing-masing dan “berfederasi” dalam suatu pendekatan
multidispliner. (Jadi bukan “fusi” dengan penggabungan asumsi yang kacau balau). Dalam mengembangkan asumsi ini maka harus diperhatikan beberapa hal:
1. Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian displin keilmuan. Asumsi ini harus oprasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis.
2. Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya ‘bukan’ bagaimana keadaan yang
seharusnya.” Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah, sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasari telaah moral Seorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang digunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas
lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas. Sesuatu yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat. Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada ruginya, sebab sekiranya kemudian ternyata asumsinya adalah cocok maka kita tinggal memberikan informasi, sedangkan jika ternyata mempunyai asumsi yang berbeda maka dapat diusahakan pemecahannya.
BATAS-BATAS PENJELAJAHAN ILMU
Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan meyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik obyek ontologi ilmu
yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawab dari semua pertanyaan itu adalah sangat sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak mempelajari masalah surga dan neraka dan juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya manusia, sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Mengapa ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam pengalaman kita? Jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia; yakni sebagai alat pembantu manusia dalam
menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita
melakukan suatu kontradiksi yang menghilangkan kesahihan metode ilmiah? Kalau begitu maka sempit sekali batas jelajah ilmu, kata seorang, Cuma sepotong dari sekian permasalahan kehidupan. Memang demikian, jawab filsuf ilmu,bahkan dalam batas pengalaman manusiapun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek semua berpaling kepada pengkajian estetik.
IV
EPISTEMOLOGI : CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN YANG BENAR
JARUM SEJARAH PENGETAHUAN
Pada masyarakat primitif, perbedaan diantara berbagai organisasi kemasyarakatan belum tampak, yang diakibatkan belum adanya pembagian pekerjaan. Seorang ketua suku umpamanya, bisa merangkap
hakim, panglima perang, penghulu yang menikahkan, guru besar atau tukang tenung. Sekali kita menempati status tertentu dalam jenjang masyarakat maka status itu tetap, kemanapun kita pergi, sebab organisasi
kemasyarakatan pada waktu itu, hakikatnya hanya satu. Jadi jika seseorang menjadi ahli maka seterusnya dia akan menjadi ahli. Jadi kriteria kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat jarak yang jelas antara satu obyek dengan obyek yang lain. Antara ujud yang satu dengan ujud yang lain.
Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental dengan berkembangnya abad penalaran (The Age of Reason) pada
pertengahan abad XVII.BDengan berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepadan pembedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan. Pohon pengetahuan dibeda-bedakan paling tidak berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan. Salah satu cabang pengetahuan itu yang berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dari metodenya. Metode keilmuan adalah jelas sangat berbeda dengan ngelmu yang merupakan paradigma dari Abad Pertengahan. Demikian juga ilmu dapat dibedakan dari apa yang ditelaahnya serta untuk apa ilmu itu dipergunakan. Difrensiasi dalam bidang ilmu cepat terjadi. Secara metafisisk ilmu mulai dipisahkan dengan moral. Berdasarkan obyek yang ditelaah mulai dibedakan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Perbedaan yang makin terperinci ini maka menimbulkan keahlian yang lebih spesifik pula. Makin ciutnya kapling masing-masing displin keilmuan itu bukan tidak menimbulkan masalah, sebab dalam kehidupan nyata seperti pembangunan pemukiman manusia, maka masalah yang dihadapi makin banyak dan makin njelimet. Menghadapi kenyataan ini terdapat lagi orang dengan memutar jam sejarah kembali dengan mengaburkan batas-batas masing-masing displin ilmu. Dengan dalih pendekatan inter-displiner maka berbagai displin keilmuan dikaburkan batas-batasnya, perlahan-lahan menyatu ke dalam kesatuan yang berdifusi.
Pendekatan interdispliner memang merupakan keharusan, namun tidak dengan mengaburkan otonomi masing-masing displin keilmuan yang telah berkembang berdasarkan routenya masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma baru. Paradigma ini adalah bukan ilmu melainkan sarana berpikir ilmiah seperi logika, matematika, statistika dan bahasa. Setelah perang dunia II muncullah paradigma “konsep sistem” yang diharapkan sebagai alat untuk mengadakan pengakajian bersama antar displin-keilmuan. Jelaslah bahwa pendekatan interdispliner bukan merupakan fusi antara berbagai displin keilmuan yang akan menimbulkan
anarki keilmuan, melainkan suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu, dimana tiap displin keilmuan dengan otonominya masing-masing, saling menyumbangkan analisisnya dalam mengkaji objek yang menjadi telahan bersama.
PENGETAHUAN
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara maksimal maka kita harus ketahui jawaban apa saja yang mungkin diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada pengetahuan mana suatu pertanyaan tertentu yang harus kita ajukan. Sekiranya kita bertanya “ apakah yang terjadi sesudah manusia mati?”, maka pertanyaan itu tidak bias diajukan kepada ilmu melainkan kepada agama, sebab secara ontologis ilmu membatasi diri kepada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangakan agama memasuki pula daerah penjelajahan yang bersifat transedental yang berada diluar pengalaman kita. Ilmu tidak bisa menjawab pertanyaan itu sebab
ilmu dalam tubuh pengetahuan yang disusunnya memang tidak mencakup permasalahan tersebut.
V
SARANA BERPIKIR ILMIAH
Dijelaskan bahwa Tujuan mempelajari sarana bepikir ilmiah:
1. Sarana ilmiah bukan merupakan ilmu dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmu (deduktif dan induktif), sarana berpikir ilmiah tidak menggunkan ini dalam mendapatkan pengetahuannya, melainkan mempunyai metode-metode tersendiri.
2. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaah ilmiah secara baiik, sarana berpikir ilmiah antara: bahasa logika matematika dan statistic.
Bahasa, manusia dapat berpikir dengan baik karena ada bahasa. Simbol bahasa yang bersifat abstrak memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut, bahasa adalah sarana komunikasi. Buah pikiran, perasaan dan sikap, mempunyai fungsi simbolik (komunikasi bahasa ilmiah), emotif (komunikasi estetik), dan ojektif.Bahasa merupakan serangkaian bunyi dan lambang dimana rangkaian bunyi tu membentuk suatu arti tertentu atau rangkaian bunyi=kata (melambangkan satu objek tertentu).
a. Bahasa
Fungsi bahasa secara umum dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
1. Alat komunikasi
2. Alat mengekspresikan diri
3. Alat berintegrasi dan beradaptasi social
4. Alat kontrol social.
Dalam filsafat keilmuan fungsi, memikirkan sesuatu dalam benaktanpa dalam objek yang sedang kita pikirkan, membuat manusia berpikir terus menerus dan teratur, mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan. Komunikasi ilmniah memberi informasi pengetahuan berbahasa dengan jelas bahwa makna yang
terkandung dalam kata-kata yang digunakan dan diungkapkan secara tersusun (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain. Karya ilmiah: tata bahasa, merupkan alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu. Mempunyai gaya penulisan yang pada hakekatnya merupakan usaha untuk mencoba menghindari kecenderumgan yang bersifat emosional bagi kegiatan seni namun merupakan kerugian bagi kegiatan ilmiah.
Beberapa kekurangan bahasa antara lain:
1. Sifat multi fungsi dari bahasa itu sendiri (emotif, ajektif, simbolik).
2. Arti yang tidak jelas dan bebas yang ikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa, kadangkadang lingkup rtinya terlalu lemas misalnya cinta, pengelola (usaha kerja sama yang bedominasi).
3. Sifat menjenuh bahasa dapat menimbulkan kekacauan semantic, dimana dua orang berkomunikasi mempergunakan sebuah kata yang sama untuk arti yang berbeda.
4. Konotasi yang bersifat emosional.
b. Matematika
Matemtika berfungsi :
1. Matematika sebagai bahasa: melambangkan serangkaian mkna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan.
2. Lambang bersifat “arti fisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya.
3. Matematika menutupi kekurangan bahasa verbal ( hanya satu arti = x).
Sifat Kuantitatif Dari Matematika
Kelebihan lain dari Matematikamengembangkan bahasa numeric yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran kuantitatif.
Matematika: Sarana Berpikir Deduktif, yaitu Proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan pada premispremis yang kebenarannya sudah ditentukan.
VI
AKSIOLOGI : KEGUNAAN ILMU
Mengalami zaman edan
Kita sulit menentukan sikap
Turut edan tidak tahan
Kalau tidak turut edan
Kita tidak kebagian
Menderita kelaparan
Tapi dengan bimbingan Tuhan
Betapa bahagia merekapun yang lupa
Lebih bahag ia yang ingat serta waspada
(Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora Tuhan
Yen tang melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dialah kersa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada)
Ranggawarsita (1802-1873)
ILMU DAN MORAL
Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sejarah kemanusiaan dihasi oleh semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya demi untuk mempertahankan apa yang dianggap benar. Peradaban telah menyaksikan Sokrates dipaksa meminum racunan John Huss dibakar. D sejarah tidak berhenti disini : kemanusiaan tidak pernah urung dihalangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan sekali dalam melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti drengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. ”Segalanya punya moral”, kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, ”asalkan kau mampu menemukannya.” (Adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avoktur intelektual.
TANGGUNG JAWAB SOSIAL ILMUWAN
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Sekiranya hasil-hasil karya itu memenuhi syarat keilmuan maka dia diterima sebagai bagia dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat tersebut. Atau dengaen perkataan lain, penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu bersifat sosial. Peranan individu inilah yang menonjol dalam kemajuan ilmu di mana penemuan seorang seperti Newton atau Edison dapat mengubah wajah peradaban. Kreativitas individu yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu yang berjalan sangat efektif
NUKLIR DAN PILIHAN MORAL
Seorang ilmuan secdara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakannnya itu adalah bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat bahwa ilmuan telah bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan. Ternyata bahwa dalam soal-soal menyangkut kemanusiaan para ilmuan tidak pernah bersifat netral. Mereka tegak dan bersuara sekiranya kemanusiaan memerlukan mereka. Suara mereka bersifat universal dalam mengatasi golongan, ras, sistem kekuasaan, agama dan rintangan-rintangan lainnya yang bersifat sosial.
REVOLUSI GENETIKA
Revolusi Genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaahan itu sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tiada ada penelaahan ilmiah yang berkaitan dengan jasad manusia, tentu saja banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik langsung manusia sebagai objek penelaahan mengenai jantung manusia, maka hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan penyakit jantung. Atau dengan perkataan lain, uapaya kita diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan yang memungkinkan kita dapat mengetahui segenap pengetahuan yang berkaitan dengan jantung, dan diatas pengetahuan itu dikembangkan teknologi yang berupa alat yang dapat memberi kemudahan bagi kita untuk menghadapi gangguan-gangguan jantung. Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi obyek penelahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri. Apakah perubahan-perubahan yang dilakukan diatas secara moral dapat dibenarkan.
VII
ILMU DAN KEBUDAYAAN
Ilmu hanya dapat maju apabila masyarakat berkembang dan berperadaban.
(Ibnu Khaldun (1332-1406 dalam muqaddimah)
MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
Kebudayaan didefenisikan untuk pertama kali oleh E.B Taylor pada tahun 1871, lebih dari seratus tahun yang lalu, dalam bukunya primitive Culture dimana kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Manusia dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan yang banyak sekali. Mendorong Adanya kebuhan hidup inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut. Dalam hal ini, menurut Ashley Montagu, kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya. Manusia berbeda dengan binantang bukan hanya dalam banyaknya kebutuhan namun juga dalam memenuhi kebutuhan tersebut’ kebudayaanlah, dalam konteks ini, yang memberikan garis pemisah antara manusia dengan binatang.
ILMU DAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN NASIONAL
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan disini merupakan seperangkat sistem nilai, tata hidup dan sarana bagi manusia dalam kehidupannya. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang diwujudkan dengan kehidupan bernegara. Pegembangan kebudayaan nasional merupakan bagian dari kegiatan suatu bangsa, baik disadari atau tidak maupun dinyatakan secara eksplisit atau tidak.
Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu pihak pengembangan ilmu dalam suat masayarakat tergantung dari kondisi kebudayaannya. Sedangkan dipihak lain, pengembangan ilmu akan mempengaruhi jalannya kebudayaan. Ilmu terapdu secara intim dengan keselurhan struktur sosial dan tradisi kebudayaan, kata Talcot Parsons, mereka saling mendukung satu sama lain: dalam beberapa tipe masayarakat ilmu dapat berkembang dengan pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat teresbut tidak dapat berfungsi dengan wajar tanpa didukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan.
DUA POLA KEBUDAYAAN
Bahwasanya secara sosiologi maka terdapat kelompok yang memberi nafas baru kepada ilmu-ilmu sosial. Mereka mengembangkan apa yang dinamakan ilmu-ilmu perilaku manusia (behavioral sciences) yang bertumpu kepada ilmu-ilmu sosial dimana perbedaan yang utama antara keduanya hanya terletak dalam keinginan untuk menjadikan ilmu-ilmu tentang manusia menjadi sesuatu yang lebih dapat diandalkan dan kuantitatif.
Adanya dua kebudayaan yang tebagi kedalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial ini sayangnya masih terdapat di Indonesia. Hal ini dicerminkan dengan adanya jurusan Pasti-Alam dan Sosial-Budaya dalam sistem pendidikan kita. Sekiranya kita menginginkan kemajuan dalam bidang keilmuan yang mencakup baik ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial maka dualisme kebudayaan ini harus dibongkar. Pembangkitan jursan berdasarkan Pasti-Alam dan Sosial-Budaya harus dihilangkan. Adanya pembagian jurusan ini merpakan hambatan psikologis dan intelektual bagi pengembangan keilmuan di negara kita. Sudah merupakan rahasia umum bahwa jurusan Pasti-Alam dianggap lebih mempunyai prestise dibandingkan dengan jurusan Sosial-Budaya. Hal ini menyebabkan kepada mereka yang mempunyai minta dan bakat baik dibidang ilmu-ilmu sosial akan terbujuk memilih ilmu-ilmu alam karena alasan-alasan sosial-psikologis. Dipihak lain merupaka yang sudah terkontrak dalam jurusan Sosial-Budaya dalam proses pendidikannya kurang mendapatkan bimbingan yang cukup dalam pengetahuan matematikanya untuk menjadi ilmuwan kelas satu yang sungguh-sungguh mampu.
VIII
ILMU DAN BAHASA
TENTANG TERMINOLOGI : ILMU, ILMU PENGETAHUAN DAN SAINS?
Dua Jenis Ketahuan
Manusia dengan segenap kemampuan kemanusiaannya seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pancaindra, dan intuisi mampu menangkap alam kehidupannya dan mengabstraksikan tangkapan tersebut dalam dirinya dalam berbagai bentuk ”ketahuan” umpamanya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Terminologi ketahuan ini adalah terminologi artifisal yang bersifat sementara sebagai alat analisis yang pada pokoknya diartikan sebagai kseluruhan bentuk dari produk kegiatan manusia dalam usaha untuk mengetahui sesuatu.
Ketahuan atau knowledge ini merupakan terminologi generik yang mencakup segenap bentuk yang kita tahu seperti filsafat, ekonomi, seni bediri, cara menyulam dan biologi itu sendiri. Jadi biologi termasuk kedalam ketahua (knowledge) seperti juga ekonomi, matematika dan seni. Untuk membedakan tiap-tiap bentuk dari anggota kelompok ketahuan (knowledge) ini terdapat tiga kriteria yakni :
(a) Objek Ontologis : Adalah objek yang ditelaah yang membuahkan ketahuan.
(b) Landasa Epistemologi : Cara yang dipakai untuk mendapatkan ketahuan (knowledge) tersebut ; atau dengan perkataan lain, bagaimana caranya mendapatkan ketahuan (knowledge) ini.
(c) Landasan Aksiologis : Untuk apa ketahuan itu digunakan (nilai)
POLITIK BAHASA NASIONAL
Bahasa pada hakekatnya mempunyai dua fungsi utama yaitu pertama sebagai sarana komunikasi antarmanusia, dan kedua, sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut. Fungsi yang pertama dapat kita sebutkan sebagai fungsi komunikatif dang fungsi yang kedua sebagai fungsi yang kohesif atau integratif. Pengembangan sebuah bahasa haruslah memperhatikan kedua fungsi ini agari terjadi keseimbangan yang saling menunjang dalam pertumbuhannya. Seperti juga manusia yang mempergunakan bahasa harus terus tumbuh dan berkembang seiring dengan pergantian zaman.
Pada tanggal 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia telah memilih basaha Indonesia sebagai bahasa nasional. Alasan yang paling utama pada waktu utama lebih ditekankan pada fungsi kohesif Bahasa Indonsia sebagai sarana untuk mengintegrasikan berbagai suku ke dalam satu bangsa yakni Indonesia. Tentu saja terdapat evaluasi yang berkonotasi dengan kemampuan bahasa Indonesia sebaga fungsi komunikatif yakni fakta bahwa Bahasa Indonesia merupakan lingua franca dari sebagian besar penduduk, namun kalau dikaji lebih mendalam, maka kriteria bahasa sebagai fungsi kohesif itulah kriteria yang menentukan. Perkembangan bahasa tentu saja tidak dapat dilepaska dari sektor-sektor lain yang juga tumbuh berkembang. Sekiranya bahasa berkembang terisolasikan dari perkembangan sektor-sektor lain maka bahasa mungkin bersifat tidak berfungsi dan bahkan kontra produktif (counter-productive).
IX
PENELITIAN DAN PENULISAN ILMIAH
Jujun Suparjan Suriasumantri menjelaskan tentang pengajuan masalah sebagai berikut :
1. Latar belakang masalah
2. Identifikasi masalah
3. Pembatasan masalah
4. Perumusan masalah
5. Tujuan penelitian
6. Kegunaan penelitian
PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
1. Pengkajian mengenai teori-teori ilmiah yang akan dipergunakan dalam analisis.
2. Pembahasan mengenaiulat, penelitian-penelitian yang relevan.
3. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis dengan mempergunakan premis-premis sebagai tercantum dalam butir (1) dan butir (2) dengan menyatakan secara tersurat postulat, asumsi dan prinsip yang dipergunakan (sekiranya diperlukan);
4. Perumusan hipotesis
METODOLOGI PENELITIAN
1. Tujuan penelitian secara lengkap dan operasional dalam bentuk pernyataan yang mengidentifikasikan variabel-variabel dan karakteristik hubungan yang akan diteliti;
2. Tempat dan waktu penelitian di mana akan dilakukan generalisasi mengenai variabel-variabel yang akan diteliti;
3. Metode penelitian ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian dan tingkat generalisasi yang diharapkan;
4. Teknik pengambilan contoh yang relevan dengan tujuan pnelitian, tingkat keumuman dan metode penelitian.
5. Teknik pengumpulan data yang mencakup identifikasi variabel yang akan dikumpulkan, sumber data, teknik pengukuran, instrumen dan teknik mendapatkan data.
6. Teknik analisis data yang mencakup langkah-lagkah dan teknik analisis yang dipergunakan yang ditetapkan berdasarkan pengajuan hipotesis (sekiranya mempergunakan statistika maka tuliskan hipotesis nol dan hipotesis tandingannya : H0 / H1)
HASIL PENELITIAN
Setelah perumusan masalah, pengajuan hipotesis dan penetapan metodologi penelitian maka sampailah kita kepada langkah berikutnya yakni melaporkan apa yang kita temukan berdasarkan hasil penelitian. Sebaiknya bagian ini betul-betul dipergunakan untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan selama penelitian untuk menarik kesimpulan penelitian. Deskripsi tentang langkah dan cara pengolahan data sebaiknya sudah dinyatakan dalam metodologi penelitian. Sering kita melihat bahwa bagian ini dipenuhi dengan pernyataan-pernyataan yang kurang relevan dan pembahasan hasil pnelitian yang menyebabkan menjadi kurang tajamnya fokus analisis dalam pengkajian.
Secara singkat maka hasil penelitian dapat dilaporkan dalam kegiatan sebagai berikut :
a) Menyatakan variabel-variabel yang diteliti;
b) Menyatakan teknik analisis data;
c) Mendeskripsikan hasil analisis data;
d) Memberikan penafsiran terhadap kesimpulan analisis data;
e) Menyimpulkan pengujian hipotesis apakah ditolak atau diterima.
RINGKASAN DAN KESIMPULAN
a) Deskripsi singkat mengenai masalah, kerangka teoretis, hipotesis, metodologi dan penemuan penelitian;
b) Kesimpulan penelitian yang merupakan sintesis berdasarkan keseluruhan aspek tersebut diatas ;
c) Pembahasan kesimpulan penelitian dengan melakukan perbandingan terhadap penelitian lain dan pengetahuan ilmiah yang relevan;
d) Mengkaji implikasi penelitian;
e) Mengajukan saran.
KERANGKA UMUM KARYA ILMIAH
a) Halama utama / halaman sampul
b) Kata pengantar
c) Abstrak
d) Sisi / usulan penelitian
e) Kesimpulan
f) Daftar Pustaka
g) Riwayat Hidu
h) Catatan akhir / lampiran
PENUTUP
Demikian resensi buku Filsafat Ilmu ini disajikan, mudah-mudahan mampu menggugah pe-resensi untuk terus mencari dan bertualang didunia ilmu dan akhirnya memutuskan dengan berpedoman pada moralistas universal. Dalam kegiatan me-resensi buku ini adapun yang menjadi penilaian umum (general evaluation) bagi pe-resensi yaitu :
1. Metode Penyajian : sangat detail, mudah dipahami dan disertai dengan contoh berupa gambar atau ceritera. (Keunggulan)
2. Penyusunan : penyusunan tidak ber-Bab / tidak seperti buku-buku lainnya. (Kelemahan)
Namun dibalik dari penilain yang pe-resensi paparkan, kami sangat berharap akan manfaat dari hasil resensi isi buku ini dan dapat menambah wawasan keilmuan kita khususnya dalam bidang ”Filsafat Ilmu”.
Pada akhirnya pe-resensi senantiasa mengharap semoga kegiatan me-resensi buku ini bernilai ibadah disisi Allah SWT. Amin Ya Robbal A’lamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar